x

Iklan

ricko wawo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ahok, Yang Privat, Yang Publik dan Kepentingan

selama sepekan ini tidak ada berita yang lebih menghebohkan lagi dari berita tentang ahok dan tuduhan penistaan agama terhadapnya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ahok, Yang Privat, Yang Publik dan Kepentingan

Sebagaimana yang diucapkan oleh Karni Ilyas, presiden Indonesia Lawyers Club (ILC), selama sepekan ini tidak ada berita yang lebih menghebohkan lagi dari berita tentang Ahok dan tuduhan penistaan agama terhadapnya. Beragam opini pro dan kontra bermunculan di televisi, koran, majalah, media online dan media sosial. Sejumlah aksi dan reaksi dilayangkan satu sama lain. Ribuan tafsir dari ribuan ahli yang merasa berkepentingan dipublikasikan. Alhasil, ada yang minta maaf, ada yang memberi maaf dan ada pula yang menuntut proses hukum meski maaf telah diberikan. Kisah berlanjut, muncul pihak yang melapor dan yang dilaporkan. Untuk kesekian kalinya, pihak Kepolisian dituntut profesional.

Satu hal yang bisa dijawab dengan pasti dari beragam opini itu ialah; semuanya berangkat dari kepentingan. Ambil contoh, dalam tayangan ILC edisi selasa, 11 Oktober 2016 bertajuk, ‘Setelah Ahok Minta Maaf’, semua orang bisa menyimpulkan secara sederhana kalau beragam pendapat yang dikonfrontasikan itu harus dan pasti membawa tameng kepentingan; kepentingan agama, ideologi, politik (Pilkada DKI), sosial, hukum, budaya, dan pendidikan (bahasa dan tata krama). Hingga kini pembicaraan tentang Ahok dan tuduhan pelecehan kitab suci Alquran dalam salah satu kunjungan kerjanya di kepulauan Seribu sebagai Gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu masih menjadi trending topic di Indonesia.

Antara Yang Publik dan Yang Privat dan Yang Politis dan Yang Non Politis

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hannah Arendt, seorang pemikir politik modern perempuan terbesar abad ini mengatakan bahwa urusan rumah tangga (ekonomi), agama, komunitas etnis, suku dan ras adalah ranah privat dan karena itu non-politis. Di dalam yang privat hukum dominasi berkuasa; kepala keluarga dan anggota keluarga, pemimpin agama dan umat, kepala suku dan anggota suku, tuan dan budak. Relasi di dalam ranah privat adalah relasi kekuasaan karena itu ia anti-politis. Di dalam ranah publik relasi yang terjalin adalah relasi komunikasi antara manusia atau relasi bersama dengan orang lain. Politik dipahami dalam kategori kebebasan karena itu bebas juga dari intervensi yang privat terhadap yang publik atau dalam bahasa Arrendt bebas dari kolonisasi ruang publik terhadap yang privat. Sejarah Indonesia mencatat berbagai macam kepentingan pribadi memang sudah dan bahkan sedang merongrong negeri yang katanya demokrasi ini. Misalnya, pemerintah yang diktator dan despotis pada era orde baru, korupsi, kolusi dan nepotisme pejabat negara, terorisme, fundamentalisme, relasi bisnis elit politik dan kaum kapitalis, serta yang lebih parah adalah konflik antar agama, suku dan ras yang sempat terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Semua contoh itu adalah usaha memaksakan yang privat masuk ke yang publik atau yang non politis masuk kepada yang politis (Massa, Teror dan Trauma, hlm. 30-31)

Dalam kasus Ahok, sangat nyata terlihat adanya sebuah upaya memasukan yang privat itu ke ranah publik. Isu-isu dan opini-opini yang berkembang di ranah publik memang sangat sensitif dan jauh dari konteks serta substansi permasalahan karena melibatkan agama; sesuatu yang sebenarnya menjadi urusan batin pribadi masing-masing. Apalagi kemudian kasus ini dikait-kaitkan dengan Pilkada DKI dimana Ahok sebagai petahana masih memegang kunci pemerintahan ibu kota. Semua terobosan besar dan kinerja luar biasanya sebagai Gubernur ibu kota seolah runtuh dalam semalam. Mungkin inilah salah satu tantangan terbesar negeri ini dalam berdemokrasi. Agama, sesuatu yang privat dan non politis masih memainkan peranan penting dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Akibatnya, rasionalitas yang objektif kehilangan daya analisis dan kritisnya. Aspek emosi yang subjektif lebih banyak memegang kendali berpikir yang kapan saja bila ia mau bisa menyebarkan kebencian, fitnah, marah, cemburu dan konflik negatif. Ruang publik yang khas dengan kebebasan berkomunikasi yang berbau politis menjadi riuh dengan yang privat. Batas antara yang politis dan non politis menjadi tipis, bahkan lenyap sama sekali. Berjuta-juta perasaan pribadi yang seturut Arendt, anti-politik mendominasi ruang publik sekaligus menggantikan akal budi kritis-objektif yang menawarkan komunikasi dan kebebasan. Upaya klarifikasi demi menelusuri maksud dan pernyataan yang benar dan sesuai fakta serta konteks pembicaraan saat itu kemudian diiringi permohonan maaf sekonyong-konyong kehilangan nilai mulianya.

Rasionalitas Kepentingan

Dalam negara demokrasi, setiap orang punya hak yang sama untuk mengajukan pendapat dan menyampaikan gagasan. Tak ada hukum yang melarang. Persoalannya akan muncul pada saat gagasan itu mencuat ke ruang publik. Orang akan bebas menilai dan memberi umpan balik. Di sinilah ‘kepentingan’ di balik gagasan yang dilontarkan itu akan dilihat, dianalisis sekaligus dinilai secara rasional; baik buruknya gagasan dinilai bukan lagi dari isi gagasan tetapi dari kepentingan yang menyelubunginya.

Dalam relevansinya dengan prahara Ahok, banyak kepentingan emosional-primordial; agama, suku, dan ras, yang datang mendahului gagasan kritis dan objektif. Orang berbicara atas nama rasionalitas kepentingan yang semu dan tidak berdasar fakta yang telah dianalisis, kritis dan objektif. Bahayanya di sini adalah ketika kepentingan politik mulai membawa dalih agama untuk menjatuhkan lawan politiknya dengan turut serta mengangkut klaim-kalim moral sebuah agama sebagaimana yang memang selama ini terjadi.

Agama yang dipolitisasi melahirkan negativitasnya sendiri. Ia bahkan bisa sangat destruktif oleh sebab berbenturan langsung dengan batin nurani seseorang atau dengan kata lain menyentuh inti terdalam dari diri manusia yakni harga diri. Ketidaksanggupan melepaskan kepentingan emosional-primordial yang seharunya menjadi urusan privat adalah cacat cela yang harus disembuhkan demi sebuah cita-cita bangsa dan bernegara bersama. Warga yang demokratis menggunakan rasio dalam berpikir dan berkomunikasi di ruang publik yang politis. Ia melihat kinerja dan karya para pejabat negara dan bukannya menilai mereka dari sudut pandang kepentingan privat.

 ricko w

Ikuti tulisan menarik ricko wawo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler