Gus Dur, Toleransi, dan Ahok
Perbincangan tentang toleransi kembali mengemuka seiring beberapa peritistiwa yang memunculkan kegaduhan beberapa hari terakhir ini. Menyebut kata toleransi, publik tentu tidak akan pernah melupakan tokoh Muslim penganjur toleransi atas keanekaragaman (agama, suku dan ras), yakni Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Suatu pemikiran yang begitu relevan hingga saat ini, ketika Gus Dur menyinggung berbagai peristiwa kekerasan baik sosial politik maupun sosial ekonomi di Indonesia yang diakibatkan oleh eksklusivisme pemahaman tentang agama, suku maupun ras. Dalam hal agama, kekerasan tidak bisa dipisahkan dari politisasi agama dan pendangkalan terhadapnya.
Secara eksplisit maupun implisit, Gus Dur menghargai perbedaan, termasuk perbedaan agama dan keyakinan. Baginya, aqidah adalah milik setiap individu yang kebenarannya tidak bisa ditawar dan diganggu gugat oleh pihak lain yang berbeda keyakinan. Fenomena keyakinan adalah realitas kemanusiaan yang tidak bisa ditolak. Sebatas keyakinan, setiap orang tidak layak untuk saling melakukan intervensi.
Gus Dur memosisikan keyakinan keagamaan sebagai suatu yang bersifat individualistik; berada dalam ranah privat. Kebenarannya pun merupakan kebenaran masing-masing individu yang juga tidak layak untuk dipaksakan oleh individu diluar dirinya, apa lagi yang beda keyakinan.
Pada titik itulah, toleransi dipahami dan dimaklumi sebagai sebuah realitas masing-masing individu. Karena tidak bisa dipaksakan sebab teah menjadi urusan individu, keyakinan menjadi objek yang ditoleransikan.
Objek toleransi berada pada ranah privat, bukan ranah publik. Persoalan publik adalah persoalan yang menyangkut relasi antar-individu sebagai komunitas atau sebagai masyarakat pada umumnya. Karena itu, toleransi tidak memiliki objek pada perilaku yang berimplikasi pada hukum.
Hukum adalah nilai dan norma yang berimplikasi pada hubungan antar sesama manusia, di mana perilaku individu dipandang baik atau buruk sejauh ia dipersepsi oleh individu lainnya. Pada titik ini, hukum berada pada wilayah publik.
Dengan demikian, perbuatan melawan hukum, melawan etika sosial, melawan adat istiadat dan kesepakatan kultural lainnya, tidak menjadi objek untuk ditoleransi, karena perbuatan tersebut memiliki dampak bagi orang lain. Perbuatan melawan hukum, melawan etika sosial, melawan adat istiadat dan kesepakatan kultural lainnya, tidak relevan dan tidak berhubungan dengan keyakinan keagamaan. Apapun agama dan keyakinannya, perilaku pelanggaran hukum harus ditindaklanjuti sesuai mekanisme publik yang diwakili oleh aparat penegak hukum.
Konteks perilaku hukum itulah yang bisa dinisbatkan pada pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menyinggung al-Qur’an surah al-Maidah ayat 51. Pernyataan Ahok yang menyinggung umat Islam yang menggunakan teks Kitab Suci tersebut dan menuduhnya sebagai bentuk pembohongan makna dan tafsir, itu bentuk perilaku yang mencederai wilayah publik.
Ahok telah melakukan intervensi atas kebenaran Kitab Suci yang diyakini oleh agama yang berbeda dengannya. Pernyataan Ahok dengan segala konsekuensinya memiliki implikasi hukum. Karena itu, tidak layak dijadikan sebagai objek toleransi.
Gus Dur telah menggambarkan sebentuk pemahaman tentang toleransi yang berdiri pada keyakinan agama masing-masing sambil menghargai perbedaan.
Penistaan atas perbedaan sebagaimana yang ditunjukkan oleh pernyataan Ahok tersebut adalah bagian dari pendangkalan agama. Ahok telah mendangkalkan pemahaman umat Islam tentang apa yang mereka yakini sebagai sesuatu yang sakral dan bersifat privat.
Pada gilirannya, pernyataan Ahok justru sangat tidak mencerminkan toleransi keberagamaan yang sesungguhnya. Alih-alih umat Islam yang mayoritas dituntut untuk bersikap toleran, segelintir kaum minoritas justru mengaduk-ngaduk rasa kebersamaan dan menunjukkan tiraninya dengan menganggap dirinya sebagai kebenaran tunggal.
Sulit untuk berharap tercipta tatanan kehidupan yang harmonis dalam perilaku pemimpin seperti Ahok saat segala laku dan tindakannya mencerminkan permusuhan bagi mereka yang berbeda dengannya.
Atas dasar itulah, kita menempatkan pemikiran Gusdur tentang toleransi. Toleransi yang digagas Gusdur adalah toleransi yang senantiasa berada dalam pertanggungjawaban dan penerimaan publik.
Toleransi yang tidak menyakiti hati publik, melainkan memberi pencerahan dan kedamaian dalam hubungan antar sesama manusia. Toleransi yang menciptakan rasa keadilan dan jauh dari diskriminasi dan hegemoni, baik itu hegemoni mayoritas maupun minoritas.
Depok, 15 Oktober 2016
Khatibul Umam Wiranu
Mantan Ketua Lajnah Ta'lif wa Nasyr (LTN) PBNU 2013-2015
Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.