x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kronik 17 Oktober 1952: Moncong Meriam Mengarah ke Istana

Kronik ini memuat materi yang kaya tentang ketegangan antara militer, parlemen, dan istana di sekitar 17 Oktober 1952.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Pada tanggal ini, 17 Oktober, 64 tahun yang lampau, ketegangan mulai terasa sejak pagi hari ketika massa demonstran turun ke jalan di Jakarta dengan mengusung poster-poster bertulisan: ‘Bubarkan Parlemen’. Kantor berita Antara waktu itu melaporkan, di antara kaum demonstran itu tidak tampak satu pun yang membawa lambang atau nama partai maupun perkumpulan, atau yang berpakaian seragam. Massa mula-mula mendatangi gedung Parlemen lalu beralih menuju Istana Presiden.

Antara juga melaporkan bahwa para perwira Angkatan Perang, seperti Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal Mayor Simatupang, Kolonel Jatikusumo, Kolonel Nasution (Kepala Staf Angkatan Darat), dan sejumlah panglima daerah datang ke Istana Presiden untuk menghadap Presiden Soekarno. Tentara meminta Presiden agar membubarkan Parlemen. Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Wilopo mendampingi Presiden. Setelah para perwira pulang, datang sejumlah wakil dari Parlemen seperti Mr. Tambunan, Wakil Ketua I dan Sekjen Parlemen Mr. Sumardi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Antara menyebutkan: “dua tank, beberapa mobil berlapis baja dan satu batterij (empat buah) meriam tentara disiapkan di depan Istana Presiden dengan pucuk meriam dan mitralyur-mitralyur dari mobil-mobil berlapis baja ditunjukkan ke jurusan Istana”. Hari itu juga diberlakukan jam malam di seluruh daerah  Jakarta Raya. Bahkan seluruh hubungan telepon diputuskan mulai jam 11.00 siang tanggal 17 Oktober 1952.

Peristiwa 17 Oktober 1952 itu menandai ketegangan yang memuncak dalam hubungan antara militer dan parlemen dengan Istana berperan sebagai penengah. Apa yang sebenarnya terjadi ketika itu? Buku berjudul 17 Oktober: Kronik Hubungan Antara Parlemen, Militer dan Istana ini mendokumentasikan apa yang berlangsung di Jakarta maupun di berbagai daerah di sekitar tanggal tersebut. Ketegangan terjadi karena parlemen dinilai oleh militer ikut campur terlampau jauh dalam urusan internal mereka.

Saat itu, TNI tengah mengalami perbedaan pendapat yang tajam. Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal Mayor T.B. Simatupang dan Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel A.H. Nasution menginginkan tentara yang profesional, bukan para panglima yang menjadi raja-raja kecil di daerah. Nasution akan merasionalisasi tentara, tindakan yang ditentang oleh kubu Kolonel Bambang Supeno yang merasa bahwa mereka—para tentara eks PETA didikan Jepang—akan disingkirkan. Bambang Supeno lantas mengirim surat kepada Parlemen (DPR Sementara) yang berisi ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Nasution. Langkah DPRS yang menyambut surat Bambang Supeno ini dengan mengeluarkan mosi Manai Sophiaan, yang dianggap oleh Nasution sebagai campur tangan Parlemen terhadap masalah internal TNI.

Di saat yang sama militer tidak sabar terhadap sikap parlemen yang berkali-kali menjatuhkan kabinet sehingga pemerintahan tidak dapat berjalan efektif. Gambaran mengenai suasana sebelum peristiwa 17 Oktober terjadi disajikan melalui perdebatan di Parlemen mengenai Kementerian Pertahanan—saat itu jabatan Menteri Pertahanan dipegang oleh Sultan Hamengkubuwono IX. Sementara itu, sehari setelah peristiwa tersebut, sejumlah anggota Parlemen ditahan. Tanggal 20 Oktober, situasi berangsur normal kembali.

Presiden Sukarno menolak permintaan tentara untuk membubarkan parlemen, yang membuat sejumlah perwira—termasuk KSAD Kolonel AH Nasution—mengundurkan diri. Ia diganti oleh Kolonel Bambang Sugeng--kawan dekat Bambang Supeno, yang tak lama kemudian juga mengundurkan diri. Kolonel Bambang Utoyo pun ditunjuk menjabat KSAD tapi ditolak oleh para perwira. Akhirnya Nasution dipanggil kembali oleh Sukarno dan diangkat lagi menjadi KSAD pada 1955.

Kronik yang disusun oleh RIAK (Riset Informasi dan Analisis Kecenderungan) ini sebenarnya terbit pada 2001 ketika suasana Jakarta memanas saat Presiden Abdurrahman Wahid didesak untuk mundur. Namun kehadiran buku dokumentasi ini hingga sejauh ini kurang bergaung, padahal di dalamnya terhimpun laporan kantor berita, surat kabar (antara lain Indonesia Raya, Mimbar Indonesia, Merdeka), notulen rapat parlemen, surat-menyurat, pendapat para tokoh politik dan pernyataan sikap perwira militer waktu itu, maupun reaksi dari daerah maupun luar negeri. Buku ini menghimpun bahan yang kaya untuk menjadi salah satu sumber bagi studi mengenai Peristiwa 17 Oktober 1952 dan hubungan militer-sipil (parlemen, khususnya) di negeri ini.

Sebagai kronik, penyusunan buku ini amat membantu kita untuk ‘menyaksikan’ pergolakan 64 tahun yang silam itu. Mengenai penafsiran atas peristiwa historis ini, semuanya berpulang kepada pembaca bagaimana memanfaatkan bahan dokumenter yang kaya ini dan menarik pelajaran berharga untuk kehidupan mendatang. (Foto: peristiwa 17 Oktober 1952; sumber foto: historia.id/repro '30 Tahun Indonesia Merdeka.' ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler