x

Papan iklan yang barada di eks Senayan Golf Driving Range di Jakarta, 24 Februari 2016. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan mengubah lapangan golf di Senayan menjadi hutan kota. TEMPO/Subekti.

Iklan

budiawan santoso

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Iklan Berseni, Iklan Berliterasi?

Adanya kesadaran seni dalam iklan itu, berarti menunjukkan pula iklan tak dibatasi oleh konsep-konsep baku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Benarkah jika seseorang sudah menjadi priyayi maka martabat dan ekonominya terangkat? Novel panjang yang menyingkap tiga zaman di Indonesia ini, menyajikan kisah kehidupan sebuah keluarga Jawa, yang tengah menghadapi arus perubahan mendasar.

Umar Kayam, penulis buku ini, adalah sosok budayawan terkemuka Indonesia. Guru besar yang secara konsisten menggarap masalah sosial-budaya ini, dalam novelnya melihat makin tajamnya perubahan pola pikir kalangan masyarakat Jawa, terutama para priyayinya.”

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ini iklan novel Para Priyayi garapan Umar Kayam, terbitan Grafiti, yang hadir dalam majalah Matra, Desember 1992. Iklan bernada pertanyaan retoris, merangkum sejarah-sosial-budaya, begitu intelektualis, dan tak kaku. Bahasanya dapat dicerna, memantik imaji kita (pembaca) ke pelbagai ranah. Apalagi, iklan buku ditambahi lukisan wajah pengarangnya dengan teknik arsir. Malahan, menambah nilai seninya.

Adanya kesadaran seni dalam iklan itu, berarti menunjukkan pula iklan tak dibatasi oleh konsep-konsep baku. Pengiklan nampaknya memang mahfum akan kejiwaan si pembaca. Dimana, secara naluriah, seni termasuk bagian dari hidup si pembaca (manusia). A.B. Susanto dalam Seni Bisnis dan Bisnis Seni (2001) pernah menyatakan, “Dengan seni akan menambah rasa kemanusiaan lantaran di dalam seni terkandung jiwa bernama keindahan. Kalau manusia menganggap sesuatu itu indah, maka dalam diri manusia itu akan muncul rasa memiliki, menyayangi dan merawat”—dalam hal ini, bisa kita tafsir: membaca dan menggunakan sebaik mungkin.

Pancaran itu pula, dapat kita ketahui di iklan bolpoin merk Parker, tercetak di sampul majalah Intisari, no. 331, Februari 1991, bagian dalam. Kutipannya, begini: “Kesusateraan Besar tidak kenal batas. Demikian pula keanggunan Pulpen dan Ball Point Parker Duofold yang tampil begitu menawan dalam gambar ini. Sungguh, tidak terbatas biayanya untuk membuatnya demikian./Tuliskan pada kertas. Pulpen dan Ball Point Parker Duofold akan meluncur lembut sepanjang halaman dengan aliran tinta yang rata. Tidak tersendat. Tidak menggumpal./Sebagai jaminan (dan kami menjamin seumur hidup) kami membuat mata pena Parker dari emas 18 karat dan kami buat ball point kami dari bahan ‘tungsten carbide,’ bukan dari bahan logam biasa yang mudah aus./Keduanya adalah alat tulis terbaik di dunia./Dan akan menumbuhkan keyakinan bahwa tinta dan ilham mengalir lebih lancar dengan Parker. Pernyataan ini hanya akan terbukti bila Anda sendiri menggunakan Parker Duofold yang baru ini.”

Iklan bolpoin ditambahi ilustrasi foto 3 buku bertumpuk, atasnya ada sebuah kacamata, di sebuah meja, ditampakkan punggung bukunya. Sehingga, pembaca tahu judul buku itu, yakni novel Sir Arthur Conan Doyle: The Adventures of Sherlock Holmes; Rimba Harapan Keris Mas; dan Tenun Ikat dari Dra Suwati Katiwa. Lalu, di sampingnya, seperti buku harian bersampul kulit ditemani secangkir teh, serta foto orang ‘bule’. Meski, iklan begitu elit, hiperbolik, dan ditujukan pada calon pembeli berselera tinggi, bisa dari kalangan menengah ke atas, ia (iklan) tak menjelma komersialisasi saja. Barangkali, secara tak langsung, ia mengajak/menuntun pada kita (pembaca iklan) tuk memiliki etos membaca, etos berliterasi.

Setali dengan hal itu, ini mengingatkan pada iklan Indonesia pada zaman revolusi. Dimana, kala itu, iklan cukup tersemai di pelbagai penerbitan pers, salah satu dapat kita ketahui, lewat Penerbit Penjiaran Ilmoe Fort de Kock terdokumentasi dalam Roman Pergaoelan-nya Sudarmoko (2008). Nukilan iklannya: “Penerbitan Besar! Bakal Terbit! Sedikit hari lagi!” Poesaka Indonesia” Ra’jat Indonesia seloeroehnja! Beloem pernah diterbitkan seboeah boekoe jang boleh dinamakan “Poesaka Indonesia”.

Iklan menampakkan spirit zamannya sangat propaganda. Iklan dan buku menjadi penting untuk calon pembeli dan pembaca pada zaman itu. Maka, tak aneh, bila pihak pengiklan menyatakan lanjut, begini: “Telah banjak boekoe-boekoe jang diterbitkan beroepa politik, sedjarah, romans sebagainja, akan tetapi seboeah boekoe jang boleh mendjadi “poesaka” bagi ra’jat Indonesia seoemoemnja, beloem kelihatan. Karena itoe sedikit hari lagi sengadja akan diterbitkan boekoe besar dengan title: “Poesaka Indonesia”. Boekoe jang betoel-betoel akan mendjadi poesaka bagi bangsa kita.”

Dari sini, cuilan-cuilan iklan cukup berbau literasi dan ‘amis’, bisa mengundang imaji dan harapan. Iklan tak sekadar membujuk, merayu, dengan bahasa persuasif, apalagi hiperbolik. Iklan bisa menjadi puitis, serasa tak membodohi, dan mengajak kita tuk mencecap segala hal, termasuk menyikapi perubahan zaman ini. Di sisi lain, iklan berbau literasi, menguarkan keparadoksan. Maka, saat kita tahu dan sadar, kita pantas pilih-pilih, saring, serta tak mudah terlarut dan terjerat dalam iklan selamanya.

 

Budiawan Dwi Santoso, tinggal di Sukoharjo.

Pendiri Komunitas Tanda Tanya. Pernah bergiat di Bilik Literasi Solo. Puisi-puisinya termaktub dalam antologi buku Menguntum (Jagat Abjad, 2011) dan antologi puisi Pendhapa 13 (TBJT, 2012). Esainya termaktub dalam buku Manusia=Puisi (Bale Sastra Kecapi dan Jagat Abjad, 2011); Aku dan Buku (Pawon, 2012); Mengenang (Jagat Abjad, 2012). Cerpennya termaktub dalam buku Berbeda (Jagat Abjad, 2012). Antologi puisi tunggal: Sekejap (2013) dan Laki-Laki Penggunting Garis Bahasa (2014).

Ikuti tulisan menarik budiawan santoso lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler