x

Iklan

Ahmad Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Manaqib Mahbub Djunaidi

Selain memiliki idealisme yang tinggi, Haji Mahbub Djunaidi juga sangat trampil mengkritik melalui tulisan dengan dicampur bumbu humor.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Manaqib Mahbub Djunaidi

Negara Kesatuan Republik Indonesia patut berbangga pernah melahirkan tokoh nasional sekaliber Haji Mahbub Djunaidi yang pada tanggal 01 Oktober 2016 lalu memasuki haulnya ke-21.

Tokoh kelahiran Jakarta, 27 Juli 1933 itu, wafat di Bandung pada tanggal 01 Oktober 1995. Mahbub lahir dari lingkungan santri. Ayahnya bernama Kyai Haji Muhammad Djunaidi adalah tokoh dari organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU) dan pernah menjadi anggota DPR hasil pemilihan umum pertama tahun 1955.

Pendiri organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan ketua umum pertama hingga tiga periode (pertama 1960–1961, hasil Musyawarah Mahasiswa Nahdliyin pada saat PMII pertama kali didirikan di Surabaya Jawa Timur. Periode kedua, 1961-1963, Hasil Kongres I PMII di Tawangmangu Jawa Barat. Dan Periode ketiga,1963-1967, hasil Kongres PMII II di Kaliurang Yogjakarta) ini adalah anak pertama dari 13 bersaudara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ia mengenyam pendidikan sekolah dasar di Solo. Keluarga Mahbub terpaksa harus mengungsi di Solo, karena kondisi yang belum aman pada saat awal kemerdekaan bangsa Indonesia. Pemahaman Ke-Islamannya Ia tempuh di madrasah Mabaul Ulum.

Salah seorang gurunya, Kiai Amir, memperkenalkan Mahbub kepada tulisan Mark Twain, Karl May, Sutan Takdir Alisjahbana, dan lain-lain. Hingga akhirnya tulisan-tulisan tersebutlah yang mempengaruhi hidupnya.

Ketika kembali ke Jakarta, kolomnis diberbagai surat kabar dan majalah seperti Tempo, Kompas, Sinar Harapan dan lain sebagainya ini meneruskan pendidikan di SMP dan SMA yang awalnya berlokasi di Cideng, kemudian pindah ke Jalan Budi Utomo. Kemudian, Mahbub pun meneruskan pendidikanya ke Fakultas Hukum Universitas Indoesia.

Mengkritik dengan humor

Mahbub memang bukan tipekal pemikir seperti layaknya G.W.F Hegel, Karl Marx , Antonio Gramsci, Thomas Hobbes, Van Der Welj, Muhammad Abduh dan tokoh-tokoh filsuf lainnya yang menuliskan bangunan paradigma secara utuh.

Kata sang pendekar pena “Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ikhwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul”. ("Kesatria"; Kompas, 14 Juni 1985).

Mantan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesai (PWI) Pusat (1965-1970) itu begitu percaya pada demokrasi berikut dinamika politiknya. Begini kata Mahbub dalam tulisnnya yang berjudul Demokrasi: Martabat dan Ongkosnya “Pertama-tama, DPR perlu dihargai. Kedua, perlu ongkos. Sebab, baik sistem diktatorial maupun demokrasi, kesemuanya butuh anggaran. Itu sebabnya mengapa dalam tempo reses ini, dari 460 anggota, 23 diantaranya tetap tinggal di Jakarta. Sisanya pulang ke rumah masing-masing, atau ke mana saja yang mereka kehendaki, pokoknya istirahat.” (Tempo, 29 Juli 1972).

Dalam tulisan yang berjudul “Buku Petunjuk” Pendidikan Politik Sejak Dini (Kompas, 18 Maret 1981) kita menemukan kritik yang menarik sekaligus jenaka. Begini tulisnya “Apabila seorang anak sudah duduk di kelas 5 Sekolah Dasar, paling lambat di kelas 6, ajaklah dia ke Kebun Binatang. Begitu menginjak pintu gerbang segera bisikkan di kupingnya, “Kamu tidak mau dijebloskan ke dalam kandang seperti makhluk-makhluk itu, bukan?” Nah, jadilah kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia.”

Di kutipan itu, Mahbub terlihat sedang mengkritisi, tetapi tidak meninggalkan ciri khasnya sebagai penulis ulung yaitu memasukan humor dalam kritik. Gaya penulisan Mahbub ini seperti Muhammad Zahid bin Mahmud sebagai tukang cerite, sebutan bagi pendongeng di Betawi, demikian tersohor di Jakarta pada era 1960-1970-an. Dongeng Zahid sangat digemari lantaran ia berkisah dengan menyenangkan dan kerap membumbuinya dengan humor. Tradisi mendongeng inilah yang menginspirasi H. Mahbub Djunaidi.

Burung parkit

Menteri Agama Republik Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin, saat menghadiri kegiatan Manakib Mahbub Djunaidi, Jumat 07 Oktober 2016 malam di kampus Jalan Taman Amir Hamzah Jakarta Pusat mengatakan bahwa Mahbub Djunaidi bagaikan si burung parkit di kandang macan.

Dalam sambutannya, Ia mengutip perkataan Mahbub yang juga mantan Ketua II PBNU (1979-1984), “Mahbub berkata, pemerintah mana saja tidak suka penduduknya cerewet seperti burung parkit,”

Burung parkit, kata Lukman, merepresentasikan Mahbub sendiri karena burung parkit itu kecil dan tampilannya sederhana. Tidak tergolong burung mahal yang wajib dikoleksi. Tetapi parkit tidak pernah berhenti bernyanyi, tidak bisa berdiam diri. Burung tersebut juga pandai bergaul dengan burung-burung lain.

Hal itu terlihat saat ia menjadi anggota dewan perwakilan rakyat gotong royong (DPR GR) pada tahun 1967-1971, Mahbub tetap mengkritik pemerintah dan mempertahankan prinsipnya melalui kata-kata mati yang disusunya dengan dibumbui rasa humor tentunya.

Karena kritiknya pun akhirnya sang pendekar pena itu dijebloskan ke dalam penjara dirutan Nirbaya oleh Suharto. Bersama dengan sahabat-sahabatnya Soebandrio, Omar Dhani dan beberapa nama lain dengan alasan yang tak masuk akal yakni dianggap menghasut karena mengusulkan pencalonan Ali Sadikin sebagai Presiden RI di depan forum mahasiswa.

Namun dalam sebuah surat kepada temannya yang dikirim dari dalam penjara, Mahbub mengatakan “Rasanya bui bukan apa-apa buat saya. Apalagi bukankah ditahan itu suatu ‘resiko bisnis’? Kata orang, penjara itu ibaratnya perguruan tinggi terbaik, asal saja kita tidak dijebloskan karena mencuri! Saya merasakan benar kebenaran misal itu…Sedangkan nonton bioskop perlu ongkos, apalagi demokrasi. Dan ongkos itu perlu dibayar! Iuran saya sebenarnya sedikit sekali. Jalan masih panjang, apapun yang terjadi mesti ditempuh…” (Emmy Kuswandari, 2008).

Itulah Mahbub Djunaidi sang politisi, seniman, jurnalis dan pemimpin organisasi besar (PMII) yang sangat idealis multi talenta, pemegang teguh prinsip, demokratis, moderat dan humoris itu patut kita kenang dan teladani mengingat saat ini sangat marak baik politisi, seniman, jurnalis dan pemimpin besar organisasi yang tercebur dalam kubangan lumpur korupsi.

Ahmad Halim

Penulis adalah Kader PMII DKI Jakarta

Ikuti tulisan menarik Ahmad Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler