x

Iklan

Frans Ari Prasetyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hak Atas Kota dan Keadilan Ruang

Hari ini, kehidupan kota yang ditawarkan semakin tidak jelas dan rumit. Kota telah kehilangan kebijaksanaan dan ketenangan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penggusuran Pemukiman Stasiun Barat-Bandung (26 Juli 2016).Foto oleh Frans Ari Prasetyo

Hari ini, kehidupan kota yang ditawarkan semakin tidak jelas dan rumit. Kota telah kehilangan kebijaksanaan dan ketenangan, kota tidak  lebih dari pusat-pusat kekuasan dan poros kapital. Kota lahir melalui pemusatan surplus produksi secara spasial dan sosial. Kehidupan di kota dewasa ini seyognyanya berada dalam panggung utama secara politis dan etis dalam mengusung cita-cita hak asasi manusia (human right cities). Terdapat upaya dan energi dalam tersebut dalam membangun sebuah kota yang lebih baik yang dilakukan secara topdown maupun insiasi buttom up.  Namun sebagian terbesar konsep-konsep yang bergulir itu, secara mendasar tidak menantang hegemoni logika pasar liberal dan neoliberal, atau pun modus dominan dari tindakan dan legalitas negara. Kita malah hidup di dunia dimana hak-hak pemilikan pribadi, perkara dan penguasaan tingkat profit (kapital) membayangi segenap pemaknaan tentang hak. Hak atas kota.

Hak atas kota bukanlah semata kemerdekaan individu untuk mengakses sumber daya urban : melainkan hak untuk merubah diri sendiri dengan cara merubah kota, sebagai arena kontestasi hidup dan penghidupan warganya.  Lebih jauh, hak atas kota merupakan hak umum ketimbang individual, mengingat transformasi ini secara tak tertolak bergantung pada perwujudan daya-kuasa kolektif untuk membentuk-ulang proses meng-kota (urbanisasi) yang nyatanya memainkan peran amat krusial dalam menyerap surplus-surplus kapital, pada setiap peningkatan skala spasial tertentu. Penyerapan surplus melalui transformasi urban bahkan memiliki sisi yang ternyata lebih gelap dari pemberitaan statistik. Ia menyertakan arena berulang-ulang akan restrukturisasi urban melalui ‘penghancuran kreatif-sistematis’ kultural warga melalui pecerabutan hak warga atas kotanya melalui skema-skema gentrifikasi. Pola ini nyaris selalu memiliki dimensi kelas, mengingat  kaum marjinal/informal yang terbungkam tak punya suara dan terpinggirkan dari kekuatan politik serta akses sumberdaya kota  yang paling pertama  menderita akibat proses ini. Kekerasan menjadi bahasa utama dalam membangun dunia kota yang baru ini, dan ini terjadi hampir diseluruh dunia tidak terkecuali Bandung dan Jakarta.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemerintah melalui kekuasaannya telah merobek-robek keruangan kota dan hak atas kota, mengerahkan pasukan ekspropriasi dengan dalih hak negara untuk mengambil tanah atau hak milik partikelir untuk kepentingan umum dengan member ganti rugi atas nama perbaikan dan renovasi sipil. Penguasa dan kapital dengan enteng ia merekayasa penggusuran sejumlah besar kelas pekerja dan kalangan miskin informal lainnya dari pusat kota, sembari mencap mereka sebagai ancaman bagi tatanan publik dan kekuasaan politik.  Pemerintah kota menciptakan bentuk urban yang diyakininya melalui pengawasan ketat dan kontrol militer bisa diterapkan guna menjamin bahwa gerakan warga dapat dengan mudah dipojokkan. Sebuah metode yang pernah terjadi di Paris di akhir tahun 60an dengan nama metode ‘Haussmann’, untuk kemudian ditiru dengan lancar di kota-kota lainnya khususnya di Indonesia seperti di Bandung dan Jakarta melalui kerja penguasa kotanya yang berkolaborasi apik dan cantik dengan militer yang menjadikan gentrifikasi semakin nyata dikota. Tidak peduli betapa berbeda-beda penyebabnya, hasilnya senantiasa sama; cara dan pola penuh skandal ini hilang tak tercium, tertutupi oleh puja-puji berlebihan akan diri sendiri dari kaum borjuasi dan kelas menengah ‘nghek’ atas pencapaian sukses yang luar biasa bernama pembangunan kota yang menghasilkan indeks-indeks statistik yang menyilaukan jauh dari kenyataan.

Kota adalah penggoda untuk semua melalui Hypnotesis semua orang untuk datang ke kota dan menikmati pesona dan tekanannya. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan- teknologi yang membuat kota telah mengalami bentangan sejarah kultural, infrastruktur dan sosialnya dengan mantra-mantra magic-nya yang menyihir banyak orang.  Kota memiliki energi dan sinergi, getaran yang unik yang menarik orang untuk gaya hidup yang serba cepat, agresif dan lintas-budaya. Orang-orang telah begitu dibutakan oleh gemerlap-nya,  bahwa banyak dari mereka yang tinggal di daerah kumuh kota dan permukiman informal. Tetapi tekanan yang diciptakan oleh orang-orang yang datang dari segala arah sangat besar dan itu adalah mengambil jalan pintas bagi kesehatan kota. Masalah ekologi, ekonomi dan sosial yang parah semaikin bermunculan, sehingga kesegaran kota yang pernah semakin merosot.

Kota menderita polusi dari semua jenis, warga semakin sulit bernapas dalam hidup dan penghidupannya.  Kesulitan udara segar, air bersih hingga tempat pemukiman. Dua ekstrem - kaya dan miskin telah muncul, sehingga munculnya stratifikasi sosial ditambah dengan peningkatan kejahatan yang bisa disaksikan. Semuanya telah dikompromikan untuk penampilan dan peluang material. Kota hanya tubuh subur akumulasi kekayaan dan konsentrasi kekuasaan.

Kota yang egois, dimana orang-orang diuntungkan secara riang dan sembrono. Kota orang memiliki kebiasaan buruk mewujudkan ambisi dan tujuan keegoisan itu . Mereka yang diuntungkan tidak peduli untuk kesejahteraan kota atau kesehatan. Bahkan, mereka bertindak sebagai parasit dan memakan kesehatan dan keindahan kota.Konstruksi, produksi dan konsumsi yang terjadi di setiap sudut dan sudut kota dengan tujuan kecantikan dan modernisasi juga mempengaruhi kesehatan dan keberlanjutan kota. Orang-orang melakukan keliaran eksploitasi kota dan pemanfaatan sumber daya lebih dari yang dibutuhkan membuat kota semakin rapuh.Ada juga bisa menjadi masa depan kemungkinan lain untuk kota. Kota-kota mungkin menyadari kondisi tidak stabil dan rapuh dan mungkin berupaya untuk bekerja mencari  solusi yang paling menguntungkan terutama bagi warganya. Kota bertanggung jawab mengumpulkan otak yang efisien untuk bekerja keluar memberikan solusi berkelanjutan untuk masalah kesehatan kota ini.

Pertumbuhan kota-kota besar modern, khususnya di area-area yang menjadi pusat situasi kekuasaan dan kapital, memicu meningkatnya nilai tanah secara luar biasa dan artifisial. Bangunan-bangunan lama yang tegak di area ini memandekkan dan bukannya meningkatkan nilai lokasi, lantaran gedung-gedung tersebut bukan lagi milik dari perubahan situasi. Mereka diruntuhkan dan digusur oleh yang lain. Ini terutama menimpa perumahan di area slum/squatter dan bahkan hingga heritage kota yang tidak bernilai ekonomis lagi.  Apakah warga yang digusur memperoleh kompensasi? Yang beruntung memang mendapat sedikit. Konstitusi menandaskan bahwa negara berkewenangan untuk melindungi kehidupan dan kemakmuran seluruh populasi, tanpa menimbang kasta atau kelas, dan untuk menjamin hak-hak akan perumahan dan tempat bernaung.

Demokratisasi akan hak tersebut dan membangun gerakan sosial yang meluas untuk menegakkan hak tersebut, adalah sesuatu yang mendesak, jika mereka yang dirampok memang berkehendak merebut kembali kendali (hidup) yang sudah lama terabaikan dan juga jika mereka berkehendak membangun urbanisasi dengan langgam baru. Meminjam, Levebfre yang benar menegaskan bahwa revolusi haruslah urban, dalam makna terluasnya, atau tidak sama sekali. Celakanya oposisi gerakan sosial urban dan pinggiran urban, yang  jumlahnya banyak dan beragam, nyatanya  tidak ketat saling terkait, malah kebanyakan tidak saling berhubungan. Andaikata, entah bagaimana, mereka berada dalam kebersamaan, apakah seharusnya tuntutan mereka?.

Tema kota masa depan telah digali melalui berbagai pendekatan dan perspektif. Mulai dari transportasi kota , perumahan,  ruang publik dan infrastruktur melalui  sifat perencanaan dan tata kelola energi dan keamanan. Juga ada statistik yang diproyeksikan dan interpolasi tentang masa depan dunia perkotaan, karena membayangkan kota pada tahun 2050, sekitar tiga-empat dari populasi dunia akan menjadi  penduduk kota.  Aspirasi menjadi 'urban' telah memerintah manusia untuk melakukan (gaya) hidup kota. Menjadi tidak adil untuk mengikat seluruh kota di bawah satu visi. Setiap kota tidak peduli seberapa  global, modern atau maju dengan  memiliki beberapa esensi yang melekat didalamnya. Setiap kota akan memiliki berbagai luar biasa dalam dirinya sendiri dan vitalitas atmosfer warga-nya. Oleh karena itu, tidak adil untuk membatasi sifat kota dalam kemajuan uni-linea, kecuali terkait hak atas kota bagi warganya dan keadilan ruang. Kota masa depan juga akan memiliki pluralitas, kompleksitas dan kerumitan dan di antara mereka sendiri akan terlihat dalam menjelajahi ruang –waktunya sendiri. Sampai saat itu, warga kota berniat untuk merencanakan masa depan yang berkelanjutan dan efisien dari kota yang ekologis dan ramah HAM; kota yang berada di atas pengertian hirarki dan mencerminkan rasa kesetaraan sosial. Satu langkah ke depan untuk memadukan kerja ini dengan mengadopsi hak atas kota sebagai slogan operasional maupun sebagai ideal politik .

Masa depan kota-kota kita ada di tangan kita - penduduk kota untuk memberikan keputusan dan  tindakan akan menentukan nasib kota. Jika kita ingin kota tetap hidup, maka harus berpikir rasional dan melakukan desain (kota) sesuai fungsi ekologis dan keberdayaan warganya. Jangan sampai kota menjadi kota tanpa warga. Kita perlu menjadi warga yang bertanggung jawab dan merawatnya bukan hanya menuai sumber daya dan peluang.  Kota harus direncanakan dengan mengingat kebutuhan kita dan daya dukung dan tuntutan yang mungkin dari generasi masa depan. Setelah semua itu, kota akan memberikan haknya kepada semua warga tanpa dikecualikan oleh orang atau kekuasaan yang merampas hak-hak tersebut. Maka, soal Hak atas kota harus kita upayakan dan kita rebut dari penguasaan yang tidak berkeadilan secara (politik) sosial-keruangan.

* Tulisan ini pernah disajikan sebagai pengantar Diskusi dan Workshop Perkotaan di LBH-Bandung | 23 sept 2016.

** Tulisan ini pertama kali dimuat di http://indonesiapolicy.com/2016/10/15/hak-atas-kota-keadilan-spasial/

Ikuti tulisan menarik Frans Ari Prasetyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu