x

Iklan

Frans Ari Prasetyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bukit Duri: Arsitektur dan Politik (Perencanaan) Kota

Bukit Duri, menjadi salah satu contoh ekskalasi ruang (kehidupan) urban yang mengalami konstruksi dan dekonstruksi kuasa pembangunan dan ilmu pengetahuan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gambar 1 : ASF-ID di Bukit Duri ; Kredit foto : ASF-ID-2016 ; Gambar 2 : Desain Kampung Susun Bukit Duri oleh warga dan Studio Akanoma ; Kredit Foto Frans Ari Prasetyo-2016. Keduanya dipamerkan dalam pameran Arsitektur bertajuk IndonesiaLand di Selasar Sunaryo Art Space, Sept-Okt 2016.

Abstrak: Bukit Duri menjadi salah satu contoh eskalasi ruang (kehidupan) urban yang mengalami konstruksi dan dekonstruksi kuasa pembangunan dan ilmu pengetahuan. Melalui langkah penyerapan akumulasi sosial-kapital dan pengetahuan, Bukit Duri menjadi lansekap serap-menyerap akumulasi tersebut dan saling berkelindan dalam bentuk dan sosok yang beragam rupa melalui skema-skema tertentu. Salah satunya adalah dorongan kearah fisik/infrastruktur melalui skema kerja penggusuran. Di sisi lain dorongan terkait fisik/infrastruktur ini memang menjadi naskah pembangunan, dengan atau tanpa penggusuran tersebut, karena yang penting adalah terdapat area atau wilayah terbangun dalam sebuah ruang kota. Dalam konteks ini, peran ilmu pengetahuan tidak bisa dikesampingkan dari narasi naskah pembangunan. Tentu saja penggusuran terjadi dengan tujuan untuk ‘menata ulang’ atau melakukan revitalisasi demi tujuan tertentu yang dikerjakan oleh kekuasaan kapital lewat tangan-tangan korporasi-developer. Di sisi lain, warga juga berdaya untuk melakukan kerja menata-ulang untuk (ruang) hidup dan kehidupannya yang lebih baik walaupun dengan kemampuan yang terbatas. Maka, soal disiplin perencanaan dan arsitektur secara langsung maupun tidak langsung bekerja atas ruang kehidupan tersebut, hanya saja berada di pijakan atau keberpihakan kemana disiplin ini dirujuk atau digunakan. 

Penggusuran pemukiman warga kampung Bukit Duri pada 28 September 2016 adalah contoh bagaimana penataan paksa kota terjadi yang tidak hanya merusak bangunan permukiman, tapi juga menghancurkan harapan warga, inisiatif dari bawah (bottom-up) dan keberdayaan warga otonom dan kewargaan yang telah terbangun secara organik dalam kurun waktu yang cukup lama. Di sisi lain, skema keberdayaan warga juga menjadi eskalasi ruang urban lainnya yang tampak tidak nyata tapi memberikan narasi yang sebenarnya tentang sebuah ruang, sebuah kampung kota, dan sebuah kehidupan kewargaaan.

Ketika penggusuran paksa terjadi tidak hanya dimensi ekonomi yang tercerabut, tetapi juga hilangnya jalinan sosial kewargaan. Maka ketika ‘relokasi’ ke rusun, sebagai sebuah inisiasi top-down dari penguasa, dianggap sebagai jalan keluar yang terbaik untuk warga miskin kota yang mengalami penggusuran, siapakah yang bisa menjamin warga korban gusuran akan hidup lebih baik ketika pindah di rusun? Ini seperti mitos pembangunan yang terus menerus direproduksi oleh rezim kekuasaan. Lantas siapa yang paling mengerti kehidupan dan permasalahan yang dihadapi oleh warga di Bukit Duri? Apakah arsitek, perencana kota, aktivis, relawan, ataukah warga kelas menengah ngehek? Bukan! Yang paling mengerti adalah para penghuni, yaitu warga Bukit Duri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penataan kota yang melibatkan warga belum menjadi arena kerja populer di kalangan birokrat yang belum beranjak jauh dari mental patron-client Orde Baru hingga sekarang ini. Lama setelah reformasi, semua seolah berjalan di tempat di dalam kerangkeng developmentaris kacamata kuda.  Seharusnya ketika ada konsep atau solusi yang melindungi warga yang marjinal secara ekonomi-politik dan mengayomi warga yang bermukim turun-temurun puluhan tahun dan ikut membentuk wajah dan sejarah (kampung) kota hal ini menjadi alternatif inisiasi bottom-up yang patut untuk didukung.  Secara de facto, sebagian besar warga Bukit Duri mendukung usulan rencana alternatif, misalnya “Kampung Susun Manusiawi Bukit Duri” dari Studio Akanoma, serta proses perencanaan oleh Ciliwung Merdeka yang nyatanya dilakukan bersama sama warga dibantu oleh para ahli dan dijalankan dalam kurun waktu yang tidak sebentar, ada proses, ada dialog, dan ada konsensus bersama, tanpa hierarki. Pada momen tersebut sesungguhnya "kemauan" menata itu bekerja dalam proses kerja partisipatoris. Warga yang dibantu oleh para ahli, arsitek, perencana, pengacara, dll. mengajukan alternatif solusi pemukiman yang ramah lingkungan dan dapat dipertanggung-jawabkan legitimasinya. Secara desain, misalnya melalui studi tipologi pemukiman atas air di berbagai tempat yang layak dikerjakan di Bukit Duri. Selain solusi pemukiman, warga juga melakukan kerja berdaya bersama para ahli untuk melakukan kerja untuk lingkungan, kerja budaya, dan kerja arsitektural.

Seyogyanya, setelah kontrak politik Joko Widodo dan Basuki Purnama (Ahok) yang ditanda-tangani pada 15 September 2012 lalu sebagai calon Gubernur an wakil gubernur DKI Jakarta, yang pada point dua menyatakan bahwa pemenuhan dan perlindungan hak-hak warga kota yang meliputi legalisasi kampung ilegal, pemukiman kumuh tidak digusur, tapi ditata. Jika dalam kacamata rezim kawasan Bukit Duri masih dianggap ilegal dan kumuh, kontrak politik sesungguhnya merupakan suatu traktat moral; bahwa ketika terpilih penanda-tangan akan melakukan hal seperti tertulis; legalisasi kampung dan penataan. Nyatanya pada 28 September 2016, Ahok yang menjadi gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo yang sudah menjadi presiden mengingkari kontrak politik tersebut dan sang mantan gubernur Joko Widodo pun mendiamkannya.

Sebelumnya, ada pernyataan dan kesepakatan warga Bukit Duri saat mereka mengusulkan pembangunan “Kampung Susun Manusiawi Bukit Duri” yang dinyatakan pada 12 Agustus 2016 untuk merespon kebijakan rusunawa. Warga mengusulkan Kampung Susun sebagai solusi alternatif dan konsep desainnya disetujui oleh Joko Widodo, sehari setelah ditetapkan sebagai Gubernur DKI Jakarta, saat kunjungan ke di Bukit Duri pada tanggal 16 Oktober 2012. Masih dalam pernyataan kesepakatan yang sama, warga memberikan usulan ini demi terwujudnya pembangunan Jakarta yang manusiawi, adil dan beradab. Kampung Susun adalah wahana lingkungan yang secara inkremental memungkinkan komunitas warganya membangun unit-unit secara fleksibel pada struktur dasar yang telah terpasang. Disini komunitas warga dapat lebih berperan aktif untuk menggali alternatif yang paling applicable dan acceptable, guna memperoleh suasana dan lingkungan kampung yang sesungguhnya. Kampung susun diusulkan dengan mengadopsi pola kehidupan kampung tradisional, dibangun secara partisipatif, ekologis dengan wakah kebhinekaaan yang khas dengan dukungan pranata sosial-ekonomi kewargaan yang demokratis yang memberikan porsi kebudayaan, keadaban, dan religiositas warga.

Dalam penyataan tersebut, Kampung Susun diusulkan oleh warga Bukit Duri dan komunitas Ciliwung Merdeka dengan perbandingan pembiayaan 50% dari Pemprov DKI, 30% dari warga Bukit Duri RW 10,11,12, dan 20% dari beberapa investor yang dikontrol Pemprov DKI. Ia disebut Kampung Susun, karena ia merupakan alternatif dari proyek rusunawa yang selama ini lebih sering gagal, karena hanya menyediakan tempat tinggal/tidur semata, tidak menyediakan ruang untuk usaha/mencari nafkah, tidak juga ruang sosial, ruang ekonomi, ruang budaya, keagamaan, dst. Pada Kampung Susun setiap lantai terdiri dari deretan unit rumah dan beragam kegiatan serupa dengan pola kampung tapak, dan tidak linier, tidak kaku seperti pada blok di hunian rumah susun. Kampung Susun warga Bukit Duri akan menunjukan keberdayaan warga secara keruangan dan secara sosial kewargaan.

(Pameran) Arsitektur Indonesialand

Bidang penciptaan ilmu pengetahuan seyogyanya di produksi dan dikonsumsi dalam skenario  tata ruang dengan tidak melakukan keberpihakan kelas masyarakat tertentu. Ketika arsitektur dan perencanaan sudah menjadi bagian rantai pasok  pada sistem produksi kapitalisme, maka yang dihitung sebagai patokannya hanya jam kerja dan produk kerja. Faktor manusia akan menjadi urutan terbawah dalam segitiga kerja kapitalisme. Kelatahan tampak dalam membangun sesuatu yang gigantis dan mewah melalui representasi gedung-gedung pencakar langit, hunian berbasis gated community atau manifestasi imaji modernitas lainnya. Tapi nyatanya pembangunan seperti itu hanya memberikan narasi miris pada ilmu pengetahuan arsitektur dan ilmu perencanaan kota serta mencerabut keadaban komunal dan memori kolektif kewargaan. Semua hanya dihitung pada sejumlah deret angka yang dilengkapi premis-premis developmentaris, tidak peduli itu sesuai atau tidak, secara etika benar atau tidak, atau bahkan diperlukan oleh warga atau tidak. Maka soal ini terkait berada dimana individu yang mengimplementasikan arsitektur dan penataan kota, berada di batas garis atau pijakan yang mana. Hal ini bisa terlihat dari bagaimana implementasi arsitektural yang dikerjakannya dan berkelindan dengan pihak mana saja atau bahkan dengan rezim hegemonik; apakah  arsitek dan perencana kota bekerja dengan plat merah, plat hitam, atau plat kuning. Pada posisi tersebut dapat terlihat keberadaan pijakannya serta ideologinya.

Pameran Arsitektur Indonesialand yang berlangsung di Selasar Sunaryo Art Space di Bandung yang berlangsung dari 2 September sampai 2 Oktober 2016 merupakan sebuah upaya untuk merayakan ketakjuban arsitektur Indonesia sekaligus menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan arsitektur dan perencanaan diproduksi-dikonsumsi hingga pijakan keberpihakan kelas dan ideologi yang membungkusnya. Dari 30 karya pameran arsitektur yang dipamerkan, mayoritas diikuti oleh studio-studio atau arsitek-arsitek terkenal di Indonesia. Namun terdapat dua karya yang menunjukan kerja partisipatoris  nyata dan bersifat pro bono di kampung-kampung kota yang dituduhkan sebagai tempat produksi kekumuhan kota dan tempat melanggengkan kemiskinan warganya. Kedua karya ini bekerja secara langsung bekerja di kampung Bukit Duri, Jakarta Selatan bersama warga yang kemudian mengalami penggusuran paksa oleh rezim kota. Di satu sisi sedang terjadi euforia pameran arsitektur Indonesialand untuk merayakan arsitektur, tapi disisi lainnya yang lebih kongkrit sedang mengalami kemunduran arsitektur dengan adanya penggusuran, yang sekaligus menaifkan kerja arsitektural di tempat tergusur tersebut, yang sedang dipamerkan hasil produksi kewargaannya. 

Perayaan arsitektural dalam pameran ini tentunya juga merupakan perayaan kelas. Disini dapat ditelususi rekam jejak dimana dan berpihak kepada siapa sebuah arsitektur itu bekerja, dengan ideologi apa mereka bekerja, dan siapa aktor yang mengerjakannya melalui produk-produk arsitektural yang dipamerkan. Dalam catatan kuratorialnya, pameran IndonesiaLand ingin menarik sebuah garis pada sebuah sistem arsitektural yang secara tersurat mengintegrasikan struktur dan konstruksi, secara tersirat mengintegrasikan variasi fungsi dengan kandungan subjetivitas estetika, yang objektivitasnya adalah nilai kapital. Alih-alih menghadirkan miniatur bangunan atau gambar kerja yang umum merepresentasikan gagasan arsitektural, keutamaan gagasan menjadi gerbang analisis kuratorial dari pameran ini, yang diterjemahkan bahwa aritektur adalah budaya dengan sebuah ikhtiar; mengarsitekturkan manusia dan memanusiakan arsitektur.

Kampung Susun dan Tenda Belalang merupakan dua narasi kecil arsitektural bagaimana keadaban, kemanusiaan, dan (peta) administrasi warga Bukit Duri dalam hidup dan penghidupannya coba dipertahankan, dipelihara, dan diproduksi oleh warga sendiri sebagai warga tempatan maupun oleh warga lainnya dengan latar belakang etnis, agama, disiplin keilmuan, dan kelas masyarakat yang beragam untuk menunjukan bahwa keadaban dan kemanusiaan itu bukan hanya sekedar bangunan dan ukuran administratif. Disinilah penerjemahan arsitektur sebagai budaya yang mengarsitekturkan manusia dan memanusiakan arsitektur tengah berlangsung secara kongkrit.

Pada gambar 1, menunjukan suasana gang di kampung Bukit Duri yang telah mengalami penggusuran paksa. Pada gambar memperlihatkan gang Bukit Duri dan seorang anak warga Bukit Duri yang sedang menatap rumah, tempat bermain, hidup dan penghidupannya selama ini. Namun tatapan yang sama dalam kondisi nyata, di waktu yang sama ketika pameran ini tengah berlangsung juga ditunjukan oleh anak-anak Bukit Duri ketika rumah, tempat bermain, hidup dan penghidupannya selama ini sedang dirampas oleh rezim lewat skema kerja penggusuran. Pada gambar juga terdapat tiang-tiang bamboo membentuk konstruksi arsitektural Tenda Belalang yang digunakan ketika berlangsung Pasar Rakyat di Bukit Duri pada tanggal 2 April 2016 lalu. Pada moment tersebut keadaban dan kerja kultural dalam mengarsitekturkan manusia dan memanusiakan arsitektur sedang berlangsung dan diproduksi di keseharian warga, sebagai bagian dari memori kolektif warga Bukit Duri, melalui kerja arsitektural dan perencanaan partisipatif.

Tenda Belalang Pasar Rakyat Bukit Duri  di instal pada pameran menjadi memento bagi kewargaan Bukit Duri. Khusus untuk Tenda Belalang, kerja lapangan di Bukit Duri ketika berlangsungnya Pasar Rakyat dibawa ke ruang pamer pada skala satu-banding-satu sesuai peruntukan aslinya yang telah dan masih digunakan sampai penggusuran kampung Bukit Duri berlangsung. Ketika artefak ini dibawa oleh ASF-ID keranah pameran untuk menunjukan kepada warga umum lainnya dan khususnya kalangan arsitektur Indonesia bahwa warga dan kewargaan itu dibentuk melalui keadaban dan kemanusiaan itu sedang dihilangkan oleh fasisme rezim kekuasaan. ASF-ID menunjukan bahwa arsitektural tidak hanya bekerja dalam kontek ‘desain’ tapi juga sistem pengintegral para pihak dari berbagai disiplin ilmu dalam membangun struktur masyarakat. Merujuk hal tersebut dalam pameran ini, ASF-ID menyampaikan sebuah Laporan dari Garis Depan sebagai representasi arsitektur yang bekerja partisipatif dalam masyarakat sipil dengan memberi solusi atas kompleksitas permasalahan sosial dalam ruang-ruang marjinal. Arsitektur bekerja tidak hanya sebagai desain, tapi turut mengintegralkan para pihak dengan berbagai disiplin ilmu dengan cara memfasilitasi warga secara bottom-up. Karya ini merupakan studi kasus proyek ASF-ID di Kampung Tongkol dan Pasar Rakyat Bukit Duri,

Hal yang sama berlaku pada gambar 2 yang di tampilkan oleh Studio Akanoma yang dipimpin oleh arsitek Yu Sing. Realitas urban yang berupa kumpulan kampung-kampung kota terutama pemukiman warga menengah kebawah yang kerap luput dari pembanguan yang adil dan merata bahkan di singkirkan melalui skema-skema developmentaris melalui kerja penggusuran. Warga Bukit Duri telah mengajukan konsep penataan kampung dengan konsep Kampung Susun, sebelum rezim penguasa Jakarta memenangkan pesta elektoralnya.  Meminjam pernyataan warga Bukit Duri, bahwa  “Kampung Susun”  merupakan alternatif dari proyek rusunawa yang selama ini di Indonesia dianggap gagal, karena hanya menyediakan tempat tinggal/tidur semata, tidak ada ruang untuk usaha/mencari nafkah, tak ada ruang sosial, ruang ekonomi, ruang budaya dan religius. 

Pada pameran Indonesialand, Akanoma menunjukan bagaimana proses kerja partisipasi dan kesejarahan kawasan  dan warga Bukit Duri dalam membentuk sejarah dan narasi warganya sebagai suatu kesatuan memori kolektif dalam melakukan kerja buttom-up untuk skenario/konsep kampung susun. Instalasi dalam pameran ini menunjukan bentuk atau ornamen kampung susun sebagai display informasi terkait kondisi kampung susun melalui contoh sudut visualisasi kampung susun  yang di sempurnakan secara keseluruhan melalui sebuah maket kerja. Namun nyatanya  konsep kampung susun yang sempat disetujui dalam kontrak politik calon gubernur dan wakil gubernur ini ditolak melalui penggusuran paksa yang dilakukan oleh gubernur yang sebelumnya jadi (calon) wakil gubernur Jakarta yang menandatangani kontrak politik tersebut. Maka soal, ketika warga telah berdaya untuk mengajukan alternatif solusi pemukiman yang ramah lingkungan dan dapat dipertanggungjawabkan secara desain melalui studi tipologi pemukiman atas air di berbagai tempat dibelahan dunia untuk dikerjakan sesuai dengan kontrak politik tersebut malah dilupakan bahkan dinistakan rezim dengan penggusuran.

Dalam catatan pamerannya, Akanoma mengutarakan bahwa perspektif pembangunan sering dipersepsikan sebatas gedung-gedung vertikal pada kenyataannya tak fleksibel menyikapi cara hidup khas masyarakat kita; cenderung mempertahankan tradisi ngariung layaknya di kampung. Realitas urban perkotaan kita adalah kumpulan kampung warga menengah ke bawah yang kerap luput dari pembangunan adil dan merata. Tak heran, isu sosial kontemporer urban pun identik dengan perebutan hak bermukim. Penggusuran pun menjadi cara aparatur membangun. Kampung Susun (Kota) hendak memproposisikan ulang kampung, menskalakan nilai atau tradisi kekeluargaan dan perikehidupan khas masyarakat kita pada tatanan arsitektural yang vertikal.

Desain yang mencoba mencari alternatif penataan kampung kota yang menghabiskan segenap energi kewargaan dan kebersamaan dan pemikiran warga secara bersama-sama dengan para ahli khususnya arsitek, kemudian hanya disindir-sindir rezim penggusur dan pendukungnya sebagai sesuatu yang utopis dan instalasi. Desain ini memang instalasi, memang benar adanya jika memang dipajang diruang pameran seperti yang terjadi dalam pameran Indonesialand ini, tapi jika desain ini berada di area pemukiman warga merupakan sebuah manuskrip artefak politis warga sebagai nilai tawar terhadap rezim untuk melaksanakan kontrak politiknya.

Berdasarkan kerangka kuratorial pameran diatas dan konteks kerja lapangan bagaimana arsitektur bekerja bersama warga terlebih warga yang termarjinalkan oleh rezim.  Apa yang telah dilakukan oleh ASF-ID dan Akanoma telah menunjukan struktur dan konstruksi yang mengintegrasikan fungsi dan estetika yang bernilai sosial-kapital versi warga yang komunal dalam kerangka kerja buttom-up. Gagasan arsitektural yang ditampilkan telah terealisasikan dalam wujud kongkrit baik dalam wujud nyata dengan skala satu-banding-satu seperti yang ditunjukan oleh Tenda Belalang-nya ASF-ID atau pun yang masih dalam konsep kampung (susun) kota yang di usung oleh Akanoma yang terpatri dalam memori kolektif warganya sebagai bagian dari kerja partisipatoris dengan waktu yang cukup lama yang menghasilkan sebuah rancangan arsitektural yang siap dan layak untuk  direalisasikan, hanya saja terkait kemauan politik dari kekuasaan kota-nya untuk melaksanakan kontrak politik yang sebelumnya pernah dijanjikan dan ditandatangani.

Belajar dari Pruitt-Igoe

Penggusuran yang marak terjadi di beberapa kota di Indonesia yang warga terdampaknya kemudian di tempatkan di rusun-rusun sewa yang telah disediakan oleh rezim walaupun jaraknya jauh dari tempat semula, dari akses kehidupannya. Perihal tema pendisiplinan dengan menggunakan rusun sebagai tipologi pembenaran rezim, ada baiknya kita melihat pengalaman lampau, merujuk kepada kasus yang pernah terjadi Amerika Serikat di awal tahun 1950-an dengan kemunculan proyek Pruitt-Igoe.

Pruitt-Igoe merupakan kompleks apartemen/rusun yang dibangun untuk menyelesaikan masalah pemukiman kumuh di St. Louis-Amerika. Proyek ini terdiri dari 2870 unit apartemen yang berada dalam  33 bangunan yang masing-masing terdiri dari 11 lantai. Lalu pertanyaanya, apakah masalah pemukiman kumuh di St. Louis selesai?  Tanggal 15 Juli 1972, komplek apartemen itu dirubuhkan karena ditengarai menjadi sumber kriminaitas.  Melihat konsep desain arsitekturalnya, yang sangat khas pada Pruitt-Igoe adalah sistem ‘skip stop elevator.’ Sistem ini bekerja pada setiap bangunan yang terdiri dari 11 lantai, dimanaelevatornya hanya berhenti di lantai-lantai tertentu saja, yaitu lantai 1, 4, 7, dan 10.

Rencana idealnya, lantai-lantai yang menjadi tempat pemberhentian elevator menjadi lantai-lantai ruang komunal, jadi ruang bersama warga. Tetapi kenyataaannya Disinilah sering terjadi kejahatan, mulai dari perampokan, pemerkosaan, hingga peredaran narkoba, belum lagi permasalahan mengenai segregasi rasial. Kompleks Pruitt-Igoe ini kemudian menimbulkan masalah yang kompleks terkait sebuah pemukiman, lalu berdasarkan hal tersebut pada tahun 1972, kompleks Pruitt-Igoe dirubuhkan. Jika dikaitkan dengan  sejarah arsitektur, maka dirubuhkannya komplek apartemen Pruitt-Igoe disebut orang sebagai “lonceng kematian arsitektur modern”.

Menengok kasus Pruitt-Igoe, hampir mirip dengan bagaimana rezim menggusur/merelokasi hunian warga miskin kota yang dianggap kumuh dengan menggunakan sudut pandang arsitektur modern berupa rusun. Pada titik ini, rezim tidak belajar bagaimana sudut pandang modernitas terkait hunian di rusun sudah pernah gagal terjadi dan skenario rezim terkait relokasi ke rumah susun secara paksa sedang mengarah kesana, kegagalan keadaban yang sebelumnya telah dipunyai warga di kampung-kampung kota yang telah digusur paksa.

Hidup di rusun tentu saja ada pihak yang senang dan mengalami kebetahan dengan akses kehidupannya yang baru dan menjadi sukses, tetapi hal ini tidak berlaku bagi semua warga dan sebanding dengan kesusahannya. Logika kesuksesannya pun pasti akan berbeda dengan logika kesuksesan ketika masih berada di kampung-kampung kota yang memiliki nilai komunalitas dan memori kolektif kewargaan yang kuat karena telah terjalin lama dan terikat secara ekologis dengan ekosistem kampung tersebut. Begitupun logika kemanusiaan dan ikatan sosialnya, pasti berubah dan berbeda. Terjadi reduksi keadaban dan kultural di rumah susun jika dibandingkan dengan di kampung-kampung kota. Maka soal kampung-kampung kota yang dianggap rezim sebagai sesuatu yang kumuh itu mestinya ditata bukan digusur paksa dan di relokasi ke rusun dengan entengnya.

Relokasi rusun itu hanya menyediakan hunian, perihal yang lainnya silahkan cari masing-masing termasuk nafkah dan pendidikan anak-anak. Terkait relokasi ke rusun, destruksinya dapat terlihat dalam waktu tertentu atau beberapa tahun yang jika terjadi salah urus; rusun yang dianggap sebagai kesuksesan modernitas dan solusi kekumuhan sebebarnya bisa menciptakan kekumuhan baru, bahkan nasib kehidupan di rusun bisa seperti apa yang terjadi di Pruitt-Igoe dimana kualitas hidup tidak menjadi penting lagi. Skema rusun ini menunjukan bahwa modernitas pemikiran rezim sedang berkelindan dengan modernitas arsitektur dan tata ruang. Apa yang terjadi pada Pruitt-Igoe dan proses penghancurannya merupakan kemunduran bahkan kejatuhan arsitektur modern, namun apa yang terjadi di Bukit Duri sedang dirujuk ke arah skema yang pernah terjadi melalui Pruitt-Igoe yaitu rusunisasi. Apa yang terjadi pada Pruitt-Igoe mungkin akan berbeda dengan yang akan terjadi di Indonesia, tetapi tidak ada salahnya jika kita melihat contoh dari yang pernah terjadi, belajar dari sejarah. Akhirnya, berada di batas garis atau pijakan kelas yang mana posisi arsitektur dan perencana kota sekarang ini? 

Frans Ari Prasetyo | Fellow Research ASF-ID

Ikuti tulisan menarik Frans Ari Prasetyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB