x

(Ki-Ka) Sekretaris Eksekutif KWI Romo Eddy Purwanto, Sekretaris Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu (Matakin) Uung Sendana, Sekretaris Pimpinan Pusat Parisada Hindu Dharma Indonesia Nyoman Udayana, Sekjen PGI Gomar Gultom, Presidium Inter Religious C

Iklan

IIP RIFAI

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyoal Definisi Agama dalam Budaya Politik

Ada banyak definisi mengenai agama, tetapi setiap definisi menuai pertanyaan baru dan kritik, hingga berujung pada ketidakpercayaan pada definisi tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Iip Rifai

Peneliti di Omar Institute, Pengajar di Kampus CMBBS Propinsi Banten, Alumnus Pascasarjana IAIN “SMH” Banten

Pendahuluan

Membaca buku “Studi Agama di Indonesia: Refleksi Pengalaman” terbitan CRCS UGM, Oktober 2015, yang disunting Samsul Maarif, selain sangat menarik untuk didalami dan dikaji pula membuka lebar wacana baru tentang agama yang dipersepsi konvensional oleh banyak orang selama ini. Tiga bab pertama buku ini menggali satu isu yang cukup sentral dan krusial dalam studi agama, yaitu tentang paradigma agama itu sendiri. Tulisan pertama oleh Zainal Abidin Bagir, yang merupakan catatan atas sebagian topik utama dalam matakuliah Academic Study of Religion, memproblematisir konsep “agama”, untuk merangsang daya kritis atas definisi-definisi tentang agama yang dibuat dengan jejak politis yang amat kentara—baik politik negara (mulai dari zaman kolonial hingga kini) maupun politik akademia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Adapun Samsul Maarif yang mengangkat topik sentral tentang “agama lokal”, sebuah kategori yang berada di luar radar definisi agama oleh negara. Maarif menunjukkan betapa pendefinisian itu bukan hanya memiskinkan studi agama namun juga membawa dampak-dampak sosial yang cukup serius. Maarif sekaligus menunjukkan bahwa studi agama dalam konteks Indonesia, dimana agama berperan amat kentara di ruang publik, sedikit banyak mesti mengambil posisi advokasi, tanpa menafikan karakter akademisnya.

Tulisan lainnya, Achmad Munjid menunjukkan betapa jejak definisi negara mengenai agama tampak nyata dalam pemahaman rata-rata mahasiswa. Sikap terbuka untuk tidak mengadili agama-agama lain dengan menggunakan kategori-kategori yang berlaku dalam suatu agama lain menjadi syarat untuk studi agama yang baik. Untuk itu, definisi tentang agama yang biasa dikenal mahasiswa mesti dipertanyakan terlebih dahulu. Beranjak dari kritiknya atas pengajaran agama di sekolah-sekolah Indonesia yang sifatnya mono-religius, maka ia mengusulkan pengajaran agama atau studi agama melalui pendekatan inter-religius. Tujuannya bukan untuk mengetahui mana agama yang paling benar diantara agama-agama yang lain, namun untuk melakukan refleksi kritis terhadap atas identitasnya sendiri ketika berinteraksi dengan yang lain.

Dalam konteks Indonesia, kebijakan negara yang menetapkan enam agama sebagai agama yang diakui menjadi identitas bangsa Indonesia yang pada kenyataanya menyebabkan pengabaian terhadap hak-hak kewarganegaraan penganut keyakinan di luar keenam agama yang diakui. Hal ini menunjukkan bahwa politik negara sangat dominan untuk menentukkan sebuah definisi sesuai yang dikehendakinya.

 

Agama Sebagai Sebuah Kontruksi

Menurut Zainal Abidin Bagir, Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, pertanyaan mengenai “apa itu agama” tentu tak hanya soal pendefinisian semantik yang dapat diselesaikan dengan konsensus dalam buku kamus. Di balik itu, seperti tampak jelas dalam kajian Smith, ada dimensi-dimensi sosial, politik, dan teologis yang berjalin berkelindan. Studi agama, dengan demikian, bukan hanya merupakan studi atas suatu variabel bernama “agama” yang telah terdefinisikan dengan baik, tetapi juga upaya untuk mengenali situasi sosial dan politik yang mendorong orang, dengan satu atau banyak alasan lain, mencirikan sekelompok fenomena dengan kata itu, beserta berbagai konsekuensinya.

Apakah “agama” itu? Pertanyaan tersebut biasanya  dijawab dengan jawaban definisi. Ada banyak definisi mengenai agama itu apa, tetapi setiap definisi selalu menuai pertanyaan baru dan kritik, hingga berujung pada ketidakpercayaan pada definisi itu. Definisi tersebut bisa berada di awal pembicaraan, agar jelas subyek pembicaraannya. Tetapi dapat juga bisa diakhir pembicaraan, sebagai pencapaian, hasil pengenalan terhadap suatu fenomena. Kedua cara tersebut mengandaikan adanya suatu entitas terpisah yang dapat dibedakan dari yang lain (diidentifikasi) yang disebut “agama”.

Dalam pandangan banyak pengkaji agama, keberadaan entitas itu justru dipertanyakan. Entitas tersebut adalah diciptakan (invented) atau lahir dari proses konstruksi sosial. Penggunaan istilah konstruksi di sini menyiratkan bahwa “agama” bukanlah sesuatu yang niscaya atau yang lahir secara alamiah, tetapi hidup dalam sejarah manusia. Ini bukanlah upaya menafikan aspek-aspek supranatural yang dipahami ada dalam (banyak) agama, meskipun sebagian agama, dengan cara pendefinisian yang berbeda, mungkin memahami nature secara berbeda dan karenanya memiliki konsep berbeda-beda atau bahkan tak memiliki konsep tentang supranatural. Namun ia lebih merupakan upaya metodologis membatasi apa yang dikaji dalam studi agama. Formulasi ini mungkin tak sepenuhnya memuaskan, tetapi yang ingin ditegaskan adalah adanya kesadaran untuk mempertanyakan pemahaman-pemahaman konvensional mengenai agama (Samsul Maarif 2015)

Konstruksi agama terjadi dalam proses regulasi agama, khususnya oleh negara atau suatu kekuasaan politik. Konteks Indonesia, agama, sebagai sebuah konstruksi, telah lama dipolitisasi oleh penguasa yang dimulai semenjak masa penjajahan hingga pasca pascakolonial. Akibatnya, saat ini hanya 6 (enam) agama yang sah dan diakui, selain yang disebutkan, termasuk agama lokal, harus berubah dan lebih ekstrim lagi wajib ditinggalkan.

Di era Orde Baru, misalnya, kebijakan politik memainkan peranan penting dalam menentukan studi agama. Negara hanya mengakui dan mengatur 6 (enam) agama yang bisa hidup dan berkembang di Indonesia. Kondisi tersebut menjadikan studi agama lokal kian tersisih dan menjadi asing.

Di era reformasi, kajian agama lokal mendapatkan ruang walau tidak terlalu besar. Wacana isyu masyarakat lokal dan aliran kepercayaan, meliputi hak-hak sipil mereka sebagai warga negara, berperan pada pengembangan kajian agama lokal dalam studi agama. Hal demikian karena wacana isyu tersebut berkaitan langsung dengan studi agama, baik agama secara umum maupun khusus, yakni agama lokal. Salah satu kasus, misalnya, kelompok aliran kepercayaan dikategorikan oleh negara bukan sebagai agama, dengan demikian ia ditempatkan di kementerian berbeda dengan agama yang diakui. Kasus di atas termasuk kasus politis, tetapi justifikasi argumen yang digunakan adalah persoalan pendefinisian agama.

 

Konsepsi Agama Dunia

Menurut beberapa sarjana, diantaranya Masuzawa (2005) dan James Cox (2007), bahwa studi agama sejak abad ke-19 telah dipengaruhi oleh paradigma agama dunia hingga saat ini. Agama dikonsepkan secara esensialis dan disesuaikan dengan karakter dan kriteria agama dunia.  Konsep agama dunia merujuk pada suatu agama yang dominan dan dijadikan sebagai prototipe.

Masuzawa (2005) menegaskan bahwa paradigma agama dunia yang awalnya dikonstruksi oleh sarjana Eropa pada abad ke-19 terus digunakan oleh para sarjana dalam mengajarkan agama hingga sekarang.

Jika dikaitkan dengan konteks Indonesia, maka pernyataan Masuzawa tersebut sangat relevan sekali bagaimana pengaruh paradigma tersebut mempengaruhi kebijakan politik. Hanya enam agama yang diakui dan dilayani oleh pemerintah Indonesia. Jika di Barat, Kristen adalah prototipe, maka di Indonesia, Islamlah yang merupakan prototipe: yang layak dikategorikan agama adalah yang memiliki ajaran monoteisme, nabi, dan kitab suci.

Cara pandang dominan yang melandasi wacana keagamaan dari paradigma agama dunia telah  mendikte mana “agama yang benar” dan “yang salah”, “yang layak” dan “yang tidak layak” Terlepas dari kompleksitas dinamika kehidupan dan perkembangan diskusi keagamaan, paradigma agama tampak kental hingga sekarang dalam berbagai kebijakan politik, dalam pendidikan agama, dan juga dalam relasi sosial keagamaan (Abidin Bagir, 2015).

Berdasarkan paradigma agama dunia tersebut, hanya enam agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu yang dianggap sebagai “valid”, dan selainnya, seperti aliran kepercayaan dan agama lokal dianggap “invalid” atau bahkan “sesat”. Wacana publik pun demikian didominasi oleh paradigma tersebut. Penolakan publik terhadap selain dari enam agama yang diakui negara masih terus mewarnai sejarah relasi sosial keagamaan di negeri ini, termasuk bahkan yang bentuknya kekerasan fisik karena klaim sesat.

Masih terkait dengan itu, paradigma agama semakin dikentalkan dalam pendidikan agama. Materi pelajaran terbatas pada enam agama tersebut, dan aliran kepercayaan serta agama lokal seringkali direpresentasikan dengan berbagai terminologi negatif, seperti animisme dan dinamisme, yang konotasinya negatif dan invalid. (Maarif  2005, 25).

Orde Baru menggunakan “agama” sebagai ideologi negara dan sekaligus sebagai counter ideology terhadap komunisme. Agama didefinisikan secara ketatagar dapat digunakan secara efektif untuk menyingkirkan ideologi komunisme. Setiap warga negara kemudian diwajibkan berafiliasi ke salah satu agama dunia yang diakui negara berdasarkan paradigma tersebut. Yang menolak berafiliasi dianggap pendukung komunisme, dan akibatnya dianggap melawan negara. Sejak tahun 1965 hingga 1970an, dengan wacana penyingkiran ideologi komunisme, konversi besar-besaran warga negara ke salah satu agama yang diakui terjadi. Paradigma agama tersebut dituangkan dalam Undang-undang PNPS No. 1 Tahun 1965, yang tetap dipertahankan hingga sekarang.

Konteks Indonesia, paradigma agama dunia telah menempatkan agama lokal sebagai agama yang memiliki ajaran dan praktik kolot, animis, dinamis, dan berbagai terminologi pejoratif lainnya. Oleh karena pengaruhnya yang menjangkau hingga pada kebijakan politik, praktik agama lokal seringkali dijelaskan sebagai praktik kolot yang harus dimodernkan, praktik syirik yang harus ditinggalkan, praktik kafir yang harus dibasmi, dan seterusnya.

Lebih lanjut, dalam konteks pembahasan agama dengan paradigma tersebut, praktik-praktik agama lokal juga sering dikonsepkan sebagai “budaya” dan bukan agama. “Budaya” dipahami sebagai sesuatu yang “profan” berbeda dengan agama sebagai sesuatu yang “sakral”. Pengaruh paradigma agama ini, sekali lagi, sangat hegemonik, bahkan kepada mereka yang tetap setia pada agama lokalnya.

Persoalan-persoalan yang digambarkan di atas menunjukkan pentingnya mengkaji lebih dalam lagi paradigma agama dunia. Penting untuk ditegaskan bahwa persoalan paradigma agama dunia terletak pada “cara pandang” sarjana memahami dan menjelaskan apa yang dapat dikategorikan sebagai agama-agama dunia. Persoalan tersebut bukanlah pada agama-agama dunia seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, dan lain-lain, atau bagaimana penganut agama-agama tersebut menjelaskan dan merepresentasikan dirinya. Bahwa faktor politiklah yang mendominasi konstruksi paradigma agama dunia, dan akibatnya muncul misrepresentasi agama lokal, dan bahkan yang dikategorikan agama dunia itu sendiri.

Di Indonesia saat ini, politik sangat berpengaruh terhadap wacana agama dan adat.  Agama dikonstruksi oleh kuasa yang dominan semisal negara, kelompok-kelompok agama arus utama. Di sisi lain hak asasi manusia untuk memilih dan memeluk agama dijamin oleh undang-undang dasar 1945 yang akibatnya berimbas pada agama lokal yang tidak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.

Ikuti tulisan menarik IIP RIFAI lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler