x

Iklan

Subagyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kemenangan Kaum Ekstrimis Liberal

Bukankah presiden dan wakil presiden dan para kepala daerah yang Anda pilih pada umumnya adalah orang-orang yang dipilih oleh partai-partai politik ?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tumbuhnya kaum ekstrimis liberal itu terkait dengan tumbuhnya para korban politik identitas atau pencitraan yang dilakukan oleh para kaki tangan penguasa kapital. Para ekstrimis liberal inilah yang juga merupakan korban politik identitas yang dari segi teori demokrasi sebenarnya tidak masuk akal, tapi ternyata itu terjadi. Dalam demokrasi memang secara aneh muncul para selebriti politik yang dimitoskan "tak punya kesalahan" atau "satu-satunya orang yang paling mampu." Tumbuhnya kaum ekstrimis liberal ini mengimbangi tumbuhnya kaum ekstrimis kanan. Tapi keduanya sama-sama bisa dijadikan alat oleh kekuasaan kapital, baik secara langsung atau secara tak langsung (tanpa mereka menyadarinya).  

Mereka – kaum ekstrimis liberal ini - tersihir oleh slogan pluralisme dan antidiskriminasi dalam makna sempit, yang ternyata membentuk primordialisme baru. Mereka bicara dengan slogan antidiskriminasi, tetapi membutakan mata terhadap diskriminasi ekonomi sosial. Mereka tutup mata terhadap kenyataan bahwa tirani minoritas (para penguasa kapital) itu jauh lebih destruktif (menghancurkan) dibandingkan dengan diskriminasi etnis dan agama sebagai “sikap segelintir orang” yang mampu diselesaikan dengan implementasi pendidikan yang baik dan keadilan sosial.

Kita sudah punya sejarah bhineka tunggal ika yang baik, tetapi kerukunan bisa rusak karena ketidakadilan sosial dan dominasi penguasaan sumber daya alam oleh sekelompok kecil penguasa modal. Juga karena rebutan massa dalam politik perebutan kekuasaan maupun faktor proyek keamanan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Persoalan ketidakadilan sosial inilah yang minim dalam benak kaum ekstrimis liberal ini. Mengapa? Sebab liberalisme memang mengagungkan keadilan individual. Kaum ekstrimis liberalis jarang yang mengurusi isu-isu keadilan sosial seperti penguasaan sumber daya alam dan ekologi, meskipun mereka mengurusi soal-soal hak asasi manusia (HAM) secara terbatas pada hak-hak yang bersifat identitas individual.

Siapa Ekstrimis itu?

Siapakah itu ekstrimis? Ekstrimis adalah orang yang ekstrim. Orang yang melampaui batas kebiasaan hukum dan sebagainya dalam membela atau menuntut sesuatu. Itulah definisi konvensionalnya. Penjajah Belanda menyebut para pejuang kemerdekaan Indonesia sebagai para ekstrimis. Tetapi bangsa Indonesia tentu tidak menyebutnya sebagai ekstrimis, melainkan sebagai pahlawan.

Nah, dengan demikian sebenarnya ekstrimis yang berkonotasi negatif itu tidak selalu bermakna negatif. Para revolusioner yang melawan dominasi atau penjajahan tentu menggunakan cara-cara yang ekstrim, menjebol dan melanggar hukum penjajah.

Lalu siapakah kaum ekstrimis liberal itu? Mari kita tengok sejarah munculnya kaum liberal dan liberalisme.

Mendiang Prof. Satjipto Rahardjo (2009), mengutip Roberto M. Unger dalam Law in Modern Society, menguraikan bahwa munculnya negara hukum (rechtstaat) di Eropa berkaitan dengan  munculnya golongan borjuis yang berjuang merebut satu tempat dalam hukum yang selama itu dimonopoli oleh orde lama, yaitu golongan raja-raja, ningrat dan gereja. Pada waktu itu meski golongan borjuis sedang menanjak tetapi belum mendapatkan tempat dalam orde hukum sehingga mereka berjuang untuk mendapatkan jaminan kemerdekaan dan kepastian. Golongan borjuis akhirnya berhasil memiliki status hukum yang mereka idam-idamkan yang membuahkan asas “kesamaan di hadapan hukum.” Jadi, kaum liberal lahir karena perlawanan kaum borjuis kepada kaum feodal (ningrat dan gereja jaman dahulu).

Negara hukum Eropa yang liberal-individual itu berkembang ke seluruh dunia melalui penjajahan, perdagangan dan lain-lain. Hukum liberal itu merasa tugasnya sudah selesai dengan menciptakan asas nondiskriminasi. Namun timbul problem keadilan yang besar karena masyarakat terdiri dari banyak golongan (tidak sama) dari segi sosial, politik dan ekonomi. Mucullah sindrom “the have not”  yaitu orang-orang yang terpinggirkan dan tidak dapat menikmati pelayanan atau perlindungan hukum karena statusnya yang rendah. Hukum liberal-individual ini telah menyebar ke mana-mana (termasuk ke Indonesia) tetapi tetap membawa karakteristik lokal, yakni karakteristik lokal Eropa. Jadi, di sini terjadi proses universalisasi atau globalisasi nilai-nilai lokal Eropa.

Liberalisme juga menciptakan ajaran pemisahan kekuasaan, yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai Trias Politica. Kant menyatakan bahwa tujuan negara adalah menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya. Rakyat tidak usah tunduk kepada undang-undang yang tidak lebih dulu mendapatkan persetujuan rakyat. Pemerintah dan rakyat sama-sama sebagai subjek hukum. Rakyat hidup dalam suatu negara bukan karena kemurahan hati pemerintah, tetapi karena berdasarkan hak-hak kekuatan sendiri.

Teori Kant ini yang kemudian dijadikan dasar bagi negara-negara Barat selama abad ke-19, di mana tugas negara hanya melindungi kebebasan dan hak pokok manusia secara pasif saja. Teorinya menjadi landasan kenegaraan ekonomi “laissez faire, laissez aller”.

Namun sebenarnya filosofi individualisme Kant juga mempunyai tujuan sosial. Ia mengatakan bahwa apabila individu bertindak menurut kategori imperatif maka juga akan membantu pula perkembangan dan pemuasan keperluan-keperluan anggota-anggota lain dari masyarakat. Namun bagaimana kenyataannya?

Ternyata liberalisme justru tidak seperti yang dibayangkan Kant sebagai liberalisme yang peduli kesenjangan sosial. Liberalisme melahirkan imperialisme terbesar dalam sepanjang sejarah, yang berlanjut dengan neoimperialisme oleh korporasi-korporasi sebagai kekuatan supranasional yang mengalahkan atau menundukkan kekuatan negara-negara di dunia, hingga saat ini. Di Indonesia, sekitar 70 persen lahan dikuasai oleh kekuatan minoritas penguasa kapital yang tidak mencapai 5 persen dari jumlah penduduk Indonesia.

Saya menyebut para neoimperialis itu adalah sebagai para super-ekstrimis, sebab gerakan mereka jauh melampaui prinsip keadilan sosial, yakni menginjak-injakinya. Kalau dalam tatanan negara Pancasila, mereka adalah para pelanggar Pancasila. Sedangkan kaki tangan para super-ekstrimis itu saya sebut sebagai ekstrimis liberal. 

Dalam upaya untuk melanggengkan dominasinya terhadap penguasaan sumber daya, maka kaum super-esktrimis (penguasa kapital) ini menunjuk orang-orang kepercayaannya untuk duduk di pemerintahan negara-negara. Bisa segampang itu? Iya, sebab demokrasi dalam suatu negara mengharuskan lembaga politik, umumnya partai politik yang membutuhkan biaya besar. Melalui organisasi politik inilah maka cengkeraman kekuasaan ditanamkan. Bukankah presiden dan wakil presiden dan para kepala daerah yang Anda pilih pada umumnya adalah orang-orang yang dipilih oleh partai-partai politik dan bukan dari inisiatif rakyat sendiri?

Para super-ekstrimis ini juga membiayai lembaga-lembaga swadya masyarakat (LSM), membeli saham atau menciptakan perusahaan-perusahaan media massa, yang disitulah tercipta para kader militan yang saya sebut kaum ekstrimis liberal itu. Tapi biasanya di situ ada beberapa “pemberontak” juga yang tak sepaham dengan para ekstrimis liberal.

Para penguasa pemerintahan yang menjadi kaki tangan super-ekstrimis itu menjalankan agenda tuannya. Proyek-proyek pembangunan diciptakan dengan menggasak hukum tata ruang yang ada, jika perlu mengubah hukum tata ruang itu, dan persetan dengan pertimbangan keselamatan lingkungan penduduk. Dengan interpretasi hukum imperialis maka dilakukan penggusuran-penggusuran pemukiman penduduk yang lemah untuk kelangsungan proyek-proyek itu, dibantu pasukan polisi dan tentara yang juga menjadi kaki tangan minoritas super-ekstrimis itu, sadar atau tidak sadar. Kesetiaan bukan lagi kepada negara, tetapi kepada tuan majikan negara.

Dengan kekuasaan kapital itu, minoritas (sedikit yang kaya) berhasil menguasai mayoritas, karena mayoritas (obyek) sumber daya alam di genggamannya maka mayoritas penduduk (subyek) bergantung kepada minoritas itu.

Rabun Demokrasi

Para ekstrimis liberal – dalam mendukung tindakan idolanya yang menjadi pimpinan pemerintah - menggunakan dalih hukum agraria, yang sebenarnya mereka sama sekali tidak paham terhadap hukum agraria Pancasila. Mereka menganggap bahwa rakyat yang hidup turun-temurun di tanah-tanah negara adalah para pemukim ilegal. Dengan teori ngawurisme nasional mereka menganalogikan tanah negara itu sama dengan tanah milik tetangganya (mereka mengira negara itu pemilik tanah).

Mereka sama sekali tidak paham bagaimana prinsip-prinsip hukum tentang tanah hak instansi-instansi atau lembaga pemerintah, yang untuk memiliki hak itu instansi pemerintah juga harus terlebih dulu diberikan hak oleh negara. Mereka menganggap semua tanah negara adalah milik pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Lebih tragis lagi, mereka tutup mata ketika warga yang digusur secara arogan itu adalah warga masyarakat yang mempunyai bukti hak kepemilikan tanah yang ditempati.

Kaum ekstrimis liberal itu memahami prinsip keadilan sosial dan demokrasi substansial dengan “asas bantaran kali.”  Asal penduduk itu tinggal di bantaran kali, pasti salah. Jadi tak perlu melihat sejarah dan latar belakangnya. Mereka tak perlu melihat asas-asas hukum demokrasi bahwa pengelolaan lingkungan hidup (termasuk penaatan dan penegakan hukum) harus mengakui aspek pemberdayaan masyarakat (people’s empowerment) melalui berbagai peluang, agar masyarakat mempunyai akses dalam proses pengambilan keputusan pemerintah.

Lebih lucu lagi kaum ekstrimis liberal ini memerankan diri sebagai kaum humanis yang berteori imajinasisme bahwa hidup di rusun itu lebih baik daripada hidup di rumah yang seperti kandang ayam (kaum ekstrimis liberal melihat rumah orang miskin itu sebagai kandang ayam). (Rusun ini juga proyek imperialis dan dikomersiilkan tentunya). Cara pikir mereka adalah materialistik, memandang segala sesuatu dari fisik, rabun dalam memandang nilai-nilai sosial dan budaya yang dianut oleh masyarakat. Mereka sama sekali tidak paham bagaimana prinsip demokrasi partisipatoris dalam hukum penataan ruang. Padahal kaum liberal ini adalah kaum yang seharusnya paham prinsip-prinsip demokrasi substabsial?

Tetapi sesungguhnya dengan menggunakan isu pluralisme, antirasisme, humanitas dan segala tetek-bengek argumen itu, ujung-ujungnya hanyalah untuk justifikasi  dalam jebakan kultus dan mitos bahwa politisi yang didukungnya itulah satu-satunya orang yang bersih dan mampu memimpin. Mereka mengecam kaum ekstrimis kanan, mengecam rival politik idolanya, tapi mereka juga menjadi ekstrimis dan menjadi bagian kelompok politik yang juga antidemokrasi.

Tentu saja prinsip demokrasi tidaklah didasarkan pada teori goyang artisme, mitosisme dan kultusisme (halah kok kebanyakan isme). Dalam demokrasi yang sejati dibutuhkan partisipasi warga masyarakat untuk turut menentukan pembentukan regulasi (regeling), pengambilan keputusan (beschikking) dan tindakan-tindakan pemerintahan (materialedaad) yang dilakukan oleh pemerintahan. Kalau asal tabrak tanpa bermusyawarah dengan warga yang terkena perubahan tata ruang (yang sebenarnya juga tata uang), ya apalagi itu kalau bukan fasis-ekstrimis?

Jika mereka mengidolakan figur, tentu cara pikirnya tidak lagi adil dan tidak demokratis lagi. Justru mereka tidak akan percaya jika figur yang diidolakan itu ternyata melakukan korupsi. “Ah…itu tidak mungkin! Itu rekayasa hukum!” Begitu aktingnya.

Tetapi dengan cara-cara begitulah memang kaum minoritas super-ekstrimis ini memenangi pertarungan hegemoni ekonomi, politik dan sosial di dunia di mana mereka hanyalah sekitar 20 persen dari penduduk dunia yang menguasai sekitar 80 persen pendapatan dunia. Mereka tak mau mengenal pluralisnya kebudayaan, melainkan mau mengenalnya untuk mencari cara guna melakukan pembasmian terhadap semua yang menghalanginya. Doktrin-doktrinnya telah menjadi mitos ilmiah yang mempunyai para penganut yang fanatik dan militan. 

Tapi kaum ekstrimis liberal yang saya jelaskan itu hanya ada di Kutub Utara sono. Kalau di Indonesia ini semuanya serba oke. Nggak ada penggusuran arogan. Nggak ada reklamasi yang ngawur. Nggak ada korupsi. Memang inilah Indonesia yang menjadi teladan, gemah ripah loh jinawi, titi toto tentrem karto raharjo, mulyono, sumini, pertiwi,….. halah….

Ikuti tulisan menarik Subagyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu