x

Presiden Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri (tengah), Mendikbud Muhajir Effendy (kanan), Direktur UNESCO Jakarta Shahbaz Khan (kedua dari kanan) saat pembukaan World Culture Forum 2016 di Nusa Dua, Bali, 13 Oktober 2016. Forum yang digelar oleh

Iklan

Wendie Razif Soetikno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Halo Mendikbud, ke Mana Kita Akan Melangkah?

Revisi Kurikulum2013 masih menyisakan sejumlah persoalan didaktik pedagogik,tapi penerapannya terus dipaksakan.Lupa bahwa kita sudah masuki era globalisasi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

        Penerapan Kurikulum 2013 sesungguhnya mengubah seluruh paradigma kita tentang pendidikan, dari tut wuri handayani (memberdayakan dari belakang) menjadi tut wuri hanggondeli (membelenggu dari belakang).  Kenapa ?  Karena Kurikulum 2013 yang bersandarkan pada azas hegemoni pemerintah sebagaimana ditunjukkan dalam Pasal 77 P ayat 2 dan Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 itu telah mengkooptasi seluruh kegiatan belajar-mengajar (KBM) di kelas.  Rinciannya adalah :

a. Pasal 77 P ayat 2 butir (a) PP No.32 Tahun 2013 (Pemerintah berwenang menyiapkan , menyusun dan mengevaluasi dokumen kurikulum SETIAP SATUAN PENDIDIKAN) yang menabrak langsung azas diversifikasi kurikulum yang diusung Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas dan azas relevansi kurikulum yang diusung Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas

b. Pasal 77 P ayat 2 butir (b) PP No.32 Tahun 2013 (Pemerintah berwenang menyiapkan, menyusun dan mengevaluasi dokumen kurikulum SETIAP MATA PELAJARAN) yang menabrak langsung azas profesionalitas guru yang diusung Pasal 39 ayat 2 UU Sisdiknas dan Pasal 20 butir (a) UU Guru dan Dosen

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

c. Pasal 77 P ayat 2 butir (a) , (b), lihat di atas dan butir  (d) serta butir (e) : (Pemerintah berwenang meyiapkan, menyusun dan mengevaluasi buku teks pelajaran dan buku panduan guru) menabrak langsung tugas pemerintah dalam kurikulum yang dieksplisitkan dalam Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas : Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum ditetapkan pemerintah (tidak merambah kemana-mana sampai ke Silabus. Metode pembelajaran dan buku)

d. Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 (guru hanya menyusun persiapan mengajar (RPP) tidak perlu lagi menyusun Silabus, menabrak Pasal 14 ayat 1 butir (i) UU Guru dan Dosen (guru memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan ), guru bukan hanya penyusun RPP

e.Hal-hal di atas nampak jelas pada beberapa kali perubahan penilaian (evaluasi), yaitu Permendikbud No.66 Tahun 2013, yang diubah menjadi Lampiran IV Permendikbud No.81 A Tahun 2013, lalu diubah lagi menjadi Permendikbud No.104 Tahun 2014, dan selanjutnya diubah lagi menjadi Permendikbud No.53 Tahun 2015, yang akhirnya diubah lagi menjadi Permendikbud No.23 Tahun 2016. Dengan kata lain, teori pedagogiknya mudah disusun tetapi cara pencapaiannya tidak terukur

Kooptasi di atas itu disamping menunjukkan otoritas dan hegemoni pemerintah, juga  menjadikan Kemdikbud sebagai konseptor, inisiator, implementor, eksekutor, regulator dan evaluator kurikulum sehingga melanggar prinsip tata kelola yang baik (good governance) yang digariskan dalam Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009.

Isi Pasal 77 P ayat 2 dan Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 di atas itu sesungguhnya bertentangan dengan isi ketentuan :

1. Pasal 77 M ayat 1 PP No.32 Tahun 2013 : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. 

Artinya :

(a) Kurikulum 2013 = KTSP.  Jadi tidak ada kurikulum baru atau sejatinya, pemerintah SBY tidak berniat mengganti Kurikulum 2006 (KTSP Awal) karena baik Kurikulum 2013 maupun Kurikulum 2006 adalah bikinan rezim SBY.  Kurikulum 2013 dengan dasar hukum PP No.32 Tahun 2013 ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 7 Mei 2013, sedangkan Kurikulum 2006 dengan dasar hukum PP No.19 Tahun 2005 ditanda tangani oleh presiden SBY tanggal 16 Mei 2005

(b) Kurikulum itu disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing sekolah (ada pengakuan atas otonomi guru) Jadi seharusnya tidak ada kurikulum tunggal dan seragam secara nasional, sesuai arahan azas diversifikasi kurikulum pada Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas dan azas relevansi kurikulum pada Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas, serta Pasal 17 ayat 1 PP No.19 Tahun 2005 (KTSP dikembangkan sesuai dengan sekolahnya, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan siswa )

(c) Kurikulum setiap sekolah akan berbeda sesuai dengan visi dan misi masing-masing sekolah.  Jadi kurikulum itu harus kontekstual sesuai dengan amanat Pasal 60 ayat i PP No.19 Tahun 2005. Hal ini sejalan dengan pola pembelajaran kontekstual : CTL (Contextual Teaching Learning) dalam Standar Proses Kurikulum 2006 yang sudah diajarkan di FKIP/PGSD atau diacu dalam akreditasi sekolah.

2. Pasal 77 M ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 : Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan

      Artinya :

(a) ada pengakuan atas otonomi sekolah.  Jadi kurikulum tidak ada kaitannya dengan arahan Dinas Pendidikan atau Pengawas.  Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 4 ayat 1 UU Sisdiknas : Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dengan menjunjung tinggi nilai kultural dan kemajemukan bangsa (tidak ada kurikulum tunggal dan seragam secara nasional)

Karena kewajiban pemerintah dalam dunia pendidikan sudah dirumuskan dalam Pasal 38 ayat 1 : pemerintah hanya menyusun Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum (tidak merambah kemana-mana seperti yang sudah lama dipraktekkan dalam Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 2004, Kurikulum 2006) dan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas : pengelolaan sekolah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal (SPM) dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS)

(b) Jadi kewajiban pemerintah dalam dunia pendidikan ada tiga yaitu :

     (i) merumuskan Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum

           Hal ini yang belum dilakukan karena Kemdikbud

- mengintegrasikan mata pelajaran IPA ke mata pelajaran lain di jenjang SD  (melanggar ketentuan Pasal 37 ayat 1 UU Sisdiknas),

- menghapus mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) di semua jenjang pendidikan, sehingga “literasi digital” menjadi utopia di tengah upaya Kominfo menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang melek internet melalui Program “Palapa Ring” dan upaya PT Telkom menjadikan sekolah sebagai bagian integral dari Indonesia Digital Learning

-  menghapus keunggulan lokal (menghapus Pasal 14 ayat 1 PP No.19 Tahun 2005 karena di PP No.32 Tahun 2013 : pasal 6 sampai pasal 18 dihapus)

- menghapus muatan lokal (menghapus Pasal 7 ayat 3 sampai ayat 8 PP No.19 Tahun 2005 karena di PP No.32 Tahun 2013 : pasal 6 sampai Pasal 18 dihapus)

- menghapus budaya membaca dan menulis (menghapus Pasal 21 ayat 2 dan Pasal 25 ayat 3 PP No.19 Tahun 2005 (seluruh Pasal 21 tidak tercantum lagi di PP No.32 Tahun 2013 dan ketentuan Pasal 25 ayat 3 dihapus dalam PP No.32 Tahun 2013)

- yang lebih penting, Kompetensi Inti tidak mengacu pada ketentuan internasional.  Kalau melihat jumlah Kompetensi Inti hanya 4, maka seharusnya Kompetensi Inti ini mengacu pada SEIP Intelligence, sehingga Kompetensi Inti 1 (sikap spiritual) dapat diukur menggunakan SQ (Spiritual Quotient).  Tetapi kalau melihat arti kata “Kompetensi Inti” atau Core Skills , maka seharusnya Kompetensi Inti itu mengacu pada The 21st Century Learning, sehingga Kompetensi Inti 2 (sikap sosial) dapat dikukur dengan Core Skills keempat : Menjadi Warga Negara yang baik, melalui CQ (Civic Quotient) dan Kemdikbud tidak seharusnya menghapus mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) dari semua jenjang pendidikan karena mengacu pada Core Skills yang kelima yaitu : “literasi digital” sehingga siswa tidak gaptek dan hanya konsumen di era digital dan aplikasi online ini.

Mengingat karut marut soal Kompetensi Inti, maka British Council kemudian mengadakan pelatihan guru dan kepala sekolah untuk memahami hakekat Kompetensi Inti (Core Skills) : https://www.britishcouncil.id/events/core-skills-introductory-course-jakarta

(ii). Merumuskan standar pelayanan minimal (SPM)

        Hal ini juga belum dirumuskan oleh Kemdikbud sehingga batasan siswa yang lolos kriteria ketuntasan minimal (KKM) menjadi tidak jelas. Batasan siswa yang tuntas adalah capaian nilai, bukan pada penguasaan materi minimal.  Maka siswa yang tidak mencapai prasyarat nilai minimal di bidang matematika langsung dicap bodoh, padahal mungkin saja bakat dan minatnya di bidang musik. Siswa ini akan diremedial terus menerus sampai mencapai nilai tuntas (yang tidak akan mungkin dicapai karena standarnya diperlakukan sama dengan siswa yang berbakat di bidang matematika).  Akibatnya siswa makin tidak suka akan matematika, sementara bakat musiknya menjadi hilang.

(iii). Merumuskan manajemen berbasis sekolah (MBS)

               MBS yang sudah dirumuskan dengan baik dalam Permendiknas No.19 Tahun 2007 yang terdiri dari 3 (tiga) dokumen yaitu :

- Dokumen I tentang 5 bidang yang harus dibenahi dalam upaya meningkatkan mutu   manajemen persekolahan yang dilengkapi dengan rincian tugas yang harus diemban oleh guru penanggung jawab tiap bidang. 

- Dokumen II tentang penilaian proses dan evaluasi capaian tugas yang diemban sehingga kinerja sekolah dapat dirumuskan dengan baik.

- Dokumen III tentang audit kinerja sekolah dan audit kinerja tenaga kependidikan

Keterpenuhan dokumen-dokumen ini memungkinkan sekolah memperoleh sertifikasi sistim manajemen internasional melalui sertifikat ISO 9001 : 2008

Sayang sekali, Permendiknas No.19 Tahun 2007 tentang manajemen berbasis sekolah (MBS) yang sesungguhnya mengusung semangat otonomi pendidikan ini diganti menjadi manajemen berbasis pengawas yang menunjukkan hegemoni dan kooptasi pemerintah melalui Lampiran Bab VI No. 2 b Permendikbud No.65 Tahun 2013 dimana Pengawas Sekolah melakukan supervisi manajerial, Pengawas Mata Pelajaran melakukan supervisi akademik, dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) hanya melakukan pengawasan administratif (pengawasan evaluasi diri sekolah (EDS)

Kesalahan kontruksi pendidikan dalam Kurikulum 2013 ini membuat Mendikbud Anies Baswedan bingung : http://bali.tribunnews.com/2015/11/14/siswa-mengeluh-bingung-kurikulum-2013-menteri-aries-sama-saya-juga-bingung

Dengan demikian Kementerian Pendidikan telah bermetaformosa menjadi Kementerian Persekolahan dan Dinas Pendidikan telah berubah menjadi Dinas Persekolahan.  Hal–hal yang lebih filosofis dan visioner terlupakan, seperti antisipasi menghadapi globalisasi dan liberalisasi pendidikan yang sudah dicanangkan melalui PP No.77 Tahun 2007 (dunia pendidikan terbuka bagi penanaman modal asing (PMA) atau antisipasi menghadapi MEA 2015 dan APEC 2020 (kita tidak kunjung mengadopsi The 21st Century Learning yang dibicarakan dalam Pertemuan ke-6 SEAMEO di Bandung tanggal 23-25 April 2016 lalu).

Kurikulum 2013 juga mengandung begitu banyak pertentangan antar pasal pada dasar hukumnya sendiri hingga tidak memungkinkan diimplementasikan.  Kontradiksi itu muncul pada :

1. Pasal 2 A PP No.32 Tahun 2013 bertentangan dengan Pasal 25 PP No.32 Tahun 2013

2. Pasal 20 PP No.32 Tahun 2013 bertentangan dengan Pasal 77 F PP No.32 Tahun 2013

3. Pasal 77 P ayat 2 PP No.32 Tahun 2013 bertentangan dengan Pasal 77 M ayat 1 dan ayat 3 PP No.32 Tahun 2013

4. Lampiran Permendikbud No.64 Tahun 2013 Bab II tentang SOLO Taxonomy bertentangan dengan Pasal 5 ayat 3 PP No.32 Tahun 2013

Permendikbud No.64 Tahun 2013 ini dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi dalam Permendikbud No.21 Tahun 2016, tapi anehnya Lampiran Bab II Permendikbud No.21 Tahun 2016 masih mencantumkan SOLO Taxonomy

5. Pelatihan guru secara masif dan massal dalam rangka pemaksaan pengetrapan Kurikulum 2013 yang menghasilkan kurikulum tunggal dan seragam secara nasional, tidak sejalan dengan Pasal 5 ayat 2 PP No.32 Tahun 2013 : “ruang lingkup materi berlaku untuk sekolah”, artinya ruang lingkup materi tidak diberlakukan secara nasional

Untuk lebih lengkapnya, dapat dilihat di buku KELIRUMOLOGI KURIKULUM : http://www.slideshare.net/flatburger/kelirumologi-kurikulum-indonesia

Mengingat begitu banyaknya pasal-pasal kontradiktif dalam dasar hukum Kurikulum 2013, apalagi dalam akreditasi sekolah : para asesor tetap mengacu pada Kurikulum 2006 atau KTSP awal (bukan Kurikulum 2013), maka akhirnya Kurikulum 2013 yang kontroversial direvisi melalui Permendikbud No.20 – No.24 Tahun 2016 tanpa mengubah isi cantolannya yaitu PP No.32 Tahun 2013.

Oleh karena itu Revisi Kurikulum 2013 masih menunjukkan adanya hegemoni dan kooptasi pemerintah dalam dunia pengajaran karena masih berpegang pada PP No.32 Tahun 2013 sebagaimana disebutkan dalam :

a. Struktur kurikulum di jenjang SD pada Revisi Kurikulum 2013 tetap tidak mengakomodasi Pasal 37 ayat 1 UU Sisdiknas : “kurikulum wajib memuat IPA dan muatan lokal”

b. Penghapusan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di semua jenjang pendidikan tidak sejalan dengan isi Lampiran Bab I No.13 Permendikbud No.22 Tahun 2016 : “Pemanfaatan TIK untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran”, dan Lampiran Bab II A No.3 h : “penerapan TIK secara sistematis dan efektif”, serta pemenuhan Core Skills dari 21st Century Learning, yaitu Core Skills yang kelima : “literasi digital”.  Penghapusan ini juga tidak sinkron dengan tujuan proyek “Palapa Ring” yaitu “menuju masyarakat informasi Indonesia” dari Kominfo dan  “Indonesia Digital Learning (IDL)” yang digagas oleh PT Telkom.

c. Lampiran Permendikbud No.21 Tahun 2016 Bab III tentang Ruang Lingkup Materi yang berlaku nasional, tidak sejalan dengan Pasal 5 ayat 2 PP No.32 Tahun 2013 : “ruang lingkup materi berlaku untuk sekolah”, artinya ruang lingkup materi tidak diberlakukan secara nasional

d. Permendikbud No.23 Tahun 2016 tentang sistim penilaian tetap tidak mengakomodasi sistim penilaian dalam sistim kredit semester (SKS) sebagaimana digariskan melalui ketentuan Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014.  Permendikbud No.23 Tahun 2016 ini bertentangan dengan Lampiran IV Permendikbud No.81 A Tahun 2013 yang merumuskan pola perhitungan Indeks Prestasi (IP) dalam rapor.

 e. Pasal 1 ayat 1 Permendikbud No.20 Tahun 2016, yang ternyata isinya persis sama dengan Pasal 2 A PP No.32 Tahun 2013 : “Standar kompetensi lulusan (SKL) digunakan sebagai acuan utama standar nasional pendidikan (SNP)”.  Ketentuan ini bertentangan dengan isi Pasal 25 ayat 1 PP No.32 Tahun 2013 yang menyatakan bahwa “standar kompetensi lulusan (SKL) hanya digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan”. 

SKL tidak merambah kemana-mana, tidak sampai menjadi acuan utama 8 pilar Standar Nasional Pendidikan (SNP). SKL hanyalah bagian kecil dari Standar Penilaian Pendidikan (hanya salah satu 8 pilar pendidikan (SNP).  Pergeseran makna dari SNP dimana kurikulum itu mencakup standar isi, standar proses dan standar kompetensi lulusan (SKL), yang diubah menjadi SKL yang mencakup 8 pilar pendidikan (SNP), dapat  diartikan sebagai mengubah rezim standar (follow the standard) menjadi rezim Ujian Nasional (yang berpatokan pada SKL).

Hal ini nampak pada Lampiran Bab II Permendikbud No.20 Tahun 2016 yang mencantumkan kompetensi lulusan SD-SMP-SMA/SMK, yang diperkuat dengan pelegalan Ujian Nasional melalui ketentuan Bab III Pasal 4 ayat 3, Bab V Pasal 8 ayat 1, dan Bab VI Pasal 11 Permendikbud No.23 Tahun 2016.

   Padahal kredibilitas penyelenggaraan Ujian Nasional selalu dipertanyakan, sejak adanya putusan inckracht (putusan kasasi yang final dan mengikat) Mahkamah Agung (MA) No. 2596 K/PDT/2008 yang meminta pemerintah membatalkan Ujian Nasional sampai sarana dan prasarana sekolah terpenuhi dan kompetensi guru ditingkatkan.

Apalagi sejak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat  mengeluarkan aanmaning (teguran) kepada Mendikbud M. Nuh karena dianggap melalaikan putusan final kasasi MA terkait Ujian Nasional.  Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memanggil Mendikbud untuk mendengarkan aanmaning pada hari Rabu tanggal 10 April 2012, namun Mendikbud M. Nuh tetap bersikukuh untuk menyelenggarakan Ujian Nasional.  

Mendikbud Anies Baswedan yang diharapkan akan memenuhi putusan MA di atas, ternyata terjebak dalam proyek pelestarian Ujian Nasional.

   Hal ini berlanjut ke Ujian Nasional SD yang sebenarnya sudah dihapus sejak jaman Mendikbud M.Nuh, karena penghapusan UN SD itu telah diamanatkan dalam Pasal 70 ayat 1 PP No.32 Tahun 2013 dan penghapusan Ujian Persamaan SD (Paket A) telah diamanatkan dalam Pasal 70 ayat 2 PP No.32 Tahun 2013, namun anehnya Ujian Nasional SD ini dihidupkan kembali oleh Mendikbud Anies Baswedan dengan “baju baru” yaitu Ujian Utama SD.    

Nampak bahwa jajaran Kemdikbud mulai melupakan arti dari Wajib Belajar 9 tahun dan lalai bahwa penyelenggaraan Ujian Utama SD itu justru akan memperkecil APK (angka partisipasi kasar) pendidikan lanjutan. 

Maka sesungguhnya Revisi Kurikulum 2013 ini merupakan proyek kurikulum yang belum selesai.  Apa buktinya?  Revisi Kurikulum 2013 ini perlu ditabal dengan dua proyek baru yaitu :

1. Proyek Literasi Sekolah. Pembudayaan literasi sebenarnya wajib dilaksanakan dalam Kurikulum 2006 karena diamanatkan dalam ketentuan Pasal 21 ayat 2 PP No.19 Tahun 2005 : “Pelaksanaan proses pembelajaran dilakukan dengan mengembangkan budaya membaca dan menulis”, yang diperkuat dengan ketentuan Pasal 25 ayat 3 PP No.19 Tahun 2005 : “Kompetensi lulusan untuk mata pelajaran bahasa menekankan pada kemampuan membaca dan menulis yang sesuai dengan jenjang pendidikan”.  

Dengan demikian, pembudayaan literasi ini merupakan proses pengembangan kemampuan berpikir abstrak yang terintegrasi dalam kurikulum dan terukur, dimana Kompetensi Dasar dan Indikatornya sudah merinci pembuatan ringkasan (resume) dari apa yang dibaca siswa, bahkan memberi ulasan (review) dan timbangan buku (resensi), serta terlatih membuat karya tulis (esai).  

Hanya sayangnya kedua pasal penting ini dihapus dalam Kurikulum 2013 (tidak tercantum lagi dalam PP No.32 Tahun 2013), artinya budaya literasi ini sudah tidak tercantum lagi dalam Kompetensi Dasar dan Indikator di Kurikulum 2013 dan revisinya. 

Tapi anehnya pada tanggal 18 Agustus 2015, Mendikbud malahan meluncurkan Program Literasi Sekolah : “Bahasa Penumbuh Budi Pekerti” lewat Permendikbud No.23 Tahun 2015.   Nafas proyeknya langsung terlihat jelas.

Pertama, Permendikbud itu tidak mempunyai cantolan PP, hingga sukar diintegrasikan dalam Kurikulum 2013 dan revisinya yang sudah terlanjur menghapus budaya literasi (sukar merumuskan kembali Kompetensi Dasar dan Indikator, serta Indikator Keberhasilannya yang sudah terlanjur dihapus itu).  Permendikbud itu hanya akan berhenti sebagai program/proyek literasi, tidak akan beranjak ke budaya literasi, karena program ini berdiri di luar kurikulum, terlepas dari konteks kurikulum.  

Kedua, program ini hanya mewajibkan siswa membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai (tidak ada cukup waktu untuk merefleksikan bahan bacaan “penumbuh budi pekerti” itu) sehingga kosa kata itu menjadi nir makna.  Kemdikbud berkilah, bahwa kewajiban membaca selama 15 menit ini hanya pemancing.  Masalahnya, untuk membuat kewajiban membaca ini menjadi budaya literasi diperlukan pengasahan daya imajinasi dan kemampuan mengolah informasi dari buku, yang tidak bisa dicapai bila tidak ada Indikator Keberhasilannya di Kurikulum 2013 dan revisinya. Program ini bisa menjadi proyek yang tidak terkait dengan esensi materi dan internalisasi nilai. 

Ketiga, pembagian jutaan buku (bukan e-book) ke sekolah-sekolah dimana guru dan muridnya sudah terbiasa menggunakan gawai, akan menjadikan perpustakaan sebagai gudang buku saja, karena guru dan siswa sudah terbiasa dengan budaya visual, dimana  kemampuan berpikir abstrak kurang terlatih, hingga agak sukar mencerna teks-teks panjang di buku-buku agak tebal tanpa visualisasi obyek.  Oleh sebab itu, diperlukan “jembatan” untuk mengatasi “gap” ini, yaitu menjembatani antara pola pikir linier (satu dimensi imaji) dan pola pikir abstrak (tiga dimensi rekontruksi).  Jembatan itu adalah menggambar prespektif dan proyeksi yang adanya justru di Kurikulum 1975, dimana sains dan matematika masih diajarkan sebagai art, bukan sekedar pengetahuan saja, dimana siswa dilatih menemukan metafisika dalam fisika, poesi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, filosofi dalam administrasi politik dan ekonomi, ketuhanan dalam penalaran, melodi dalam hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari.    Oleh sebab itu, di Kurikulum 1975 masih dimungkinkan untuk belajar Ilmu Bumi Falak (astronomi), Ilmu Ukur Melukis (BM), dll  Sebenarnya, Kurikulum 2006 sudah merevitalisasi Kurikulum 1975 melalui analisis kurikulum dan analisis esensi materi, hanya sayangnya semuanya dihapus dalam Kurikulum 2013.

Menakar ketiga masalah di atas, tentu lebih masuk akal dan lebih hemat anggaran bila Kemdikbud kembali menerapkan Kurikulum 2006 yang sudah mengimplementasikan budaya literasi secara terstruktur (bukan sekedar program literasi yang keberlanjutannya sangat tergantung pada alokasi dana proyek). 

Maka agak aneh kalau Mendikbud Anies Baswedan pada pernyataannya tanggal 30 Desember 2015 lalu, menegaskan bahwa Kemdikbud tidak akan menggunakan Kurikulum 2006, lupa pada Surat Edaran Mendikbud No. 179342/MPK/KR/2014 yang ditanda tangani oleh Mendikbud Anies Baswedan sendiri tanggal 5 Desember 2014, tentang dimungkinkannya sekolah untuk menerapkan kembali Kurikulum 2006.  Rupanya yang dimaksud adalah meneruskan kembali berbagai proyek (baru). 

Dengan begitu, Program Literasi Sekolah ini adalah program ekliktik, hanya tempelan pada Kurikulum 2013 dan revisinya.  Hal ini nampak dari digelarnya pelatihan guru untuk program literasi sekolah yang terpisah dari pelatihan 761 instruktur nasional Revisi Kurikulum 2013, padahal pelatihan instruktur nasional ini baru dilaksanakan tanggal 20-24 Maret 2016 (7 bulan setelah pencanangan Program Literasi Sekolah). 

Program ini belum juga disinkronkan dengan  Kegiatan Belajar dan Indikator Keberhasilan di Silabus Revisi Kurikulum 2013 hingga tidak termaktub dalam penilaian seturut Permendikbud No.53 Tahun 2015. Oleh sebab itu, agak sukar mengaitkan program ini dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan, seperti yang dituntut dalam Nawa Cita No.5 dan SDGs No.4

2. Proyek berikutnya adalah “Program Guru Pembelajar”.  Proyek ini merupakan duplikasi dari Indonesia Digital Learning yang diselenggarakan oleh PT Telkom dan tidak sinkron dengan Proyek “Palapa Ring” : “menuju masyarakat informasi Indonesia” yang sudah diluncurkan oleh Kominfo karena Kemdikbud justru menghapus mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) di era digital ini pada semua jenjang pendidikan. 

Program Guru Pembelajar ini  tetap menjadikan guru sebagai konsumen berbagai web terpilih, bukan menjadikan guru sebagai pembelajar seumur hidup (a lifelong learner).  Karena Kemdikbud tidak kunjung mengintrodusir Core Skills yang kelima dari “21st Century Learning” yaitu “literasi digital”, malah memberlakukan Kompetensi Inti (KI) yang tidak terkait dengan TIK dan Prakarya yang mencakup pembuatan animasi (pengolahan gambar tangan menjadi gambar bergerak) di semua jenjang pendidikan, hingga Kurikulum 2013 dan revisinya tidak bersesuaian dengan salah satu topik yang dibicarakan dalam Pertemuan Tahun ke-6 SEAMEO yaitu  “digital school” yang sangat memerlukan pengetrapan literasi digital.

Dilain pihak, literasi digital sangat membutuhkan pembelajaran mandiri, sehingga perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat, dapat diikuti dan diaplikasikan secara tepat guna, agar para guru tidak gagap teknologi pada era aplikasi online ini.  Untuk itu diperlukan pengembangan kemampuan untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu (bersikap kritis), lalu melakukan evaluasi dan merefleksikan apa yang sudah dipelajari (menyaring, memilah dan memilih informasi/data primer dan memisahkannya dari informasi pendukung/data sekunder). 

Sayangnya upaya untuk berpikir kritis (critical thinking) ini dicerabut dalam Kurikulum 2013 dan Revisi Kurikulum 2013 melalui pengabaian relevansi kurikulum terhadap kebutuhan lokal, nasional dan global sebagaimana diusung dalam Pasal 38 ayat 2 UU No.20 Tahun 2003 (UU Sisdiknas) yang dijabarkan dalam Pasal 60 ayat i PP No.19 Tahun 2005.  Melalui semangat link and match inilah dapat ditumbuh kembangkan pembelajaran seumur hidup (a lifelong learning). 

Seandainya Program Guru Pembelajar ini diintegrasikan dengan Indonesia Digital Learning dari PT Telkom, maka disamping Kemdikbud dapat menghemat anggaran, Kemdikbud juga terhindar dari memfungsikan diri sebagai inisiator, kreator, impelementor, eksekutor, regulator dan evaluator Kurikulum 2013, yang melanggar prinsip tata kelola yang baik (good governance) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 UU No.25 Tahun 2009, sehingga perubahan dari sekolah regular menjadi sekolah digital sebagaimana diamanatkan dalam pertemuan Forum Tahunan ke-6 SEAMEO di Bandung dapat dimassalkan lebih cepat.

Masih ada lima proyek yang lain, yang dapat disimak pada MEMPROYEKKAN PENDIDIKAN, LAYAKKAH ? : https://indonesiana.tempo.co/read/87402/2016/08/30/soetiknowendierazif/memproyekkan-pendidikan-layakkah

Keberatan pada Revisi Kurikulum 2013 itu ditimbulkan oleh dua masalah teknis didaktik berikut ini :

1. Masalah Kompetensi Inti. Kompetensi Inti Revisi Kurikulum 2013 yang jumlahnya 4 (KI 1 : sikap spiritual, KI 2 : sikap sosial, KI 3 : pengetahuan dan KI 4 : Ketrampilan) tidak mengacu pada SEIP Intelligence sehingga KI 1 : sikap spiritual tidak diukur dengan SQ (Spiritual Quotient), KI 3 : pengetahuan tidak diukur dengan IQ (Intelligence Quotient) dan KI 4 : ketrampilan tidak diukur dengan kemampuan untuk mengeksekusi.

2. Karena Kompetensi Inti Revisi Kurikulum 2013 hanya berjumlah 4, maka jelas tidak mengacu pada Core Skills dari The 21st Century Learningyang jumlahnya 6, yaitu : Core Skills 1 : berpikir kritis dan solutif, Core Skills 2 : kreatif dan imajinatif, Core Skills 3 : kolaborasi dan komunikasi, Core Skills 4 : menjadi warga negara yang baik, Core Skills 5 : literasi digital, Core Skills 6 : kemampuan memimpin.

     Akibatnya Kompetensi Inti 2 : sikap sosial, tidak sesuai dengan Core Skills 4 : menjadi warga negara yang baik, sehingga KI 2 (sikap sosial) tidak diukur dengan CQ (Civic Quotient) dan Revisi Kurikulum 2013 tidak bisa mengajarkan Core Skills 5 : literasi digital, karena mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) tetap dihapus dalam Revisi Kurikulum 2013. Proyek Guru Pembelajar tidak perlu ada bila Kemdikbud mengadopsi Core Skills 5 : literasi digital atau Kemdikbud kembali menerapkan Kurikulum 2006 yang masih mencantumkan mata pelajaran TIK dalam struktur kurikulumnya.

3. Kompetensi Inti 1 dan Kompetensi Inti 2 pada Revisi Kurikulum 2013 itu dinilai dari hasil pengamatan observasi guru yang sifatnya subyektif hingga mengaburkan arti penilaian otentik yang sifatnya obyektif.   Akibatnya, penilaian Kompetensi Inti 1 (sikap spiritual) dan Kompetensi Inti 2 (sikap sosial) dalam Revisi Kurikulum 2013 itu justru bertentangan dengan dasar hukumnya sendiri yaitu Lampiran Bab V Permendikbud No.22 Tahun 2016 yang menekankan penilaian otentik, dan isi Bab IV Pasal 5 ayat b Permendikbud No.23 Tahun 2016 : “prinsip penilaian obyektif, tidak dipengaruhi subyektivitas penilai”.  Dengan kata lain, pendidikan karakter dalam Revisi Kurikulum 2013 gagal diwujudkan.  Apalagi untuk akreditasi sekolah : para asesor tetap mengacu pada Kurikulum 2006 atau KTSP awal, bukan pada Revisi Kurikulum 2013

Kenapa kesalahan pada Kurikulum 2013 ini berlanjut pada Revisi Kurikulum 2013 ?

Karena jajaran birokrat Kemdikbud salah memaknai Pasal 94 b PP No.32 Tahun 2013 dimana tertera “satuan pendidikan wajib menyesuaikan dengan PP ini paling lambat 7 tahun”, yang ditafsir sebagai “semua sekolah wajib menjalankan kurikulum tunggal dan seragam secara nasional, yang dikenal sebagai Kurikulum 2013 paling lambat 7 tahun”.

Padahal ketentuan di atas seharusnya dibaca sebagai wajib menyesuaikan dengan  ketentuan dasar hukum (PP-nya) sendiri paling lambat 7 tahun, yaitu menyesuaikan dengan Pasal 77 M ayat 1 PP No.32 Tahun 2013: (pengakuan atas otonomi guru), dan Pasal 77 M ayat 3 PP No.32 Tahun 2013  (pengakuan atas otonomi sekolah).  Sehingga seharusnya tidak ada kurikulum tunggal dan seragam secara nasional yang bisa menghapus visi dan misi sekolah, yang menyebabkan para guru hanya menjadi robot-robot tukang mengajar, tidak tahu lagi untuk apa dan demi apa dia mengajar, abai akan hak guru untuk menyusun kurikulum dengan standar yang lebih tinggi, sebagaimana digariskan dalam Permendiknas No.24 Tahun 2006. Semuanya menjadi mekanis dan instruksional.

Kesalahan  penafsiran ini berlanjut pada pemaknaan Pasal 4 Permendikbud No.160 Tahun 2014 dimana tertera “satuan pendidikan dasar dan menengah dapat melaksanakan Kurikulum 2006 paling lama sampai dengan tahun pelajaran 2019/2020”, yang ditafsir sebagai “semua sekolah wajib melaksanakan Kurikulum 2013 sebelum tahun pelajaran 2019/2020”. 

Padahal pada tahun ajaran 2019/2020 itu kita akan memasuki APEC 2020, sehingga sekolah-sekolah seharusnya sudah menerapkan kurikulum di atas standar baku yang ditetapkan pemerintah (beyond the standard), harus mampu menyusun modul sampai ke tingkat HOT (higher order of thinking) hingga dapat menerapkan SKS murni seperti digariskan dalam Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014 dan tersertifikasi ISO 9001:2008. 

Artinya, sebelum tahun 2019/2020, sekolah-sekolah kita harus sudah siap go international, dan hal itu hanya dimungkinkan kalau hak untuk menyusun Silabus dikembalikan kepada para guru seperti yang sudah dipraktekkan dalam Kurikulum 2006.   

Jadi kalau tetap menerapkan Revisi Kurikulum 2013 yang ditabal dengan proyek literasi sekolah dan proyek guru pembelajar, memang kita tidak akan kemana-mana. MEA 2015 dan APEC 2020 hanya akan menjadi slogan untuk menghadapi bonus demografi.

Maka pemaksaaan pelaksanaan Revisi Kurikulum 2013 sebagai kurikulum tunggal dan seragam secara nasional yang diperhalus menjadi “ditunjuk sebagai sekolah sasaran” telah mengabaikan hakekat Pasal 8 UU Sisdiknas : “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan” dan melanggar Pasal 26 ayat 3 Deklarasi Universal HAM : “orang tua berhak utama dalam memilih jenis pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka”. 

Orang tua tidak bisa dipaksa (tidak mempunyai pilihan) agar anak-anaknya mengikuti Revisi Kurikulum 2013.  Pemaksaan penerapan Revisi Kurikulum 2013 ini juga melanggar Pasal 27 ayat 1 Deklarasi Universal HAM : “setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan budaya masyarakat dengan bebas untuk mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan”. 

Jadi keinginan masyarakat untuk mengikuti 21st Century Learning dan sekolah digital sebagaimana diamanatkan dalam Pertemuan ke-6 SEAMEO di Bandung, tidak boleh dihalang-halangi dengan menjadikan anaknya sebagai murid dari sekolah sasaran Revisi Kurikulum 2013, sesuai dengan tema dari pertemuan tersebut : “Nobody Left Behind”.

Kesimpulan :

Pendidikan di negara kita telah memasuki fase kritis, bukan saja karena masalah pendidikan telah diubah menjadi sekedar urusan persekolahan, tetapi juga karena kegiatan pendidikan telah diproyekkan demi besaran angka penyerapan anggaran sehingga IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia makin lama makin menurun (Kompas, 2 September 2016 : “Sinyal Tanda Bahaya IPM Indonesia”)

Masalahnya terletak pada penafsiran HLS (Harapan Lama Sekolah) dan APK (Angka Partisipasi Kasar) yang tak kunjung teraplikasikan untuk mengatasi piramida jenjang pendidikan kita (jumlah SD : 148.361, jumlah SMP : 36.425, dan jumlah SMA : 10.765), artinya masih banyak anak yang putus sekolah dan wajib belajar 12 tahun itu hanya berhenti sebagai wacana

Hal ini terjadi karena kita selalu menganggap kurikulum sebagai masalah administrasi sekolah saja, padahal peningkatan kualitas pendidikan selalu bertumpu pada pembenahan kurikulum

Oleh sebab itu kita harus mengkritisi :

1. Revisi Kurikulum 2013 tetap mengandung banyak masalah didaktik-pedagogik, sehingga tidak memungkinkan sekolah untuk mengetrapkan ketentuan Pasal 5 Permendikbud No.158 Tahun 2014 : “Sekolah yang terakreditasi A , dapat menerapkan sistim kredit semester (SKS)” 

Karena untuk menerapkan SKS diperlukan pemahaman mendalam tentang Multiple Intelligence.  Artinya : siswa yang tidak bisa Matematika, bukan berarti bodoh.  Tetapi barangkali bakatnya ada di bidang musik.  Maka siswa tersebut harus dibimbing agar memenuhi persyaratan minimal untuk lolos Matematika (tidak bisa di remedial begitu saja karena minat dan bakatnya memang bukan di bidang Matematika).  Multiple Intelligence ini tidak kunjung diperkenalkan dalam Revisi Kurikulum 2013 sehingga selalu terjadi pengatrolan nilai agar nilai siswa memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) = 75

2. Revisi Kurikulum 2013 hanya berdasarkan peraturan menteri (permendikbud) yaitu Permendikbud No.20-No.24 Tahun 2016, tetapi peraturan pemerintahnya (PP) tidak diubah sehingga yang berlaku adalah ketentuan Pasal 77 M ayat 1 PP No.32 Tahun 2013 (pengakuan atas otonomi guru) dan Pasal 77 M ayat 3 PP No.32 Tahun 2013 (pengakuan atas otonomi sekolah).  Dengan ketentuan ini, tidak dimungkinkan adanya kurikulum tunggal dan seragam secara nasional, sesuai azas diversifikasi kurikulum (pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas) dan azas relevansi kurikulum (Pasal 38 ayat 2 UU Sisdiknas). 

Sehingga jalan termudah dan termurah adalah kembali menerapkan Kurikulum 2006 (KTSP Awal) yang sejak semula mengusung semangat otonomi pendidikan.  Karena tugas pemerintah hanya sebatas menyusun Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum (Pasal 38 ayat 1 UU Sisdiknas) dan menyusun standar pelayanan minimal akademik (SPM akademik) yang berlandaskan prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS) sesuai ketentuan Pasal 51 ayat 1 UU Sisdiknas dan Permendiknas No.19 Tahun 2007

3.  Kenapa kita harus kembali ke Kurikulum 2006 ? Karena guru bukan saja terlatih menyusun Silabus tetapi juga terbiasa mengembangkannya dengan standar yang lebih tinggi dari yang sudah ditetapkan pemerintah (Permendiknas No.24 Tahun 2006).  Dengan demikian, guru dapat menyusun diktat dan modul yang kontekstual dan berkualitas sebagai bahan pemberlakuan SKS (lihat Standar Proses Kurikulum 2006) agar sekolah-sekolah kita dapat go international di era globalisasi yang sudah dimulai dengan MEA 2015 dan sebentar lagi APEC 2020

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Wendie Razif Soetikno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler