x

Ribuan umat muslim membawa spanduk saat unjuk rasa mengecam Ahok di Balaikota, Jakarta, 14 Oktober 2016. Ahok dituduh telah melakukaan dugaan penistaan agama Islam dan Al Quran. TEMPO/Imam Sukamto

Iklan

Subagyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mendemo Ahok: Mengukur Iman Substansial

Jika aksi massa damai di Jakarta itu ternyata masih meninggalkan sampah yang berserakan, maka berarti imannya belum teruji dari hal yang paling sederhana.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada sebuah kisah terkenal. Suatu saat Ali Bin Abi Thalib, dalam peperangan antara umat Islam dengan kaum Yahudi, telah berhasil mengalahkan musuhnya dan menindihnya. Ali akan menghabisi musuhnya itu, tapi tiba-tiba orang Yahudi ini meludahi wajah Ali. Maka emosi Ali menggelegak, dia marah karena harga dirinya direndahkan. Tapi Ali ingat, bahwa ia tidak boleh melawan musuhnya dengan kemarahan akibat harga dirinya sendiri. Ali pun melepaskan orang Yahudi itu. Orang Yahudi itu bertanya, “Mengapa engkau melepaskan aku?” Ali menjawab, “Aku tidak boleh membunuhmu karena dendam pribadiku. Aku hanya boleh membunuhmu karena Alloh.” (yakni karena orang Yahudi itu memerangi umat Islam).

Pada jaman Nabi Muhammad memulai dakwah di Madinah memang telah menjalin perjanjian damai (untuk saling melindungi) dengan kelompok-kelompok Yahudi. Tetapi sayangnya ada saja kelompok Yahudi yang ingkar janji dengan menyerang umat Islam, sehingga terjadilah peperangan-peperangan. Kisah Sayyidina Ali tersebut setidak-tidaknya menjadi contoh, bahwa umat Islam itu harus berhati-hati agar dapat membedakan mana dendam pribadi dan mana urusan membela agamanya, dua hal yang tak boleh dicampur-adukkan.

Ribuan orang unjuk rasa di Jakarta. Mereka mayoritas umat Islam yang mendesak agar penegak hukum menangani perkara hukum dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang terkenal dengan ucapannya “….dibodohi pakai Al Maidah ayat 51.” MUI juga telah mengeluarkan sikap resmi terhadap masalah itu. Tentu saya tidak menyalahkan unjuk rasa tersebut. Situasi ini kebetulan terjadi menjelang pemilukada DKI Jakarta, sehingga ada yang berprasangka bahwa gerakan itu politis. Asal saja bahwa aksi massa itu bukan untuk kepentingan yang oleh sayyidina Ali disebut sebagai “kepentingan pribadi” (bukan murni soal agama). Tapi saya tidak akan membicarakan tema politis itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada suatu penanda, dilihat dari aksi massa ini – serta umat Islam pada umumnya - menilai akidah itu lebih menitikberatkan pada dari segi formil atau kulit luar agama Islam itu sendiri. Gerakan massa itu begitu mudah terbentuk ketika ada “omongan” orang nonmuslim yang pernyataannya dinilai melecehkan agama Islam. Mereka menilai “penistaan terhadap agama” itu sekadar dari kata-kata atau omongan, di mana mungkin omongan itu terkadang keluar dari ketidakpahaman orang yang ngomong itu tentang tema yang diomongkannya.

Contoh ketidakpahaman terhadap apa yang diomongkan dapat dilihat contohnya di media sosial, di mana komentar-komentar tentang masalah agraria dalam penggusuran-penggusuran banyak dilontarkan orang yang sebenarnya hanya menggunakan logika, tetapi mereka tidak memahami hukum agraria. Dengan demikian kesalahan seperti itu perlu diluruskan lebih dulu.  

Siapa Penghina Agama?

Saya sebagai muslim mungkin harus melihat diri saya sendiri dalam hal agama Islam sebelum saya melihat orang lain. Gampangnya begini. Kalau saya ini misalnya pengguna narkotika, lha mosok saya menutupi kebejatan saya dengan mengecam pecandu narkotika lainnya? Atau, saya misalnya seorang pencuri, tapi saya mengritik orang lain yang melakukan penipuan. Iya sih bahwa ulama besar Hasan Basri mengatakan bahwa dalam dakwah itu tak harus menunggu si pendakwah menjadi suci lebih dulu, sebab tak satupun manusia yang tak pernah punya kesalahan atau dosa. Tetapi, mungkin kesalahan diri kita yang dimaksudkan sang ulama itu adalah bukan kesalahan-kesalahan yang berat. Mana pantas seorang penjahat menjadi pendakwah?

Sederhanyanya begini. Sebelum saya mengecam Ahok sebagai orang yang “diduga” melecehkan agama Islam, seharusnya saya lebih dulu bertanya kepada diri sendiri, apakah saya ini peleceh agama Islam atau bukan? Jika ternyata saya termasuk orang yang melecehkan agama saya sendiri, apakah saya tidak malu mengecam Ahok?

Agama Islam ini diturunkan oleh Alloh SWT selain untuk memurnikan pengakuan kepada Alloh sebagai satu-satunya Tuhan, juga dengan tujuan utama yang agung, yakni untuk membuat manusia menjadikan manusia (orang islam) menjadi makhluk berakhlak mulia, selain sebagai rahmat alam. Misi Tuhan menciptakan jin dan manusia adalah agar mereka mengabdi kepada Alloh. Bagaimana cara pengabdian itu? Apakah sama rahmat alam dengan perusuh alam?

Saya ambil salah satu contoh. Dalam hadits yang sudah sangat terkenal Nabi Muhammad memberikan patokan bukti keimanan yang cukup sederhana, yakni: baik sama tetangga, menghormati tamu dan berkata-kata yang baik. Kita tak bisa mendikotomi tetangga dan tamu kita itu orang Islam atau bukan. Tidak peduli muslim itu shalat sehari seribu rakaat, rajin puasa wajib dan sunnah, tapi jika dia tidak akur dengan tetangga, apalagi menyakiti hati tetangga, tidak menghormati tamunya, atau suka berkata-kata buruk, maka imannya tidak teruji alias “tidak beriman.” Lha orang yang tidak beriman begini disebut kafir.

Jadi, kafir (tidak percaya) dan iman itu tidak melulu soal akidah formil (pengakuan iman), tapi juga soal akidah substansial, yakni hati dan kelakuan. Iman selalu dikaitkan kelakuan (alladziina aamanu wa’amilushsholihaati). Raja Najasyi di jaman Nabi Muhammad itu beragama Nasrani, tapi dia dinilai sebagai orang beriman. Silahkan baca surat Al Baqoroh ayat 62 dan Al Maidah ayat 69, bagaimana Alloh SWT kok menyebut ada orang Yahudi, Nasrani dan kaum Shobiin yang beriman (tidak kafir)? Maka dalam hal ini orang Islam mesti berhati-hati dalam menilai akidah orang lain. Artinya, jangan gampang-gampang menilai orang ini itu kafir.

Orang juga bisa dilihat perilakunya. Ia bersyahadat, sholat dan berpuasa, tetapi ibadah ritualnya itu tidak sampai pada tujuan agama (yakni akhlak yang baik). Jika sudah mengetahui patokan iman seperti itu, tapi patokan itu dilanggarnya, maka apa namanya itu jika bukan peleceh agama? Maka orang yang secara formil beragama Islam, bisa saja ia secara substansial sebenarnya adalah kafir, sebab agamanya dusta.

Dalam Al-Quran surat Alma’un dijelaskan siapa saja orang-orang yang disebut sebagai pendusta agama, yakni orang yang bersikap kasar kepada anak-anak yatim, tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, dan orang yang celaka dalam shalatnya yakni orang yang lalai dalam shalatnya, orang yang suka pamer, orang yang enggan menolong orang lain (meski oleh para muffasir ini ditafsirkan sebagai “enggan membayar zakat”). Adakah gerakan massa Islam yang menolong kaum miskin yang digusuri, kaum nelayan yang lautnya dicemari atau ditimbun, kaum petani yang tanahnya dihabiskan, kaum buruh yang dieksploitasi dengan upah murah? Dalam kasus Lapindo misalnya, mana ada solidaritas kaum muslim untuk melakukan gerakan massa, jika bukan para korban sendiri yang melakukan aksi?  

Dengan contoh-contoh ukuran yang kecil-kecil tersebut, jangan-jangan kita ini para pendusta agama? Jika kita pendusta agama, apakah patut marah kepada orang yang melecehkan agama? Bukankah kita sama-sama durjana agama? Apalagi dalam soal-soal yang besar terkait cara kita menegakkan keadilan, di mana itu sebagai perintah Alloh yang sangat penting? Alloh memerintahkan berlaku adil, berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, melarang perbuatan keji dan munkar serta permusuhan (Surat An Nahl ayat 90).

Penggusuran dan Reklamasi

Kalau ada omongan yang dinilai melecehkan agama, tentu ada tindakan (kelakuan) yang juga melecehkan agama. Misalnya para pemimpin pemerintahan yang mengeluarkan keputusan-keputusan yang menimbulkan kerusakan atau penderitaan bagi masyarakat, meskipun masyarakat itu cuma golongan tententu. Khalifah Umar bin Khatab membatalkan keputusan Gubernur Mesir, Amr Bin Ash, untuk menggusur tanah dan rumah orang Yahudi yang terkena perubahan tata ruang untuk pembangunan masjid. Meskipun orang Yahudi, harus diberikan keadilan. Itulah agama Islam. Jika melanggar perintah untuk berlaku adil, maka sama halnya melecehkan Alloh SWT alias melecehkan agama. Ini justru hal yang substansial dalam agama Islam.

Masalah penggusuran dan reklamasi ini bukan hanya masalah di Jakarta. Reklamasi terjadi di mana-mana termasuk di Sulawesi dan Bali. Ini memang tindakan yang munafik secara agama dan konstitusi. Juga cara-cara penggusuran yang kasar dan tidak beradab. Padahal setiap orang mempunyai martabat dan hak atas kepemilikan mereka, meskipun cuma bangunan seperti kandang ayam di atas tanah negara.

Orang terpelajar banyak yang berhayal bahwa jika mereka menjadi orang miskin maka mereka akan senang diberikan tempat tinggal di rumah susun (rusun), daripada di rumah yang seperti kandang ayam. Cobalah sesekali mereka kaum terpelajar itu menjadi orang miskin yang hidup di bantaran kali seperti masa kecil Presiden Jokowi yang katanya “rasanya masih membekas (di hati)” mengingat masa lalu saat digusur. Setelah mereka miskin tinggal di rumah kandang ayam itu, lalu mintalah pindah ke rusun! Mereka berhayal bahwa kebahagiaan kaum miskin itu adalah ketika rumah mereka yang seperti kandang ayam itu dirobohkan dan dipindahkan ke rusun-rusun. Hanya itu cara mereka mengukur kebahagiaan dan martabat kaum miskin. Yakni dengan berhayal, menggunakan logikanya sendiri, sebab tidak mampu meminjam logika dan perasaan kaum miskin itu. Bagaimana bisa merasakan enak atau tidak enaknya bertempat tinggal di kandang ayam dan di rusun jika mereka tidak pernah mengalaminya?

Seperti halnya reklamasi di Teluk Jakarta Utara yang jelas melanggar hukum dan merusak lingkungan, yang akibatnya juga mempengaruhi ekologi dan masyarakat sekitar Jakarta. Jika tidak melanggar hukum tentu tidak dijatuhi sanksi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Soal perusakan ekologi begini juga disebutkan dalam Al-Quran surat Ar Rum ayat 41.

Lalu mereka menyanggah dengan mengatakan, “Reklamasi ini adalah untuk kebaikan. Ini adalah solusi dalam pembangunan!” Jawaban itu persis seperti yang digambarkan di Al-Quran surat Al Baqoroh ayat 11-12. “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”; maka mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Jadi, Al-Quran ini sudah tahu lebih dulu ke mana arah pikiran kaum developmentalis yang kerjanya merusak ekologi itu.

Lalu mana gerakan massa umat Islam untuk menjalankan perintah amar ma’ruf nahi munkar, menuntut keadilan atas terjadinya penggusuran-penggusuran yang kejam dan reklamasi yang ternyata merusak ekologi itu? Mana gerakan protesnya? Jika tidak ada, hal itu menunjukkan bahwa umat Islam lebih tersinggung dengan kata-kata yang dianggapnya penghinaan agama, tetapi dirinya sendiri telah mendustakan agama dan tidak lulus dalam ujian keimanannya dengan membiarkan kemunkaran-kemunkaran itu terjadi.

Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang biasa mengeluarkan fatwa itu diam saja melihat masyarakat digusuri secara kasar dan membiarkan kebijakan-kebijakan publik tentang reklamasi dan lain-lainnya yang bersifat merusak ekologi. Mana fatwanya tentang perbuatan-perbuatan Freeport, Newmont, Exxon, Lapindo, dan lain-lainnya yang terkait dengan Surat Ar Rum ayat 41 dan Al Baqoroh ayat 11-12 itu? Jika MUI mampu menilai halal-haramnya produk, mengapa tidak berani menilai ma’ruf-munkar-nya kelakuan entitas-entitas yang berkaitan dengan kepentingan dan keadilan umat?

Mungkin ini salah satu tanda akhir jaman itu, yakni: umat Islam seperti buih di lautan, jumlahnya banyak, tapi apalah gunanya buih itu. Keadaan yang sudah diprediksi oleh agama Islam itu sendiri. Tapi saya bisa saja keliru melihat keadaan ini jika ternyata suatu saat nanti umat Islam belumlah menjadi buih di lautan, tapi menjadi kebun buah di taman bumi: Pepohonanya mencegah bencana, rindangnya melindungi dari terik matahari, buahnya menyegarkan dahaga, akarnya melestarikan sumber air yang segar.

Jika aksi massa damai di Jakarta itu ternyata masih meninggalkan sampah yang berserakan, maka berarti imannya belum teruji dari hal yang paling sederhana: “kebersihan sebagian dari iman.” Apalagi untuk menjadi seperti kebun buah di taman bumi.

Ikuti tulisan menarik Subagyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB