x

Iklan

AGUS DERMAWAN T

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menuju World Culture Forum 2016 ~ Agus Dermawan T.

World Culture Forum (WCF) II akan digelar di Bali Nusa Dua Convention Center pada 10-14 Oktober 2016.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

World Culture Forum (WCF) II akan digelar di Bali Nusa Dua Convention Center pada 10-14 Oktober 2016 dengan tema "Culture for An Inclusive Sustainable Planet". Forum ini mendaftar 1.800 tamu dari 65 negara yang terdiri atas tokoh budaya internasional, penerima Hadiah Nobel, menteri dan direktur kebudayaan seluruh dunia, serta akademikus. Sebagai penulis kebudayaan terundang (namun berhalangan datang), saya menjunjung WCF lewat artikel ini sebagai bahan refleksi.

Sejumlah koran edisi 29 November 2013 memuat berita kekacauan dalam Festival Musik Dunia di Rumah Topeng dan Wayang Setia Darma, Sukawati, Bali, 27 November tahun itu. Acara ini adalah perhelatan pamungkas WCF I, yang digelar pada 24-27 November 2013 di Bali. Kekacauan acara disebabkan oleh padamnya listrik selama dua jam dan kurangnya persediaan makanan, sehingga sebagian besar dari 500 delegasi kesenian dunia kelaparan. Peristiwa itu "melengkapi" kekacauan beberapa hari sebelumnya dalam Festival Musik Etnik Dunia di Denpasar Art Center. Hujan yang mengguyur tak diperhitungkan penyelenggara, sehingga para tamu dan pemusik lari terbirit-birit untuk berteduh. Sebagian pemusik pun batal tampil.

Sejak jauh hari, banyak orang yang khawatir akan munculnya kejadian seperti itu. Setidaknya setelah pers mengamati kekacauan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia di Yogyakarta pada Oktober 2013, yang dianggap sebagai "pemanasan" sebelum WCF I. Kontroversi pemilihan sejumlah pembicara sampai kelambanan pengundangan (sehingga banyak kursi kosong) adalah beberapa buktinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Masyarakat tahu benar bahwa kongres itu, termasuk WCF I, dicoba sebisanya dilaksanakan sendiri oleh para pekerja institusi negara, seperti Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Acara ini tidak dikerjakan oleh event organizer (EO), panitia profesional. Sebuah upaya elok yang patut diapresiasi. Namun, ketika upaya ini tidak optimal dan terkesan cuma coba-coba, khalayak merasa dirugikan. Apalagi perhelatan budaya ini selalu menelan biaya amat tinggi.

Sesungguhnya, pada masa sebelum 2000, atau era Orde Baru, pemerintah memang selalu bekerja sendiri untuk menuntaskan berbagai kegiatannya. Apabila perhelatannya besar, institusi terkait baru memanggil para ahli untuk memberikan pengarahan dan bobot penyelenggaraan. Dalam pelaksanaan, tenaga-tenaga dari pemerintahlah yang bekerja. Dengan sistem kerja seperti itu, penyelenggaraan kegiatan budaya (dan seni) dalam beragam skala berlangsung lancar selama puluhan tahun. Dan para ahli yang diperbantukan, dengan honorarium yang senantiasa disunat, anehnya selalu setia dengan semboyan: kerja untuk negara dan bangsa.

Wajar bila ketidaksempurnaan WCF I memunculkan dugaan bahwa jajaran Direktorat orde sekarang memang kurang mampu membikin acara sebesar itu. Musababnya, belasan tahun sebelumnya, Direktorat terlalu kerap menggunakan jasa EO untuk menggelar acara akbar. Tak bisa dimungkiri, penyerahan tanggung jawab kerja kepada EO menyebabkan kurangnya kecakapan jajaran Direktorat dalam melahirkan peristiwa yang lancar dan bermutu.

Kita tahu bahwa EO adalah perencana dan pelaksana berbagai kegiatan. Peran EO amat kompleks, dari soal penentuan waktu dan anggaran hingga publikasi serta keamanan. Kompleksitas itu mendorong EO merekrut orang-orang yang ahli di setiap bidang terkait.

Keberadaan EO disambut baik oleh pemerintah. Penyambutan ini didorong beberapa faktor. Pertama, kepraktisan, lantaran pemerintah akhirnya hanya menyediakan dana pelaksanaan. Kedua, EO bisa menolong pemerintah dalam menyempurnakan dan merealisasi gagasan. Ketiga, EO bisa menggantikan tenaga-tenaga pemerintah yang tidak (atau belum) mampu bekerja optimal. Walhasil, pemerintah pun cuma memposisikan diri sebagai konseptor dan fasilitator.

Dengan begitu, penggunaan jasa EO amat berpotensi menyusutkan spirit aparat pemerintah untuk berpikir tajam, luas, dan jauh karena mereka menganggap dirinya hanya perlu memberikan gagasan dasar untuk dikembangkan oleh EO. Kita sah-sah saja membayangkan, jika sistem kerja semacam ini berlangsung lebih dari satu dekade, kemampuan berpikir dan keterampilan aparat pemerintah akan tumpul.

Masyarakat tidak tahu apakah pelaksanaan WCF II pekan depan mendayagunakan EO atau tidak. Apabila menggunakan EO, panitia ini harus sepenuh-penuhnya memikul tanggung jawab yang dibebankan oleh pemerintah. Apabila tidak menggunakan EO, jajaran Direktorat mesti bekerja keras menajamkan kemampuannya setelah berbilang tahun kemampuan itu tumpul akibat penggunaan EO. Pengalaman tiga tahun silam layak menjadi bahan refleksi.

Kita boleh yakin, Direktorat di bawah pimpinan Hilmar Farid sanggup melaksanakan WCF II dengan relatif sempurna. Mata dunia siap menyorotinya.

Agus Dermawan T., konsultan Koleksi Benda Seni Istana Presiden

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 7 Oktober 2016

*) FOTO: worldcultureforum-bali.org

Ikuti tulisan menarik AGUS DERMAWAN T lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler