x

Iklan

Iwansyah S.Kep.,Ns

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mata Pena Berkaliber, Tanda Perlawanan Perawat

Menjadi seorang penulis merupakan posisi yang sering dihujat dan mendapat stigma

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jika mau disebut sebagai sebuah perjalanan maka menulis buat saya adalah upaya untuk mempertahankan sikap dan meletakkan garis posisi agar bangkit dari keterpurukan dan melawan ketertindasan dan ketidakadilan yang menjadi keresahan tersendiri pada dunia keperawatan dewasa ini. Saya dibesarkan pada masa ketidakadilan dimana aturan yang dibuat menutup ruang calon perawat/perawat hidup dalam kesejahteraan . Itulah periode dimana keilmuan di ukur dari berapa banyak mata uang dan bukan dari kemurnian ilmu yang kita miliki. salah satu contoh pembayaran pelaksanaan Try out dan Ujian kompetensi, pembayaran SKP akreditasi PPNI, dan beberapa pembayaran lainnya. Belum lagi masalah mallpraktik, gaji yang rendah dsb, perawat di anak tirikan di negeri sendiri, sungguh ironis nasib perawat. Dengan melihat problematika yang di hadapi dalam dunia keperawatan dewasa ini, Apakah kita terus diam dan tertindas tanpa mau bangkit dan melawan? Menulislah sesuatu yang kamu anggap penting untuk disampaikan ke public agar public mengetahui bagaimana realitas perawat yang sebenarnya dan jangan pernah malu untuk menyampaikannya sebab dari tulisan itulah akan mampu meruntuhkan paradigma sang penguasa di atas kekuasaanya untuk menindaklanjuti keluhan yang kita sampaikan lewat tulisan.

Menjadi seorang penulis merupakan posisi yang sering dihujat dan mendapat stigma (pro/kontra). Tapi, labelisasi itu malah membuat beberapa penulis bangga karena mampu melakukan aksi dalam bentuk tulisannya. Saya  belajar gagasan Kiri (kritis), kemudian mencoba untuk mengampanyekannya. Saya mulai menulis dengan semangat itu. Berusaha melakukan pemberontakan dengan menulis. Saya kagum dengan Wiji Thukul, yang puisinya seperti sebuah pukulan keras. Sekaligus saya kecewa dengan gaya tulisan intelektual yang tidak jelas posisinya dan tidak provokatif. Saya kemudian memilih untuk menulis dengan semangat yang mirip puisi Wiji Thukul: memukul, mengancam dan menyudutkan. Karena bagi saya menulis bukan tamasya pemikiran tapi pernyataan sikap yang jelas, terang, dan karenanya, berusaha meraih pengikut.

Titik pandang seperti itulah yang membuat saya kemudian membuat teks yang menyuarakan apa yang sebenarnya jadi kemarahan kolektif. Guna mengungkit kesadaran itulah saya menggunakan media tulis yang dipadati dengan nada-nada perlawanan. Pada titik tertentu saya ingin membedakan tulisan saya dengan tulisan  para penulis lainnya yang terus mengikuti arus tanpa ada perlawanan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya menulis biasa di ibaratkan mirip dengan sebuah risalah kitab suci: provokatif, menghujat yang kafir dan meminta tindakan. Itu sebabnya tulisan-tulisan saya baik opini maupun buku-buku yang saya tulis tak banyak ngomong teori rumit, karena sebagai sebuah sikap perlawanan, yang dibutuhkan adalah upaya untuk meyakinkan dan mempengaruhi sikap pembaca. Itu sebabnya saya hanya menulis sebagai lambang perlawanan, karena kredonya sangat sesuai: Baca & Lawan.

Bagi saya pendekatan tulisan yang sifatnya kritis mampu menggerak hati pembaca cocok untuk melihat situasi sosial yang terjadi pada dunia keperawatan. Fakta paling menyolok adalah kesenjangan dan eksploitasi. Saya memang bukan pembaca Karl Marx yang baik. Sekaligus saya juga bukan pembaca kitab suci yang tekun. Tapi bagi saya, Karl Marx dan nabi itu punya kesamaan tunggal: melawan segala jenis eksploitasi dan ingin menciptakan tata dunia yang lebih adil. Komitmen dan sederhana. Tak usah terlalu jauh mengambil contoh: saya mendengar dan melihat seorang wali kota  berjanji untuk meningkatkan kesejahteraan perawat dengan berjanji menaikan gaji perawat, Muka para penjabat ini dengan pesan mau berjanji untuk menaikkan gaji perawat. Sebuah pernyataan yang tidak akan pernah mereka realisasikan. Sikap itulah yang bagi saya tak bisa dianalisis dengan pendekatan apapun, kecuali apa yang dinamai Marx sebagai eksploitasi. Tidak saja melalui pemerasan ekonomi tapi juga dirampoknya akal sehat kita. Cara pandang itulah yang kemudian jadi dasar seluruh tulisan-tulisan saya: memprovokasi kesadaran atas penindasan dan menetapkan siapa sebenarnya para penindas itu.

Saya berharap budaya menulis kita tidak terpancung dalam gaya yang dingin, tanpa emosi dan mengambil jarak. Upaya saya ini sekedar mengembalikan makna pamflet dalam sebuah tulisan. Dalam bahasa pamflet, sebuah kenyataan itu tidak sekedar diterangkan tapi juga didorong untuk diubah. Terlampau banyak fakta sosial saat ini yang dikomunikasikan dengan bahasa tipuan. Situasi itu yang ingin saya pecah dengan tulisan yang lebih terlibat, menghidupkan kembali korban dan memprovokasi bagaimana penindasan itu terjadi. Saya hanya ingin bagaimana pengetahuan itu membekali kita untuk memiliki keberanian mengubah, bukan untuk memahami semata.

Terlebih dalam situasi dunia keperawatan yang di deskriminasi seperti saat ini, rasanya tanggung jawab intelektual tidak hanya sekedar memberi inspirasi atau menyuntikkan gagasan baru, tapi juga terlibat langsung dalam konfrontasi dengan rezim yang busuk.

Saya hanya sekedar menantang kita semua untuk meyakini bahwa situasi tidak adil ini tidak hanya bisa diamati apalagi dipecahkan dengan cara normal; melainkan butuh imajinasi baru yang mempertaruhkan segala keyakinan yang kita punya. Sudah waktunya apa yang dirasakan oleh calon perawat/perawat itu kita suarakan dalam bahasa yang lugas, jelas dan meyakinkan. Sehingga sebuah realitas itu memiliki kaitan historis dengan subyek yang hendak mengubahnya. Realitas tak pernah berdiri sendiri sebagaimana dipahami oleh para pemalsu pengetahuan. Tiap realitas menyajikan situasi yang terang: penindasan, eksploitasi dan perlawanan.

Menulis sudah menjadi candu bagi saya. Buku karya yang saya terbitkan adalah buku mengenai Saatnya Perawat Bangkit dan sekarang lagi menyusun buku Jejak Perawat yang Retak,  agar bangkit kembali menyatakan sikap. Ini rekaman pengalaman saya selama menjadi mahasiswa dan menjadi jurnalis di salah satu media cetak di Makassar. Singkatnya, buku ini, berisi kemarahan demi kemarahan sebagai bahan pidato massa.

Saya tetap meyakini bahwa menulis adalah cara saya untuk tetap sadar dan punya akal sehat di tengah ketidakadilah yang dirasakan dalam dunia keperawatan yang sudah kehilangan segalanya. Dalam bahasa sederhana, menulis adalah cara paling aman untuk meneguhkan keberanian dan posisi. Itu sebabnya sampai sekarang saya masih bertahan untuk tetap menulis.

Penulis: Iwansyah (CEO: Suara Literasi Perawat Indonesia)

Ikuti tulisan menarik Iwansyah S.Kep.,Ns lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler