x

Iklan

jubir darsun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Delusi Sistem Tebuka Terbatas

pemilu serentak adalah pemilu yang dilaksanakan tahun 2019 untuk memilih anggota DPR/DPD/DPRD dan memilih prsiden dan wakil presiden secara bersamaan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa tahun kedepan, emosi dan pikiran kita akan terus digerus ke kancah pertarungan politik. Setelah momentum pilkada langsung usai, kita semua dipaksa untuk memikirkan revisi paket Undang-Undang Pemilu yang ideal untuk produk pemilu serentak tahun 2019. Revisi paket Undang-Undang Pemilu yang akan digodok di DPR meliputi UU No. 15 Tahun 20112 tentang Penyelenggara Pemilu,  UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Prsiden. Tak mengherankan jika sebagaian kalangan beranggapan bahwa, panglima tertinggi di republik ini adalah politik, bukan hukum sebagaimana tercantum dalam UUD NRI 1945.

Setidaknya, ada enam persoalan krusial yang akan menjadi perdebatan hangat di DPR berkaitan dengan revisi paket Undang-Undang Pemilu. Ke-enam persoalan tersebut antara lain, sistem pemilu Legislatif, ambang batas Parlemen, metode penghitungan kursi di Parlemen serta syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam berbagai kesempatan, Pemerintah menggarisbawahi, bahwa perdebatan dan keputusan mengenai masalah-masalah tersebut bukan benar dan salah, melainkan berdasar pada kepentingan dan pilihan politik Fraksi-fraksi di DPR.

Persoalan serius yang mengemuka adalah tawaran sistem pemilu terbuka terbatas untuk pemilihan calon anggota legislatif. Dalam sudut pandang Pemerintah, sistem pemilu terbuka terbatas dimaksudkan untuk mengakomodasi aspirasi rakyat sekaligus tetap memperkuat peran partai politik. dalam sistem pemilu terbuka terbatas, baik suara yang diperoleh partai maupun suara yang diperoleh caleg akan dihitung sebagai perolehan suara partai. Keseluruhan suara partai akan menentukan berapa kursi yang diraih parpol. Dalam bilik suara, masyarakat bisa memilih tanda gambar partai atau nama caleg secara khusus.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam sistem terbuka terbatas, calon anggota legisatif nomor urut terakhir pun tetap bisa mendapatkan suara terbanyak. Namun, karena suara partai dan suara caleg digabung menjadi perolehan suara partai, keterpilihan caleg yang duduk menjadi anggota DPR/DPRD ditentukan oleh partai politik berdasarkan nomor urut.

Dengan sistem pemilu terbuka terbatas yang akan dibahas oleh dewan dalam waktu dekat ini, memori kelam pemilu pemerintahan orde baru kembali menyeruak. Dalam pemilu-pemilu selama pemerintahan Orde Baru (Pemilu 1971, 1977, 1982, 1992, dan 1997), penentuan para calon yang diajukan untuk duduk di lembaga-lembaga legislatif, sepenuhnya berada ditangan elite partai. Akibatnya, aspirasi dan kepentingan rakyat tentang siapa yang layak mewakili mereka di kekuasaan legislative di fait accompli oleh elite-elite politik.

Dengan dalih menjaga kedaulatan partai politik, upaya pembenturan institusi politik(Parpol) dengan pemilih sangatlah nyata. Seorang caleg dengan perolehan suara terbanyak berdasarkan tingkat kesukaan masyarakat yang memilihnya, harus merelakan amanah yang diperolehnya pada caleg dengan nomor urut kecil. Sebuah anomali di negara demokrasi yang kredibitas penyelenggaraan pemilu makin diakui dunia.

Pemilihan Umum serentak 2019 merupakan momentum sejarah baru dalam perbaikan kehidupan politik berbangsa. Karena itu, menjaga kedaulatan pemilih, memastikan caleg terpilih sesuai kehendak rakyat penting untuk dipertahankan. Kita tak ingin kembali pada era pemerintahan Soerhato. pemilu didesain secara manipulatif dan dibajak segelintir elite.

Ikuti tulisan menarik jubir darsun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler