x

Iklan

Kang Nasir Rosyid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Masjid Merah Cirebon dan Medali Emas PON

Wisata Religi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hampir dua pekan saya berada di Kota para Wali Cirebon bertugas sebagai Tim Monitoring KONI Banten untuk Kontingen Provinsi Banten dalam PON XIX Jabar 2016 yang pelaksanaannya tersebar di 15 Kabupaten/Kota se Jawa Barat. Tugas saya adalah monitoring pertandingan bulutangkis yang dilaksanakan di GOR BIMA Cirebon dan Cabang Olah Raga Layar yang di langsungkan di Pantai Indah Balongan Indramayu Disela sela tugas itu, naluri sebagai orang jalanan yang suka corat coret membuat tulisan muncul dengan sendirinya.Hal pertama yang saya lakukan, adalah mencari info tentang Kuliner has Cirebon. Atas petunjuk dari rekan Kompasianer Gatot Suwandito yang memakai nama Gasa Gasa dalam akun face book, ketemulah kuliner itu yakni Nasi Jamblang dan Empal Gentong.

Selain terkenal dengan kuliner diatas, Cirebon, kota yang dulu bernama Caruban ini, terkenal juga dengan sebutan kota para Wali. Sebutan itu amat wajar karena sejak abad ke 15, Cirebon merupakan salah satu pusat penyebaran Islam di Pulau Jawa. Tokoh paling penting dalam sejarah perkembangan Islam di Cirebon ini adalah Sultan Gunung Jati yang dulunya bernama Falatehan atau Fathillah. Sunan Gunung Jati ini termasuk salah satu Wali dari sembilan Wali yang terkemuka yang biasa disebut Walisongo.

Sebagai kota yang dulunya menjadi pusat perkembangan dan peradaban Islam di Nusantara, tentu punya jejak sejarah yang ditinggalkan. Suatu hari, saya membaca koran lokal Cirebon yang tentunya banyak memberitakan soal hiruk pikuk PON, mata saya tertumpu pada foto sebuah Masjid yang menurut saya sangat unik dan artistik. Saya coba baca beritanya,namanya Masjid Merah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

‘’Nah ini yang saya cari ‘’, demikian gumam saya dalam hati.

Beberapa hari kemudian, sepulang dari Bandung untuk kepentingan Laporan perkembangan pertandingan Bulutangkis dan Layar ke Posko Utama KONI Banten, saya berniat untuk mengunjungi Masjid Merah yang menurut berita letaknya di daerah Panjunan. Tentu saja niat mengunjungi Masjid itu bukan hanya sekedar wisata, tetapi sekalian untuk sembahyang karena waktunya bertepatan waktu ashar.

Persoalam muncul karena entah dimana daerah panjunan itu. Tak ada jalan lain, saya minta pemandu yang paling tahu di jagad raya ini, siapalagi kalau bukan mbah Goegle. Info yang saya dapat, Masjid Merah bisa ditempuh dalam waktu 15 menit dari tempat saya mulai minta pertolongan. Ditemani hujan rintik dan jalan kota yang agak semrawut, ahirnya tiba juga di Masjid yang saya tuju ini. Semula saya mengira letaknya di daerah yang strategis, dengan halaman yang amat luas. Namun ternyata ada di daerah perekonomian atau di daerah pertokoan Panjunan.

Posisi Masjid berada di sebelah kiri Jalan Panjunan, dari deretan pertokoan belok kiri melalui jalan yang sempit, sekitar 50 meter dari Jalan Raya Panjungan. Mobil yang saya bawapun oleh petugas parkir di arahkan untuk parkir disekitar jalan raya, karena disekitar Masjid tidak ada lahan parkir. jadi saya cukup jalan kaki menuju Masjid.

Rasa takjub, begitulah saat pertamakali saya melihat dari dekat, yang pertama nampak adalah Gerbang dan dinding pagar Masjid yang terbuat dari bata merah dengan gaya arsitektur has Cirebon dengan nuansa bangunan masa lalu, membuat kesan betapa tuanya Masjid ini.

Memasuki komplek Masjid, bertambah takjub, tampak beberapa tiang kayu tua menopang langit langit Masjid yang tidak begitu tinggi dengan kokoh. Dinding sekitar Masjidpun memakai batu bata merah dengan ornamen perpaduan arsitektur Islam, Hindu dan China. Seputar dinding dihiasi oleh  beberapa keramik kuno yang menempel baik pada dinding maupun Mihrab atau tempat Pengimaman. Husus untuk Mihrab warnanya putih lambang kesucian. Mihrab ini tidak seperti lazimnya Mihrab yang ada di Masjid sekarang, di depannya ada pintu untuk menghubungkan ruangan yang ada di dalam.

Menurut seorang Ibu yang tugasnya membersihkan Masjid dengan sukarela yang saat itu saya temui bersama dua siswa yang selalu sembahyang di Masjid, pintu itu dibuka hanya dua kali dalam setahun, yakni saat Idhul Adha dan Idhul Fitri. Di dalamnya ada ruangan yang luasnya hampir sama dengan ruangan yang biasa untuk sholat sehari hari. Di dalamya ada Mimbar yang digunakan untuk hutbah Iid.

‘’Jadi saat lebaran saja ruangan Masjid yang didalam itu dipakai untuk Sholat Id’’, kata Ibu penjaga.

Secara keseluruhan bangunan Masjid ini terdiri dari  3 bagian, bagian tengah merupakan ruang utama yang digunakan untuk sembahyang, bagian kanan bangunan  digunakan untuk tempat wudhu, sedangkan sebelah kiri tempat penyimpanan barang yang terdiri dari dua tempat. Tempat pertama yang mirip teras, nampak barang barang pecah belah keperluan jamaah Masjid seperti piring, gelas dan lainnya, sementara dibagian dalam terdapat keranda  dan ada sebatang pohon jati yang dibungkus kain putih.

Menurut cerita sebagaimana dituturkan Ibu penjaga, kayu jati itu dahulu berasal dari daerah pantai disekitar pelabuhan Cirebon. Anehnya, kayu itu tidak bisa diangkat oleh siapapun hingga pada suatu saat ada warga panjungan yang mimpi agar memindahkan kayu itu ke Masjid Panjungan.

‘’Maka diangkatlah  kayu itu oleh empat orang warga Panjunan dan sampai sekarang masih utuh’’, ujar ibu penjaga menceritakan asal mula kayu jati itu.

‘’Percaya atau tidak, ya wallahu Alam’’, kata ibu penjaga menambahkan.

 

Masjid Tertua

Masjid Panjunan atau Masjid Merah ini, menurut beberapa sumber  adalah termasuk Masjid tertua di Cirebon, Masjid ini dibangun pada tahun 1480 M  oleh seorang musafir keturunan Arab yakni Pangeran Panjunan. Adapun nama aslinya adalah Maulana Abdul Rahman yang merupakan murid dari Sunan Gunung Jati. Awalnya hanya berupa Musholla dengan nama mushala Al-Athyah yang digunakan untuk beribadah imigran Arab pengikut Abdul Rahman, bahkan konon ceritanya dahulu pernah juga dipergunakan untuk pertemuan para wali.

Nama Al-Athyah hingga sekarang  masih digunakan, hanya saja sudah berupa tulisan Masjid Al-Athyah sebagaimana terpampang dalam plang yang terdapat di depan Masjid, namun orang lebih mengenalnya dengan nama Masjid Panjunan atau Masjid Merah. Jika melihat latar belakang sejarah tersebut, maka tak heran jika saat ini,lingkungan Panjunan termasuk  komplek pertokoan disekitar Panjunan ini rata rata di huni oleh warga keturunan Arab yang rata rata bermata pencaharian sebagai pedagang.

Sembahyang di Masjid Panjunan ini memang terasa hidmat dan husyu, dan itu saya rasakan sendiri saat sembahyang ashar. Kebetulan esoknya, Cabang Olah Raga layar yang dibebankan kepada saya untuk memonitor akan bertanding final. Selesai sembahyang sayapun berdo’a ‘’ Ya Allah, berilah kemudahan kepada atelit atelit layar kami untuk mencapai finish paling awal’’.

Alhamdulillah, setelah final esok hari, Atelit Atelit Layar Banten berhasil menyabet 1 Medali Emas, 2 Medali Perak dan 2 Medali Perunggu. Semua itu berkat kekuatan Allah dan ihtiar para atelit.  

Ikuti tulisan menarik Kang Nasir Rosyid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB