x

Ribuan pengunjuk rasa membawa spanduk menuju Balikota dan Istana Merdeka, Jakarta, 4 November 2016. Mereka menuntut Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada pernyataan yang dinilai menghina agama terjadi dalam kunjungannya

Iklan

andi putra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Inisial dan Citra 'BTP' yang Hanya Omdo?

Pejabat pelaksana tugas Gubernur DKI Jakarta yang menhentingkan atau membatalkan 12 proyek yang telah dilelang pemprov DKI dalam APBD 2017.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada 31 Oktober 2016 yang lalu, muncul pemberitaan tentang pejabat pelaksana tugas gubernur DKI Jakarta yang menhentingkan atau membatalkan 12 proyek yang telah dilelang pemprov DKI dalam APBD 2017. Menurut pejabat pelaksana tugas Gubernur DK Jakarta, Soni Sumarsono, penhentian atau pembatalan proyek yang telah dilelang tersebut disebabkan oleh keberadaan dokumen RAPBD dan KUA-PPAS (Kebijakan Umum APBD-Prioritas Plafon Anggaran Sementara) yan masih sepihak. Artinya, proyek yang akan dibiayai olehAPBD sudah berjalan meski belum memperoleh persetujuan dari DPRD.

Selama ini, publik menganggap bahwa Gubernur DKI Jakarta adalah sosok bersih, transparan dan profesional. Tiga kata yang diambil dari inisial sang Gubernur, BTP (Basuki Tjahaja Purnama). Apalagi citra yang dibangun dari inisial BTP ini berhasil ia arahkan sasarannya kepada lembaga legislatif yang dalam penilaian publik cenderung korup. Meskipun begitu, citra lembaga eksekutif juga bukan berarti lebih baik daripada legislatif. Karena faktanya, Kemendagri pernah mengungkapkan bahwa sekian ratus kepala daerah yang masuk bui karena korupsi.

Citra BTP yang bersih, transparan dan profesional sebenarnya memang tidak hanya milik sang pemilik inisial. Karena tata kelola pemerintahan yang bersih merupakan prinsip manajemen pemerintahan yang diperjuangkan oleh gerakan reformasi. Sehingga setiap pejabat publik (legislatif, eksekutif dan yudikatif) yang melanggar prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih, ia harus diadili.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi seorang pejabat publik, memiliki kewajiban untuk melaksanakan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih sebagai berikut : Partisipasi (Participation), Penegakan hukum (rule of law), Transparansi (transparency), Responsif (responsive), Oreintasi kesepakatan (consensus orientation), Kesetaraan (equity), Efektivitas (effectiveness) dan efisiensi (efficiency), Akuntabilitas (accountability) serta Visi strategis (strategic vision).

Diantara prinsip tata kelola pemerintahan bersih yang penting adalah berjalannya fungsi chek and balance antar lembaga negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif). Karena diatara ketiga lembaga tersebut memiliki ototitas yang diatur oleh UU. Meski demikian, ketiga hal tersebut juga sangat butuh adanya dukungan publik yang kritis dan aktif.

Persoalannya adalah bagaimana citra BTP itu benar-benar mewujud ketika ia justru meniadakan peran legislatif?. Padahal pepatah mengatakan “untuk membasmi tikus tidak harus membakar lumbung padi”.

Sementara disisi yang lain, dalam beberapa kasus yang mengemuka di publik, Gubernur BTP ini tak hanya sekali melawan proses hukum yang sedang berjalan. Misal, melawan keputusan Gubernur BTP dalam penggusuran di Bukit Duri meski masih dalam proses sidang gugatan warga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan PTUN Jakarta. Pun demikian dengan yang terjadi dengan penggusuran di Bidara Cina, meski warga telah menang gugatan di PTUN Jakarta.

Itu sebabnya, sekarang publik menjadi bertanya-tanya dengan keputusan pejabat pelaksana tugas gubernur dki jakarta mencoret 12 proyek yang diusulkan oleh BTP. Jangan-jangan apa yang telah dilakukan oleh sang gubernur berinisial BTP terhadap lembaga legislatif atau beberapa anggota legislatif yang lalu adalah upaya kamuflase dan pengalihan objek kesalahan semata. Karena untuk memupuk citra BTP, ia harus membuat sasaran tembak.

Pertanyaan publik semakin menguat ketika memperoleh rapor Akuntabilitas Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta ternyata berada di urutan ke 18 dari 34 Provinsi di seluruh Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada akhir tahun 2015 telah mengeluarkan rapor akuntabilitas pemerintahan DKI Jakarta pada 2015  berada di urutan 18 dengan predikat CC. Dan predikat CC adalah predikat kurang memadai.

Sebab apa rapor akuntabilitas pemerintahan DKI Jakarta menempati urutan 18?

"DKI memang tak pernah mengikuti Peraturan Mendagri dalam menentukan KUA-PPAS, baru saat APBD 2016 penganggarannya dengan cara e-planning atau e-musrenbang," kata sang Gubernur yang mencitrakan dirinya Bersih, Transparan dan Profesional kepada CNN Indonesia saat ditemui di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (15/12).

Nah, kalau demikian, benar dong jika inisial dan citra BTP itu hanya Omdo alias omong doang?!

Ikuti tulisan menarik andi putra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu