x

Iklan

andi putra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dana Non Budgeter (Tradisi Orba) di Balik Diskresi Reklamasi

Pada era pemerintahan Orde Baru, ada tradisi pengupulan “sumbangan wajib” dari perusahaan negara untuk kepentingan kroni & politik Orba

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak KPK kembali mendalami lagi kebijakan diskresi yang diambil Gubernur DKI Jakarta dalam kaitannya dengan proyek reklamasi teluk Jakarta, publik kembali tercengang dengan pernyataan Menteri KKP, Susi Pudjiastuti, yang menyatakan bahwa sebetulnya saya ingin membangun bendungan, tapi bendungan belum jadi, pulau-pulau reklamasi sudah dibangun.

Pernyataan Susi Pudjiastuti tersebut dikemukakan dalam sebuah diskusi “Kebijakan Reklamasi: Menilik Tujuan, Manfaat, dan Efeknya” yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Jakarta pada 4 Oktober 2016.

“... yang saya tahu, Jakarta ini ingin membangun proyek untuk mengurangi banjir di Jakarta, yaitu bendungan, NCICD, Giant Sea Wall, ... Intinya, selain menambah ruang, yang pertama sekali tujuannya adalah untuk mengurangi banjir Jakarta,” ungkap Susi Pudjiastuti seperti yang tertuang dalam sebuah video youtube Sorge Magazine (4 Oktober 2016).

“Ya saya sih bilang, Jakarta Banjir ya tidak aneh. ... Sungai diluruskan, semua DAS diuluruskan, ditanggul, jadi tidak air tidak kemana-mana. Jadi air kenceng dari hulu ke hilir. Di pinggir di-reklamasi. Jadi air cepat turun ke bawah, pantainya dijauhin. ... Bukan membendung, tapi mempercepat air dari hulu, lalu memperlambat air keluar dari daratan Jakarta. ...” tambah Susi Pudjiastuti dalam video youtube Sorge Magazine yang sama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Diskresi Ahok, Reklamasi Jakarta dan Pengabaian UU Nomor 1 2014

Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau yang dikenal dengan panggilan Ahok, pernah menyatakan bahwa kebijakan tambahan kontribusi kepada para pengembang di reklamasi jakarta merupakan kebijakan diskresi.

Menurut mantan Komisioner KPK, Bambang Widjojanto, tindakan diskresi sebenarnya telah diatur secara limitatif dalam pasal 1 ayat 9 UU nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam UU nomor 30 tahun 2014 tersebut dinyatakan bahwa

“diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat untuk mengatasi persoalan konkrit yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan”

Oleh karena itu, menurut Bambang Widjojanto, diskresi tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya. Apalagi dijadikan alasan untuk melanggar prosedur hukum yang berhubungan dengan proyek reklamasi Jakarta.

Bambang Widjojanto menyatakan bahwa dalam proyek reklamasi teluk Jakarta nyata ada pengabaian terhadap UU nomor 27 tahun 2007, yang kemudian diubah menjadi UU nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Meski reklamasi teluk Jakarta telah nyata ada pengabaian terhadap UU nomor 1 tahun 2014, Gubernur Ahok tetap melaksanakan diskresi dalam bentuk kontribusi tambahan dalam proyek reklamasi teluk Jakarta. Disisi yang lain, kebijakan diskresi dalam bentuk kontribusi tambahan tersebut juga belum diputuskan dalam Perda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP), tapi pengembang Reklamasi teluk Jakarta menyatakan telah membayar kontribusi tambahan kepada pemprov DKI Jakarta.

Menurut pengakuan Eks Presdir PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor 26 Septemberi 2016, ia menyatakan bahwa perusahaannya telah menyetorkan Rp 1,6 triliun kepada Pemprov DKI sebagai bagian tambahan kontribusi. Setoran uang Rp 1,6 trilliun tersebut, menurut Arriesman adalah diluar kewajiban dan kontribusi yang 5 persen.

Ahok Hidupkan Kembali Tradisi Dana Non Budgeter Seperti Orde Baru

Pada era pemerintahan Orde Baru, ada tradisi pengupulan “sumbangan wajib” dari perusahaan negara (BUMN dan BUMD, khususnya bank pemerintah) untuk kepentingan-kepentingan kroni Soeharto. Dana-dana tersebut biasanya ditampung dan dikelola oleh yayasan seperti misalnya Yayasan Supersemar, Yayasan Kartika Eka Paksi, Yayasan Seroja, dan masih banyak lagi yayasan-yayasan yang mengelola dana.

Meski praktik pengumpulan dana-dana tersebut difasilitasi dengan berbagai peraturan. Ada Keputusan Presiden (Keppres) dan Instruksi Peresiden (Inpres), tapi dana tersebut tidak dicatatkan dalam APBN. Oleh karenanya, dana-dana tersebut kemudian disebut sebagai dana non budgeter atau dana off budget.

Secara umum, Dana Non Budgeter adalah dana yang dikumpulkan diluar mekanisme resmi yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Untuk memperoleh gambaran umum tentang Dana Budgeter dan Dana Non Budgeter dalam pengelolaan keuangan negara ini kita bisa membuka UU nomor 1 2004 tentang Perbendaharaan Negara. UU tersebut, pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.

Dari penjelasan yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1 UU Perbendaharaan Negara tersebut, kita bisa memperoleh penjelasan umum bahwa Dana Non Budgeter adalah dana yang pengelolaan dan pertanggungjawabannya tidak ditetapkan dalam APBN dan APBD. Dan Kontribusi Tambahan dari proyek Reklamasi teluk Jakarta dapat dikategorikan sebagai dana Non Budgeter karena tidak diatur dalam Perda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).

Dalam konteks kebijakan diskresi Ahok dalam penetapan kontribusi tambahan di proyek reklamasi teluk Jakarta yang belum memiliki Perda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP) dan proyek reklamasi teluk Jakarta yang disebutkan telah mengabaikan UU nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, timbul pertanyaanya:

  1. Mengapa Ahok tetap ngotot untuk melanjutkan Proyek Reklamasi tersebut? Padahal Menteri Susi Telah menyatakan bahwa Reklamasi teluk Jakarta justru akan memperparah banjir.
  2. Bagaimana publik dapat memperoleh pertanggungjawaban setoran kontribusi tambahan dari pengembang pulau Reklamasi jika ternyata belum ada peraturan yang mengaturnya dan uang tersebut tidak masuk dalam APBD DKI Jakarta?

Jika demikian yang terjadi, penilaian publik terhadap kebijakan-kebijakan Ahok dalam mengelola pemerintahan DKI Jakarta ini telah nyata bertentangan dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan bersih yang ddiperjuangan sejak perjuangan reformasi 1998.

 

Ikuti tulisan menarik andi putra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu