x

Iklan

Subagyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Miskin Solidaritas

Andaikan kaum terpelajar kita adalah kaum kaya solidaritas, mungkin tak akan sepedih itu jadinya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya pernah membaca artikel seorang doktor yang menurut kisahnya dia adalah anak dari buruh tani yang buta huruf. Sama dong dengan saya yang juga anak petani buta huruf. Kalau bapak saya bisa membaca itu karena dia belajar kepada teman angon-nya (angon = menggembala ternak).

Konon orang tua sang doktor ini mempunyai rencana untuk mengubah nasib hidup, sehingga berpindah ke tempat yang baru, menebang hutan untuk lahan kebun. Singkat cerita, orang tua sang doktor ini berhasil membangun ekonomi keluarganya sehingga menyekolahkan anak-anaknya hingga menjadi sarjana, termasuk sang doktor ini.

Lantas sang doktor berkisah tentang para tetangganya di tempat tinggal asalnya yang masih miskin. Katanya, mereka itu miskin pikiran. Emak sang doktor yang bilang begitu. Miskin pikiran – menurut sang doktor – adalah hidup tanpa visi, tanpa tujuan, tanpa rencana, tak terkecuali orang-orang terdidik. Sang doktor mengajarkan ilmu emaknya itu kepada para mahasiswanya, berusaha membangunkan mereka agar membangun mimpi, lalu menyusun rencana guna mewujudkan mimpi itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sang doktor – tampak dari apa yang dilakukannya itu - menjadi motivator masyarakat, membangkitkan semangat masyarakat untuk membangun mimpi, lalu membuat rencana untuk mewujudkan mimpi itu. Ia juga mengajarkan itu di banyak perusahaan.

Kemudian saya merenungkan artikel tentang kisah sang doktor dan nasihatnya itu. Saya pun ingat saat saya masih remaja, mempunyai mimpi ingin menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Saya berusaha dengan keras. Sepulang sekolah (sejak kelas 5 SD hingga SMP) saya masuk hutan mencari kayu bakar. Lalu kayu bakar itu saya jual di pasar sejak jam 03 pagi hingga subuh. Saya memikul kayu bakar di pundak, berjalan kaki setengah lari terengah-engah dalam jarak sekitar 4 – 5 km. Hampir setiap hari.

Tapi sekeras-kerasnya saya berusaha sendiri, ternyata setelah lulus SMP saya pun tak tahu jalan mana lagi yang harus saya tempuh untuk melanjutkan ke SMA. Saya tidak sanggup untuk mencari biaya sekolah hanya mengandalkan jualan kayu bakar, selain waktu yang sangat sempit untuk diri-sendiri sebab harus juga membantu pekerjaan orang tua di sawah ataupun di hutan.

Mimpi yang saya bangun menjadi hal yang memedihkan perasaan. Sedih rasanya melihat para remaja lainnya berangkat ke sekolah dengan senyum terkembang menjemput harapan. Saya hanya bisa menjalankan pekerjaan sehari-hari, di sawah yang sempit, di hutan mencari kayu bakar dan mencari pakan ternak.

Singkat cerita, saya tidak mampu bebas merencanakan nasib diri. Saya mengikuti takdir hidup. Pernah punya cita-cita menjadi akuntan dan guru, tapi tak ada yang tercapai, sebab memang orang miskin tidak bebas untuk bisa berusaha mencapai cita-cita.

Terpaksalah saya menjadi orang yang miskin pikiran, menurut ukuran sang doktor itu. Pada waktu itu akhirnya saya hanya berpikir, saya harus terus bekerja untuk menjalani amanat hidup. Hingga akhirnya saya bisa menempuh pendidikan tinggi dan menjadi sarjana, lalu punya gelar magister, tetapi menjalani pekerjaan yang bukan merupakan mimpi yang pernah saya bangun. Orang miskin tak pernah bisa leluasa memasang cita-citanya, sebab untuk bisa makan saja sudah bersyukur.

Mengapa orang miskin?

Saya tidak setuju dengan pendapat kaum kelas menengah atas yang menyudutkan kaum miskin dengan tuduhan bahwa mereka itu malas. Saya adalah salah satu saksi hidup, mengalami kemiskinan, juga berkeliling di sepanjang pulau Jawa, hingga ke Lampung, juga pernah di Bali, Sulawesi dan Kalimantan. Saya bisa melihat hamparan umat miskin di mana-mana, di mana para umumnya mereka berangkat kerja pagi-pagi buta hingga matahari hampir terbenam. Yang menyedihkan, orang miskin itu sering dianggap hewan tak berguna. Saat saya di Banjarmasin, ada orang yang bilang, “Kalau ada  orang kampung sini yang mati tertabrak truk batu bara, cuma dipinggirkan di pinggir jalan, lalu ditinggal Mas.”

Tapi saya tidak melihat kaum miskin itu tidak bahagia, meski hidup memang tak harus selalu bahagia. Tanpa disuruh membangun mimpi, mereka juga mempunyai mimpi-mimpi tentang kehidupan yang lebih baik. Saya bandingkan dengan keadaan kota, setelah saya berpengalaman hidup di kota Surabaya sekitar hampir 20 tahun ini, saya melihat banyak peristiwa kekecewaan yang menimpa kelas menengah atas, kekacauan keluarga, perselingkuhan, tingkat perceraian yang tinggi, anak-anak yang nakal dan menjadi masalah, yang keadaan-keadaan buruk itu jarang saya jumpai di desa-desa yang miskin.

Lalu tiba pada pertanyaan, mengapa orang-orang yang sudah bekerja keras itu masih banyak yang miskin? Saya melihat para petani mengeluh harga pupuk yang terus meningkat, harga jual hasil pertanian yang merugi. Para buruh di kota bergaji rendah, tak mampu mengimbangi laju kemahalan harga kebutuhan pokok. Ada yang meledek, “Kok mereka pada bisa membeli sepeda motor baru?” Iya, dengan utang, dicicil harganya. Setiap bulan dilanda pikiran was-was, apa penghasilan akan cukup untuk mencicil utang kendaraan bermotor.

Saya menyebut itu sebagai serangan kapitalisme terhadap kebahagiaan umat. Masyarakat tani dibuat bergantung kepada pupuk kimia pabrikan. Penjualan hasil-hasil pertanian masuk ke dalam pasar bebas yang galak. Petani lemah seperti seekor kelinci yang kurus kekurangan makan, masuk ke dalam hutan belantara yang di situ terdapat ular, harimau, singa.

Masyarakat dirayu dan diprovokasi oleh kampanye penjualan produk otomotif yang liar tak terkendali. Mereka dibuat terjerat utang dengan nafas ekonomi terengah-engah. Lalu jalanan kota penuh sesak, tingkat polusi udara tak terukur, jalan-jalan raya setiap hari dipenuhi dengan mayat-mayat orang-orang kecil pengendara sepeda motor yang celaka akibat serempetan atau bertabrakan atau juga akibat jalan rusak. Benar-benar merupakan serangan kapitalisme terhadap kebahagiaan umat. Mengapa masyarakat mau menjadi korban seperti itu?

Mungkin karena masyarakat kita ini memang sedang hidup di alam liar, bukan hidup di sebuah negara yang mampu melindunginya dan mendidiknya agar menjadi pintar. Saya hanya melihat orang-orang yang katanya bernama pejabat, tapi tak lebih hanyalah sales korporasi-korporasi dan bahkan lebih menyedihkan lagi mereka hanya mau menjadi para cecunguk modal, seperti orang bodoh diberi makanan yang membuat perutnya kenyang, manjadi penurut disuruh begini begitu, tak peduli apakah itu merugikan masyarakat atau tidak.

Orang-orang yang mampu sendiri-sendiri berjuang membangun mimpi, merencanakannya, dan mewujudkan mimpinya itu ada yang berhasil. Kian lama mereka kian berhasil. Sementara di sisi-sisi ruang lainnya ada yang terpuruk dan kian terpuruk, meskipun mungkin mereka tetap mampu menjaga sisa-sisa kebahagiaan di saat terus berlangsungnya serangan yang bertubi-tubi terhadap kebahagiaan mereka.

Di negara ini ada banyak motivator masyarakat. Bahkan hanya dengan ocehan dan tulisan maka para motivator dapat mengeruk uang yang banyak. Kata orang Jawa, mung bondho abab. Tetapi saya tidak melihat ada para motivator pejuang yang mau memberikan motivasi kepada para pejabat cecunguk penguasa kekayaan, agar tergugah kesadarannya, bahwa mereka harus bertobat, lalu bangkit membangun mimpi, menyusun rencana, guna mewujudkan masyarakat berkeadilan sosial yang digariskan dalam cita-cita nasional sebagaimana termuat dalam konstitusi. Mungkin juga karena kemapanan dengan cara itu tidak butuh gangguan, kecuali jika perubahan itu terjadi karena serangan oleh masyarakat yang menghendaki perubahan.

Yang ada hanyalah pertunjukan-pertunjukan yang pilu. Ketika ada warga masyarakat yang digusur, mereka bersorak girang. Saat ada pembangunan proyek-proyek besar yang merusak ekologi, menghancurkan nasib ribuan nelayan, mereka bertepuk tangan dengan membangun mimpi bahwa mereka akan hidup dalam kota yang rapi dan mengagumkan. Saya melihat justru kemiskinan solidaritas itu yang menjadi masalah besar. Yang terjadi justru pertarungan kelas. Andaikan kaum terpelajar kita dan para pengurus negara adalah kaum kaya solidaritas, mungkin tak akan sepedih itu jadinya.

Biasanya orang lalu bertanya: Lalu apa solusinya? Pertanyaan itu tak harus dijawab. Sebab keadaan itu mempunyai waktunya sendiri. Katakanlah memang ini sudah tak ada lagi solusi, maka alamlah yang akan mengakhirinya. 

Ikuti tulisan menarik Subagyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler