x

Iklan

Subagyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cara Pikir Joko Tingkir, Jokowi dan Kita

Tarkait paradigma itu, ada penanaman cara pikir oleh sistem pendidikan Indonesia, bersekolah untuk menjadi hamba pasar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Anda masih ingatkah pidato Presiden Jokowi di Konferensi Asia-Afrika ke-60 tanggal 22 April 2015? Jokowi berkata begini: “Ketika negara-negara kaya yang hanya sekitar 20 persen penduduk dunia, menghabiskan 70 persen sumber daya bumi maka ketidakadilan menjadi nyata. Ketika ratusan orang di belahan bumi sebelah utara menikmati hidup super kaya, sementara 1,2 miliar penduduk dunia di sebelah selatan tidak berdaya dan berpenghasilan kurang dari 2 dolar per hari, maka ketidakadilan semakin kasat mata.

Jokowi juga berkata, “Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya bisa diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF dan ADB adalah pandangan yang usang yang perlu dibuang.

Jokowi bicara tentang realitas ketimpangan dunia dan pandangan atau cara pikir atau paradigma dalam mengatasi masalah itu. Tapi bagaimana kenyataannya? Rezim Jokowi – JK utang ke Bank Dunia 400 juta dollar AS atau sekitar Rp 5,4 T dan utang ke ADB sebesar 500 juta dollar AS. Tampaknya rezim Jokowi pun secara batin masih menggunakan cara pikir rezim sebelumnya. Indonesia dikatakan kini mengalami kenaikan peringkat kemudahan berusaha versi Bank Dunia. Tapi sebenarnya bukan kemudahan usaha, namun kemudahan investasi asing masuk ke Indonesia. Jadinya slogan anti free fight liberalism dalam ekonomi Pancasila ternyata nggak laku di sini. Politisi memang suka beretorika, memberi ilusi kepada massa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cara Pikir

Pada jaman kesultanan Pajang (pasca kesultanan Demak), seorang pemuda bernama Karebet hendak pergi ke Pajang untuk mengabdi menjadi prajurit. Karebet alias Joko Tingkir adalah anak dari Ki Ageng Pengging yang masih keturunan raja Majapahit. Ki Ageng Pengging konon dihukum mati oleh kesultanan Demak di jaman Sultan Fatah (Pengeran Jin Bun) karena Ki Ageng Pengging secara politik dinasti dianggap berbahaya. Ki Ageng Pengging dicurigai akan memberontak. Di sebuah negeri, tak boleh ada matahari kembar. Maka salah satu matahari, yakni Ki Ageng Pengging, harus dimusnahkan.

Pada waktu akan berangkat ke Pajang, Karebet mohon pamit kepada pamannya, Kebo Kanigoro. Di rumah pamannya itu Karebet disuguhi makan. Kebo Kanigoro konon sengaja memberi makan yang banyak agar Karebet tidak mampu menghabiskannya. Benar, ternyata Karebet tidak mampu menghabiskan makanan itu. “Saya kekenyangan Paman,” kata Karebet. Lalu Kebo Kanigoro meminta sisa makanan Karebet itu dan segera dihabiskannya.

“Mengapa Paman makan sisa makanan itu? Bukankah tidak patut orang tua makan sisa makanan orang muda?” Tanya Karebet.

Kebo Kanigoro menjawab, “Nak Karebet. Ketahuilah, bahwa kelak engkau mungkin akan menjadi penguasa di Pajang, sebab kita adalah keturunan raja Mojopahit. Aku akan membantumu. Aku memakan sisa makananmu itu sebagai perlambang bahwa kelak aku bakal nempil kemukten (minta bagian kekuasaan) yang kamu raih kelak. Apakah Nak Karebet setuju?”

Karebet menjadi paham maksud pamannya itu. “Iya Paman. Tentu aku setuju. Sepeninggal ayahku, Paman adalah pengganti ayahku.”

Sepenggal kisah sejarah di atas saya maksudkan sebagai ilustrasi, bahwa seseorang bisa menjadi orang yang bagaimana, tergantung dari cara pikir (paradigma). Paradigma yang dianut seseorang tergantung dari nilai-nilai yang dianutnya. Nilai-nilai itu ditanamkan oleh pendidikan dan pengalaman.

Kebo Kanigoro adalah guru, dosen dan orang tua yang telah menanamkan nilai bercorak materialistis kepada kemenakannya, Karebet. Kanigoro mengajari anak muda itu dengan pandangan yang keliru, meskipun Kebo Kanigoro adalah ahli tirakat (suka menjalani puasa dan berdzikir untuk mendekatkan diri kepada Tuhan). Tetapi tirakat yang dilakukan itu mempunyai pamrih kekuasaan. Tuhan mungkin akan mengabulkan, sebagaimana Tuhan mengabulkan permintaan Iblis yang ahli dzikir yang pernah menjadi Pansihat Agung para malaikat, pada saat akhirnya Iblis terjerumus dalam kesombongannya.

Kebo Kanigoro mendidik Karebet menjadi pemuda yang akhirnya haus kenikmatan kekuasaan. Untuk mendapatkan kekuasaan di Pajang, Kerebet diarsiteki oleh Kebo Kanigoro dengan cara membuat kerusuhan yang dikenal dengan kisah Kebo Ndanu. Kebo Ndanu diciptakan menjadi teroris di Pajang oleh Kebo Kanigoro, lalu Karebet bertindak sebagai pahlawan yang menumpas Kebo Ndanu. Maka Sultan Pajang (Sultan Trenggono) dan rakyat Pajang terksesima dengan Karebet yang konon juga murid Sunan Kalijogo itu. Karena Karebet menjadi pahlawan penumpas teroris di Pajang, maka Karebet diangkat menjadi Panglima Militer di Kesultanan Pajang.

Selanjutnya Karebet alias Joko Tingkir ini dinikahkan dengan puteri Sultan Trenggono. Kelak Karebet yang mata keranjang itu diangkat menjadi Sultan Pajang atas restu Sunan Giri, bergelar Sultan Hadiwijoyo. Hal itu diam-diam tidak disetujui oleh Sunan Kudus yang menganggap bahwa Hadiwijoyo alias Joko Tingkir alias Karebet tidak berhak atas tahta kesultanan.

Penanaman nilai-nilai yang culas dalam kekuasaan itu telah terjadi sejak jaman Mataram Hindu hingga sekarang. Ada usaha-usaha penanaman nilai etika politik, tetapi sepanjang perjalanannya masih gagal mengubur nilai-nilai kelicikan politik. Demi meraih kekuasaan, cara apa saja ditempuh, tidak kenal halal-haram.

Pendidikan Hamba Pasar

Tarkait paradigma itu, ada penanaman cara pikir oleh sistem pendidikan Indonesia, yakni: orang yang bersekolah adalah manusia-manusia yang dipersiapkan untuk mengabdi atau menghamba kepada pasar. Saat seorang anak muda mulai bersekolah, dalam bayangan orang tuanya adalah: “Anakku besok kalau sudah menjadi sarjana akan bekerja di perusahaan ini itu atau menjadi pegawai pemerintah, sehingga hidupnya enak.”

Para guru di sekolahnya, yang juga merupakan para orang tua dari anak-anaknya, mengajari anak-anak didiknya untuk terampil membuat surat lamaran kerja. Maka dalam sistem pendidikan itu dibuatlah “program siap kerja” dalam arti siap kerja untuk menjadi buruh industri dan perdagangan, bukan siap kerja menjadi wirausaha.

Oleh sebab itulah dalam masyarakat kita biasa ada olok-olok, “Wong sarjana ekonomi kok menjadi petani?”  (Apa salahnya?) Tapi ada kenyataan yang lebih runyam, yakni sarjana pertanian bekerja di bank. Apakah dia dipersiapkan menangani kredit pertanian? Tidak, wong dia menjadi teller atau customer service karena cantik dan ramah.

Pertanian kita digusur oleh industri. Negara ini telah mengubah kemandirian rakyat petani dengan lahan milik sendiri menjadi kaum buruh yang bergantung kepada para pemilik kapital yang dengan mudahnya memindahkan kapital mereka ke mana saja mereka suka di dunia pasar bebas ini.

Saya belum mendengar ada guru yang menanamkan nilai begini: “Kalian bersekolah ini dimaksudkan untuk mencari ilmu. Bukan untuk bekal menjadi pelayan pasar dengan menjadi buruh industri dan perdagangan. Sebagai kaum terdidik, kalian kelak harus menciptakan pekerjaan untuk diri sendiri dan keluarga. Jangan menjadi buruh, sebab buruh itu akan kehilangan sebagian besar kemerdekaan dirinya! Carilah ilmu dan wawasan yang banyak! Kelak setelah mendapatkan ijazah maka kalian akan mampu mandiri menjadi para soko guru negara. Kita akan kelola sendiri sumber daya alam atau kekayaan negara ini, tidak kita serahkan kepada orang lain yang selama ini merampok kita! Lebih baik kalian menjadi tukang cukur daripada menjadi jongos perusahaan patikelir penghisap!”

Ini tentu tidak bermaksud meremehkan buruh. Tapi justru saya berpikir tentang bagaimana cara kita menempatkan martabat buruh secara mulia. Di dunia ini tak dapat dipungkiri, bahwa kaum buruh akan tetap ada. Tapi karena negara kita, dengan paradigma yang sesat, telah menyediakan buruh terlalu banyak untuk melayani para perampok kekayaan Indonesia. Jika suplai tenaga buruh lebih banyak daripada permintaan para majikan, maka keadaan itu tidak akan bisa menciptakan harga yang berperikemanusiaan. Kaum buruh harus sering berlelah-kelah untuk aksi massa untuk kenaikan upah buruh demi kesejahteraan mereka.

Saya membayangkan bahwa rakyat Indonesia adalah output pendidikan yang mandiri, mampu berusaha sendiri dengan gigih, sehingga para korporasi besar kesulitan mencari buruh di sini. Suplai tenaga buruh akan lebih sedikit dibandingkan permintaan tenaga buruh. Jika mereka akan mendatangkan buruh dari luar negeri, pemerintah akan membatasinya. Jika mereka mau menggunakan robot, kita batasi. Dengan demikian harga diri dan nilai ekonomi buruh domestik akan tinggi. Kita taklukkan kaum perompak itu agar tidak semena-mena di sini. Bagaimana jika para investor itu hengkang gara-gara kesulitan mencari buruh di sini?

Itu tergantung cara pikir (paradigma) kita. Jika cara pikir kita adalah cara pikir Pancasila yang menentang liberalisasi investasi partikelir terhadap pengelolaan sumber daya alam Indonesia, hal itu tak ada masalah. Negara bisa membina koperasi-koperasi rakyat secara serius untuk mengelola kekayaan negeri sendiri dengan kemampuan kapital rakyat sendiri. Pertumbuhan ekonomi tak harus dikejar. Tapi keadilan ekonomi dan kelestarian lingkungan hidup menjadi hal yang pokok. Kebahagiaan rakyat tak harus dengan gemerlapnya kekayaan.

Apa gunanya seperti sekarang ini: pembangunan fisik menampakkan bangunan-bangunan megah, tapi utang negara menumpuk, tarif pajak dinaikkan, subsidi untuk rakyat dicabuti, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin makin tinggi?

Toh berapapun gunung emas di Papua, Sulawesi, Jawa dan Nusa Tenggara digempur habis, apakah rakyatnya menikmati kekayaan emas itu? Tidak. Melimpahnya kekayaan migas nasional yang disedot tiap hari sejak jaman kolonial Belanda hingga detik ini juga tak membuahkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Mengapa itu terjadi? Karena cara pikir kita adalah memperjuangkan diri menjadi hamba pasar. Negara ini menjadi hamba pasar, melayani kaum majikan.

Masuk akalkah cara pikir ini: “Bangsa kaya menyerahkan kekayaannya kepada para perompak dan perampok dengan harapan besar bahwa perampok dan perompak itu akan membagi kue kekayaan itu kepada rakyat pemilik kekayaan itu sehingga rakyat bangsa itu akan sejahtera.” Kebodohan doktrin ini diajarkan oleh para professor dan menjadikan para penganutnya sangat fanatik. #tepok dengkul……

Dengan cara pikir demikian itu maka negara ini dipenuhi para patriot pasar yang mengabdi bukan kepada negara, tapi menghamba kepada para perampok dalam pasar bebas. 

Ikuti tulisan menarik Subagyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler