x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hatta dan Cendekia yang Terpikat Kekuasaan

Kaum cendekia saat ini menghadapi tantangan untuk bersikap jujur dalam menyatakan kebenaran, bukan terpikat kekuasaan semakin dalam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki.”

--Bung Hatta (1902-1980)

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika terjun ke dunia pergerakan, Bung Karno dan Bung Hatta muda membawa bekal pemahaman tentang masyarakatnya. Pikiran-pikiran mereka, seperti tertuang dalam tulisan yang tersebar di berbagai media masa itu, memperlihatkan bahwa mereka melangkah lebih jauh dari pengertian cendekiawan dalam perspektif Julian Benda.

Sekitar 90 tahun yang lampau, Benda menerbitkan karyanya dalam bahasa Prancis, La Trahison des Clercs. Sambutan yang demikian riuh mendorong Richard Aldington menerjemahkan karya in ke dalam bahasa Inggris, dan terbitlah The Treason of the Intellectuals. Di Indonesia, 70 tahun kemudian, buku ini dipublikasikan dengan judul Pengkhianatan Kaum Cendekiawan.

Esai yang menimbulkan polemik ini berisi pandangan Benda bahwa kaum cendekiawan Eropa abad ke-19 dan 20 kehilangan kemampuan untuk bernalar tanpa melibatkan perasaan ketika berbicara mengenai urusan-urusan politik dan militer. Begitu berbicara tentang isu-isu nasionalisme, rasisme, dan penghasutan perang, mereka jadi apologis. Karena itulah, Benda berpendapat bahwa para cendekiawan haruslah mengabdikan seluruh hidupnya untuk menemukan kebenaran. Tidak usah terlibat dalam politik praktis.

Bung Karno dan Bung Hatta adalah sebagian cendekiawan yang kita miliki pada masa-masa sebelum kemerdekaan. Bagi mereka, tinggal diam tanpa berbuat apapun sementara mereka menyaksikan sendiri penderitaan rakyat di kaki kolonialisme sungguh dosa tak berampun. Karena itulah, berbekal kecendekiaan—hasil pergulatan pemikiran dalam ikhtiar memahami masyarakatnya—mereka terjun ke dunia pergerakan untuk melawan kolonialisme.

Bagi para perintis bangsa ini, kecendekiaan mesti dimanfaatkan untuk membangkitkan kesadaran rakyat, membangun solidaritas, memupuk semangat kebangsaan, dan mencerdaskan dengan pengetahuan. Di tengah masyarakat yang sedang ditindas, terjun ke pergerakan adalah pilihan sadar yang dilandasi oleh tujuan-tujuan mulia tadi—bukan tujuan ingin berkuasa maupun menghimpun kekayaan.

Ketika telah menemukan ‘kebenaran’ dalam konteks masyarakat pada masa itu, mereka tidak mau berhenti hanya dalam tulisan dan analisis. Mereka ingin melangkah lebih jauh dari peran cendekiawan seperti yang dibatasi oleh pengertian Benda. Mereka terjun ke dalam politik praktis dengan memahami politik sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan mulia tadi. Alasan ini yang melandasi pembentukan organisasi kebangsaan maupun partai politik pada masa itu.

Bagi sosok-sosok seperti Bung Karno, Bung Hatta, Maramis, Tjokroaminoto, Tan Malaka, Leimena, Sjahrir, dan banyak lagi, kecendekiaan adalah anugerah yang harus dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan baik kemasyarakatan, bukan untuk memenuhi hasrat-hasrat kekuasaan personal maupun golongan. Mereka jujur di dalam ekspresi politik mereka, mereka jujur dalam menyuarakan kecendekiaan mereka. Di dalam ikhtiar mendorong masyarakatnya memerdekakan diri dari kolonialisme, para cerdik cendekia ini tidak memanipulasi publik—situasi yang sekarang ini sedang kita hadapi.

Ketika politik dan kekuasaan semakin menguarkan pesonanya, banyak kaum cendekia yang terpikat. Apa yang terasa ialah gejala-gejala bahwa sebagian cerdik cendekia mulai memalingkan dirinya dari pengertian Benda tentang cendekia sebagai pencari kebenaran. Gejalanya pula, sebagian cerdik cendekia ini berbeda dengan sosok-sosok cendekia perintis kemerdekaan dalam memandang politik dan kekuasaan.

Bagi para perintis bangsa, politik dan kekuasaan adalah sarana untuk menyejahterakan rakyat. Oleh sebab itu, mereka tidak memanipulasi publik demi kekuasaan. Mereka jujur dalam mengekspresikan kecendekiaan, mereka jujur pula dalam berpolitik, mereka tidak mempermainkan persepsi rakyat demi keuntungan mereka. Tantangan bagi kaum cendekia kita saat ini ialah tetap jujur menjunjung kebenaran sekalipun mereka tengah berada dalam lingkaran kekuasaan maupun saat tidak berada di dalamnya.

Banyak orang memakai cara apapun, termasuk memanipulasi rakyat, untuk meraih tujuan politik dan kekuasaan mereka. Namun, para cendekia semestinya lebih peka dan jujur untuk mengatakan 'cukup' ketika kekuasaan tidak lagi ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan mulia masyarakatnya. Para cendekia semestinya berkata 'tidak' ketika kekuasaan semakin berusaha melindungi dirinya sendiri. (Foto: Sjahrir, Soekarno, dan Hatta) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler