x

Defisit, BPJS Kesehatan Korbankan Aset dan Laba

Iklan

Dwie Susilo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pemerintah Daerah dan Defisit JKN ~ Dwidjo Susilo

Keengganan pemerintah daerah untuk mengintegrasikan Jamkesda ke JKN juga akibat keterbatasan anggaran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Defisit dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang terus meningkat dari tahun ke tahun mendorong pemerintah pusat berencana membagi tanggung jawab dengan pemerintah daerah. Dalam sebuah rapat terbatas tentang efektivitas belanja pendidikan dan kesehatan pada APBN, beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi meminta dilakukan kajian tentang cara terbaik untuk menekan defisit BPJS Kesehatan. Salah satu opsi yang diusulkan adalah mengajak pemerintah daerah menanggung selisih antara penerimaan iuran dan pengeluaran BPJS Kesehatan.

Menurut laporan BPJS Kesehatan, dana jaminan sosial bidang kesehatan yang digunakan dalam penyelenggaraan JKN mengalami defisit sebesar Rp 4,35 triliun pada 2014 dan Rp 5,74 triliun pada 2015. Pada akhir 2016, defisit dana JKN diperkirakan akan meningkat menjadi Rp 7 triliun. Salah satu penyebab utama peningkatan defisit ini adalah penerimaan iuran yang rendah, sedangkan biaya untuk membayar pelayanan kesehatan semakin tinggi.

Salah satu penyebab rendahnya penerimaan iuran JKN adalah rendahnya besaran iuran yang harus dibayarkan peserta. Besaran iuran yang ditetapkan pemerintah untuk semua kelas, termasuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), masih di bawah perhitungan aktuaria. Meski terjadi kenaikan iuran per 1 April 2016, besaran iuran tersebut masih tetap di bawah perhitungan aktuaria terbaru, sehingga penerimaan iuran dengan tarif baru tersebut masih belum mampu mengatasi defisit dana JKN.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selain itu, banyaknya peserta pekerja bukan penerima upah yang menunggak pembayaran iuran dituding sebagai penyebab defisit. Banyak peserta yang mendaftar menjadi peserta JKN karena memerlukan perawatan medis akibat sakit yang diderita. Setelah sakitnya sembuh, peserta ini tidak lagi membayar iuran.

Keterlibatan pemerintah daerah dalam mengurangi defisit JKN adalah sebuah keniscayaan karena fakta menunjukkan bahwa pemerintah daerah juga memberikan kontribusi terhadap defisit JKN tersebut. Mereka memiliki kewajiban untuk membayar iuran pegawai daerah, selain membayar iuran warga miskin dan hampir miskin yang belum dilindungi APBN melalui APBD. Pantauan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada 2016 menemukan adanya pemerintah daerah yang menunda pembayaran iuran JKN dan beberapa masih menolak menggabungkan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) ke JKN. Padahal, menurut Peta Jalan JKN 2012-2019, seluruh Jamkesda harus sudah terintegrasi dengan JKN pada akhir 2016.

Penundaan pembayaran iuran JKN oleh pemerintah daerah itu disebabkan oleh berbagai hal. Salah satunya adalah keterbatasan anggaran. Keengganan pemerintah daerah untuk mengintegrasikan Jamkesda ke JKN juga akibat keterbatasan anggaran. Mereka menganggap pendanaan Jamkesda lebih murah dibanding membayar iuran JKN. Selain itu, banyak yang merasa rugi jika bergabung dengan JKN karena dana yang sudah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali. Hal itu berbeda dengan Jamkesda; bila dana tahun ini tidak terserap semua, sisa dana masih dapat dipakai untuk tahun depan.

Keterbatasan anggaran itu sebetulnya sudah dapat diatasi dengan memanfaatkan dana pajak rokok. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, seluruh provinsi dan kabupaten/kota berhak mendapatkan dana pajak rokok dengan besaran tarif 10 persen dari cukai rokok. Undang-undang itu juga mengatur bahwa minimal 50 persen penerimaan pajak rokok telah dirancang untuk pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.

Sejak diberlakukan pada 2014, dana pajak rokok telah disalurkan ke seluruh provinsi, baik penghasil maupun bukan penghasil tembakau. Dengan adanya aturan minimal 50 persen untuk kesehatan dan penegakan hukum, tersedia dana sedikitnya Rp 5,9 triliun (2014), Rp 6,95 triliun (2015) dan Rp 7 triliun (2016) yang dapat digunakan pemerintah daerah untuk mendanai program-program terkait dengan pelayanan kesehatan masyarakat. Untuk 2017, dengan adanya kenaikan cukai rokok sebesar 10,54 persen, penerimaan pajak rokok daerah diperkirakan mencapai Rp 14,98 triliun. Dengan demikian, tahun depan tersedia dana minimal Rp 7,49 triliun.

Dana pajak rokok telah tersedia di rekening kas umum daerah (RKUD), tapi belum dapat dimanfaatkan untuk mengatasi defisit JKN jika pemerintah pusat belum mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan pemerintah daerah menggunakan sebagian dana itu untuk membayar iuran JKN. Jika aturan tersebut telah ada, tinggal bagaimana sikap dan kemauan pemerintah daerah untuk memanfaatkannya.

Dwidjo Susilo

Peneliti senior pada Pusat Kajian Jaminan Sosial UI

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 3 November 2016

Ikuti tulisan menarik Dwie Susilo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler