x

Ilustrasi Pungutan liar (Pungli)/Korupsi/Suap. Shutterstock

Iklan

Antoni Putra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

'Perselingkuhan' Politisi dan Korupsi

Perselingkuhan politisi dan korupsi juga tergambar dari tindakan sebagian politisi yang "melindungi" korupsi dari upaya pemberantasan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tuntunan menuju kearah negara sejahtera dan bebas dari korupsi telah sejak lama menjadi impian setiap negara. Setidaknya negara Indonesia telah mengamanatkan kesejahteraan bangsa sebagai cita-cita nan abadi. Tetapi harus disadari bahwa kesejahteraan itu harus selalu tertunda sebagai akibat dari prilaku korupsi yang terus membudaya. 

Korupsi selalu saja dijadikan "cara" berpolitik oleh sebagian politisi. Pada mulanya, mereka berlomba-lomba memikat hati masyarakat dengan mengatakan anti korupsi agar terpilih di pemilihan umum sebagaimana tuntunan demokrasi. Namun setelah itu, politisi diam-siam mulai bercumbu mesra dengan korupsi. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keberadaan politisi di negara demokrasi memang tidak bisa dihindari, dengan itu pula "Perselingkuhan" yang terjadi antara politisi dan korupsi semakin tak terkendali. Bahkan politisi yang tegas menolak korupsi dan mendukung pemberian hukuman mati untuk koruptor pun tidak kuat iman menghadapi rayuan korupsi. 

Pengetahuan politisi tentang bahaya korupsi terbukti tidak mampu menghindarinya dari korupsi. Sebagaian besar politisi seperti mempertontonkan "Kemunafikan" yang nyata kepada publik. hal ini dibuktikan pula dengan adanya upaya sistematis untuk mengkebiri upaya pembererantasan korupsi yang datang dari politisi yang mengaku anti korupsi. 

Politisi dan Korupsi 

Politisi dan korupsi di Indonesia selalu saja memiliki hubungan yang spesial. Betapapun garangnya penolakan yang selalu disuarakan oleh politisi terhadap korupsi, namun hatinya tidak mampu menolak korupsi seperti ucapannya itu. Korupsi selalu saja menarik baginya, walau ia tahu bahwa korupsi itu memiliki efek buruk yang mengancam keselamatan bersama. 

"Cinta buta" sebagian politisi terhadap korupsi telah terbukti pula dapat menyebabkan gangguan terhadap keberlangsungan pembangunan bangsa dalam menggapai cita-cita kesejahteraan. Korupsi seolah menjelma sebagai penyakit sosial yang terus saja menyerang urat syaraf sebagian politisi. Politisi korup tentu cenderung mempertontonkan kemunafikan sebagai upaya untuk menutupi kejahatan yang dilakukannya agar tidak diketahui secara umum. 

Perselingkuhan politisi dan korupsi juga tergambar dari tindakan sebagian politisi yang "melindungi" korupsi dari upaya pemberantasan. Politisi gencar melakukan serangan terhadap lembaga anti rasyuah Komisi Pemberantasan Korupsi melalui berbagai cara, diantaranya melalui revisi UU KPK dengan Pasal-Pasal Pelemahan maupun kriminalisasi pimpinan KPK. Ibarat berburu, KPK dalam memburu korupsi selalu saja diarahkan ke ladang yang terang dimana tidak terdapat korupsi disana, sementara politisi dan korupsi berpesta pora ditengah hutan. 

Memang tidak mengherankan bila sebagian politisi selalu saja terusik dengan keberadaan KPK. Bila kita memakai naluri manusia, maka akan sampai kepada sebuah kalimat yang pas untuk mengambarkannya, yaitu " mana ada orang yang rela cintanya di halangi". Itulah yang dilakukan politisi korup, yaitu memperjuangkan agar cintanya tidak terusik, apalagi sampai "memisah ranjangkan' dengan cintanya. 

Politisi akan selalu siaga memperjuangkan keinginannya. Ketika suara-suara anti korupsi telah sampai kedepan pintu, bahkan mampu masuk kedalam rumah, maka keluarlah perlawanan balik dari koruptor dan antek-anteknya (corruptor fight back). Jika teror dan intimidasi sudah tidak mempan, maka kriminalisasi lah senjata untuk membungkam suara-suara itu. 

Di tengah kondisi yang demikian, kita perlu merumuskan solusi untuk masalah korupsi yang terus saja terjadi. Kampanye anti korupsi dan penegakan hukum seadanya seperti saat ini tidaklah cukup untuk memberantas korupsi. Di perlukan langkah kongkrit lebih dari sekedar kampanye dan pemberantasan, tetapi juga diperlukan langkah kongkrit guna untuk memutus hubungan antara politisi dan korupsi. 

Oleh karena itu, penulis beranggapan untuk memberantas korupsi di Indonesia dibutuhkan upaya politik yang serius dari penguasa. Selama ini pemberantasan korupsi masih tertumpu kepada penindakan hukum dan kampanye anti korupsi. Di saat yang bersamaan, koruptor terus berevolusi untuk menghindari jeratan hukum, sementara hukum masih saja jalan ditempat tanpa adanya pembaharuan. Hukum selalu saja ditinggalkan selangkah dibelakang oleh koruptor, sehingga hukum hanya mampu mengungkap sebagian kecil dari kasus korupsi yang ada. 

Dengan adanya upaya politik yang serius dari penguasa, tentu juga akan menyebabkan hukum itu berenovasi. Di harapkan upaya politik yang dilakukan itu mampu menutup celah terjadinya korupsi dan memutus hubungan antara politisi dan korupsi. Sebab hanya dengan upaya politik lah kita dapat mengukur kemampuan koruptor untuk korupsi itu sejauh mana. Bila ada keseriusan dari penguasa untuk memberantas korupsi di Indonesia, sejatinya cukup dengan memberikan upaya politik yang serius terhadap upaya pemberantasan korupsi. Sebab bila penguasa berkeinginan kuat untuk memberantas korupsi, maka aturan hukum yang menakutkan bagi koruptor pun dapat diciptakan. Namun sejauh ini, keseriusan penguasa itu lah yang belum terlihat sama sekali. 

 

Oleh : Antoni Putra 

Peneliti Muda Lembaga Antikorupsi Integritas, Padang

Ikuti tulisan menarik Antoni Putra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler