x

Puluhan warga menolak penggusuran dengan cara aksi blokir jalan alat berat backho saat melakukan penggusuran pemukiman yang terkena proyek normalisasi Sungai Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta, 28 September 2016. TEMPO/Subekti

Iklan

Mimin Hartono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Penggusuran dan Permukiman yang Layak

Penggusuran paksa dipakai sebagai terminologi karena pengosongan lahan dilakukan tanpa melalui pendekatan dialogis dan mengabaikan partisipasi warga.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berita tentang penggusuran di lahan-lahan yang diklaim menjadi milik negara di wilayah DKI Jakarta sangat sering kita dengar di masa pemerintahan Gubernur Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.

Menurut data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, sepanjang 2015 terjadi 113 kasus penggusuran paksa di DKI Jakarta. Lebih dari tiga ratus titik permukiman terancam untuk digusur pada 2016, demikian informasi yang disampaikan LBH Jakarta di situsnya.

Dalih penggusuran tersebut bermacam-macam, dari untuk memperluas kawasan resapan air, mengembalikan fungsi sungai, dan menertibkan permukiman liar di lahan milik negara. Hal ini telah terjadi di Luar Batang, Kali Jodo, Bukit Duri, dan tempat lainnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penggusuran paksa dipakai sebagai terminologi karena pemindahan penduduk dan pengosongan lahan dilakukan tanpa melalui pendekatan dialogis dan mengabaikan partisipasi warga. Bukti-bukti hukum pun diabaikan seperti bukti kepemilikan tanah dan sejarah penguasaan tanah.

Dalam penggusuran paksa di Bukit Duri beberapa waktu yang lalu, pemerintah DKI tidak menerima ide warga untuk melakukan penataan secara partisipatif dan bahkan tidak menghormati proses hukum yang sedang berjalan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak atas Pembangunan menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk berpartisipasi dan menikmati hasil-hasil pembangunan tanpa terkecuali. Semua pihak tanpa memandang golongan, status sosial dan ekonomi, gender, orientasi seksual, berhak untuk menentukan nasib dan masa depannya sendiri.

Hari Habitat Internasional 2016 yang diperingati di hari Senin pertama di bulan Oktober menegaskan pesan penting bahwa setiap orang berhak atas tempat tinggal dan permukiman yang layak dan bermartabat.

Hari Habitat yang ditetapkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 40/202 tanggal 17 Desember 1985 menggarisbawahi kewajiban dari negara untuk menyediakan permukiman yang terjangkau dan layak khususnya di perkotaan.

Hal ini karena khususnya laju urbanisasi yang sangat tinggi di perkotaan termasuk DKI Jakarta sehingga masih banyak ditemukan permukiman yang tidak layak huni dan tidak sehat atau biasa disebut sebagai permukiman kumuh (slum area).

Namun demikian, perlu sikap bijaksana dari pemerintah untuk menelusuri masifnya permukiman kumuh di DKI Jakarta, daripada hanya menyalahkan warga dan mensederhanakan persoalan dengan menuduh mereka sebagai penghuni ilegal. Permukiman kumuh tumbuh subur karena diantaranya tidak seimbangnya antara kebutuhan rumah yang layak dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya.

Minimnya akses atas rumah yang layak dan terjangkau menyebabkan warga tinggal di lahan-lahan yang diantaranya diklaim menjadi milik negara karena lebih mudah diakses secara ekonomi.

Joko Widodo ketika maju mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pernah menyatakan janji politik di hadapan organisasi masyarakat sipil yang melakukan advokasi hak kaum miskin kota bahwa tidak akan ada penggusuran, namun penataan yang melibatkan warga dalam proses dan implementasinya.

Namun ternyata janji tersebut dianggap telah diingkari karena selepas Jokowi menjadi Presiden, Ahok yang menggantikannya aktif melakukan penggusuran paksa tanpa kompromi.

Padahal, ada banyak contoh keberhasilan penataan kawasan kumuh yang melibatkan partisipasi warga, misalnya yang banyak dilakukan oleh Arsitek Komunitas Jogja terhadap masyarakat di bantaran Sungai Code. Gerakan mereka terinspirasi oleh program penataan Kali Code yang pernah dilakukan oleh mendiang Romo Mangun.

Partisipasi warga menjadi kunci penting bagi keberhasilan penataan kawasan kumuh perkotaan. Pemerintah harus mau terbuka dan membuka diri atas kemauan warga untuk berpartisipasi membangun kehidupannya supaya lebih baik dan layak. Apalagi, partisipasi adalah hak yang dimiliki oleh setiapset orang sehingga pemerintah wajib menghormatinya.

Kadangkala yang menjadi soal adalah kemalasan berpikir dan bertindak di kalangan aparatur pemerintahan sehingga yang diambil adalah langkah mudah dan praktis yaitu menggusur, habis perkara. Hal ini diperparah dengan pendekatan yang normatif dan legalistik sehingga menutup ruang untuk berdialog.

Padahal, penggusuran adalah solusi yang bermasalah dan bisa menciptakan kemiskinan yang lebih akut dan kompleks, karena warga kehilangan pekerjaan dan akses sosial ekonomi yang selama ini menjadi  tumpuan hidup mereka. Mereka biasanya akan direlokasi rumah susun yang letaknya jauh dari sumber penghasilan mereka.

Penggusuran paksa adalah opsi terakhir ketika cara lain yang lebih manusiawi dan partisipatif tidak lagi tersedia. Itupun harus melalui proses konsultasi, dialog, dan dilakukan di waktu yang tepat dan dibuktikan secara hukum melalui putusan pengadilan yang berwenang.

Sementara itu, mereka kaum berpunya atau the have yang juga menempati lahan milik negara dan kawasan resapan air dibiarkan tanpa tersentuh oleh hukum dan kebijakan negara. Mereka mendapatkan previlege dari pemerintah karena rumah dan permukiman mereka tidak menganggu estetika dan keindahan kota.

 

Mimin Dwi Hartono

Staf Senior Komnas HAM, pendapat pribadi

Ikuti tulisan menarik Mimin Hartono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler