x

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama bersiap menandatangani sejumlah MoU di Balai Kota, Jakarta, 27 Oktober 2016. Mulai besok Ahok memasuki masa cuti panjang untuk mengikuti kampanye. ANTARA/Hafidz Mubarak A.

Iklan

andi putra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kembali ke Korupsi & Pelanggaran Hukum Ahok, Bukan Soal SARA

AHOK pidato di Kepulauan Seribu beriringan dengan rencana KPK buka dugaan korupsi dan dana Off Budget DKI Jakarta

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Yang saya soroti, kontribusi tambahan itu seharusnya tidak digunakan begitu saja, mesti masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dulu”

Agus Raharjo, Ketua KPK

(Tempo, 27 September 2016)

 

Ada pertanyaan yang mengusik selama beberapa hari ini. Kenapa isu SARA kembali dihembuskan dipermukaan. Tak sedikit diantara kita juga merasa kawatir dan takut situasi menjadi tidak terkendali. Tetapi kita bersyukur, presiden cukup sigap memberikan penanganan terhadap isu ini. Kita perlu beri apresiasi.

Dari mana sesungguhnya isu SARA ini bermula? Mungkin kita hanya bisa menduga-duga.

Kita tidak tahu siapa yang memiliki ide untuk mendorong isu ini. Padahal publik sangat paham dan merasakan betul resiko yang akan terjadi ketika isu ini mulai masuk ranah publik. Apalagi dalam keadaan tensi sosial politik sedang meningkat pada momentum pilkada. Dan menjadi sulit terbentung di era berkembangnya sosial media.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita tentu tidak bisa menemukan secara pasti siapa sebenarnya yang memiliki ide ini. Tapi jika kita kembali membuka-buka kembali isu SARA yang berkembang di Pilkada DKI Jakarta ini, bermula dari kemunculan video kunjungan Gubernur DKI Jakarta yang menyinggung Surat Al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.

Entah apa motifasi dan siapa yang mendorong sang Gubernur ini angkat isu Surat Al Maidah di Kepulauan Seribu, 27 September 2016, itu. Padahal jika kita melihat berbagai pemberitaan di media massa, elektabilitas sang Gubernur Petahana saat itu masih paling unggul dibandingnya calon-calon lainnya.

Ada sebagian yang diantara kita menduga, jangan-jangan isu SARA ini hanya pengalihan isu atas rencana KPK untuk mendalami kembali kasus hukum yang berpotensi kuat menyeret sang calon petahana?

Bisa iya, bisa tidak. Mungkin kita perlu menyusun kronik kejadiannya. Karena dalam waktu bersamaan dengan pidato sang Petahana di Kepulauan Seribu pada 27 Seotember 2016 itu memang bertepatan dengan adanya publikasi wawancara Tempo kepada ketua KPK Agus Raharjo tentang Diskresi sang Petahana dan Kontribusi Tambahan dari proyek Reklamasi yang tidak masuk dalam APBD.

Dalam wawancara tersebut, Ketua KPK Ags Raharjo menyampaikan bahwa

“Kita juga harus melihat syarat diskresi. Pertama, ada aturan. Lalu, ada situasi yang memungkinkan hal yang tidak sesuai aturan itu. Contoh sederhana, pengendara berhenti di lampu merah. Tapi, karena lalu lintas macet, polisi bisa mengeluarkan diskresi, boleh jalan meski lampu merah. Jadi, jangan langsung bilang diskresi tidak bisa dipidanakan. Lihat situasinya apa. Bagi saya, harus situasi force majeure atau overmacht (keadaan memaksa). Kalau tidak, ya, jalankan kebijakan menurut aturan.”

Nah dalam konteks ini, sebenarnya diskresi sang Petahana tidak memiliki syarat situasi force majeure (keadaan memaksa). Karena kalau kita lihat APBD DKI Jakarta nilai sangatlah besar dan serapannya juga sangat minim.

Sementara Bagaimana tanggapan KPK soal kontribusi tambahan?

Saya telusuri cara kompensasi seperti itu benar atau tidak. Sepanjang pengetahuan saya, off budget di luar APBN dan APBD itu sangat dilarang. Sistem kita mewajibkan dana yang masuk APBN dan APBD itu dikelola secara transparan, lelang secara umum, harga diketahui orang. Kami ingin tahu soal pembangunan rumah susun di Kalijodo. Apa kebutuhannya. Proses belanja transparan tidak. Ini seperti penunjukan langsung. Yang pasti belum akan kami hentikan, seperti yang sudah saya katakan tentang kasus pembelian Rumah Sakit Sumber Waras.

Nah, jangan-jangan hanya karena ingin menyalamatkan diri dari kemungkinan untut berurusan dengan lembaga pemberantasan korupsi tersebut, sang petahana kemudian dibisiki untuk bermain-main dengan Surat Al Maidah?

Sekarang keadaan sudah menjadi rumit. Tidak salah jika kemudian lembaga penegak hukum untuk segera memberikan langkah-langkah untuk memperjelas berbagai fakta pelanggaran hukum, korupsi, off budget, diskresi yang dilakukan oleh sang calon gubernur petahana.  

Sekali lagi, kita apresiasi langkah presiden Jokowi melakukan silaturahmi dengan tokoh-tokoh dan para ulama untuk mendinginkan keadaan. Dan kita berharap kepada cyber crime Polri untuk segera melakukan tindakan penangkalan dari akun-akun sosial media yang menyebarkan pesan-pesan provokasi kepada publik. Karena tak dapat dipungkiri, twit atau pesan-pesan yang disampaikan oleh akun-akun tersebut memuat fitnah yang sangat keji. Dan itu juga berasal dari akun-akun buzzer pendukung sang petahana. 

Ikuti tulisan menarik andi putra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB