x

Logo Instagram. Wikipedia.org

Iklan

Iwan Kurniawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Setelah Google dan Facebook, Selebgram Juga Diincar Pajak

Pemerintah kian agresif memburu pajak online, termasuk Facebook, Google dan selebgram

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

JAKARTA - Pemerintah semakin gencar memburu pajak dari industri berbasis Internet, berikut turunannya. Setelah mengincar perusahaan over the top (OTT) seperti Google dan Facebook, sasaran berikutnya adalah pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan atau pendapatan dari Internet, seperti "selebritas Instagram" alias selebgram.

Menurut Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi, pungutan pajak untuk industri Internet memiliki prinsip yang berlaku umum, yakni siapa pun yang mendapatkan penghasilan dari sektor itu akan dikenai pajak. Soal nilai pungutan, kata dia, mengikuti ketentuan umum mengenai pajak penghasilan (PPh). "Ya nilainya normal saja, PPh biasa," kata dia di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu, 12 Oktober 2016.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ken menyebutkan dasar hukum untuk pajak atas selebgram atau orang-orang yang mendulang keuntungan dari internet adalah Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang PPh. Namun dia enggan menjelaskan kapan pajak tersebut mulai dipungut. "Secepatnya," ujar dia. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Khusus, Muhammad Haniv, mengatakan pajak bagi selebgram atau pihak sejenisnya termasuk dalam kriteria transaksi iklan perorangan.

Haniv mengatakan, selain untuk individu, peraturan perpajakan yang ada saat ini memadai untuk mengejar pajak perusahaan OTT seperti Google dan Facebook. Menurut dia, pemeriksaan permulaan pidana pajak untuk Facebook sudah berjalan. Menurut Haniv, kedua perusahaan tersebut telah melanggar Undang-Undang Pajak Penghasilan. "Namun Facebook setidaknya lebih terbuka, ketimbang Google yang menolak diperiksa," kata dia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan komitmen untuk mengejar pajak bisnis berbasis Internet telah menjadi komitmen dunia. Dalam sidang tahunan Dana Moneter Internasional (IMF) yang dihadiri Sri pekan lalu, seluruh negara anggota sedang merumuskan kebijakan untuk menarik pajak jenis ini. "Kami juga membahas penghindaran pajak online yang bersifat legitimate," kata Sri di kantornya, kemarin. Sri tak menampik adanya kesulitan saat hendak menarik pajak dari industri berbasis Internet. Bahkan, kata dia, belum ada regulasi pajak global soal bisnis ini.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, mengatakan perlu keberanian dan inovasi aparat pajak untuk memungut pajak dari perusahaan OTT maupun individu semacam selebgram. Sebab, kata dia, tak adanya regulasi pajak internasional soal bisnis ini menjadi argumen perusahaan-perusahaan itu untuk menghindari pajak. "Salah-salah bisa kalah dalam pengadilan pajak," ujar dia.

Prastowo mengatakan penegakan hukum tidak akan efektif untuk membangkitkan kesadaran pelaku industri berbasis Internet untuk membayar pajak. Para pengiklan dan obyek iklan perorangan, kata dia, perlu diberikan sosialisasi dan edukasi soal pajak. Adapun pengamat telekomunikasi, Heru Sutadi, mengatakan tren iklan di dunia maya tak bisa lagi dihindari. Dia memprediksi akan muncul tren serupa dengan kemasan baru, seiring dengan kemajuan teknologi.

KORAN TEMPO | ANDI IBNU

Ikuti tulisan menarik Iwan Kurniawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler