x

Iklan

Subagyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kasus Ahok: Strategi Jokowi Kalah Dengan Taktik Lapindo

Lapindo memang mengadakan acara “halal bihalal” dengan para pemimpinan media massa di Jawa Timur. Maka lancarlah secara jaya aksi Lapindo,

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah demo 4 Nopember 2016 ini situasi makin kurang baik. Di media sosial terjadi pertikaian yang makin sengit, terutama dalam membahas siapa para pelaku kerusuhan dalam aksi tanggal 4 Nopemper itu. Pihak pendukung Ahok memposting foto-foto dan video dengan tuduhan bahwa pelaku kerusuhan dalam aksi tersebut adalah para demonstran muslim, terutama menuduh kelompok HMI meski HMI membantah itu. HMI mengatakan bahwa pelaku kerusuhan itu adalah massa AKBAR (Aliansi Bersama Rakyat) yang massanya bercampur dengan massa HMI.

Selain itu dalam kasus penjarahan di Penjaringan Utara, meskipun Polri mengatakan itu kasus kriminal murni, tetapi ternyata ada yang memposting video yang dengan tuduhan bahwa para demonstran juga terlibat dalam penjarahan itu. Tapi di sisi lain ada juga posting-posting foto-foto provokator yang katanya seorang Katholik dan wartawan Kompas TV.

Nah, soal itu semua kebenarannya mesti harus diselidiki, tidak bisa grusa-grusu disimpulkan. Itu masih berupa kebenaran informatif, belum merupakan kebenaran faktual. Tapi yang jelas informasi-informasi tersebut jelas membuat keadaan makin tidak baik bagi psikologi masyarakat. Harus segera ditanggapi oleh pemerintah dan dilakukan penyelidikan serius.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengapa Pakai Jaket?

Guna mengantisipasi situasi aksi massa muslim 4 Nopember, Jokowi sudah melakukan taktik permulaan yang tepat, yakni sowan ke Hambalang dan sempat naik kuda milik Prabowo. Lobi ini membuat Gerindra bersikap moderat seperti NU dan Muhammadiyah, yakni “tidak menganjurkan” anggota mereka untuk ikut aksi demo. Jika para anggota mereka ikut aksi demo maka tidak diperkenankan membawa bendera organisasi. Lobi kepada Prabowo berlanjut dengan pertemuan Prabowo dengan Presiden PKS, sehingga PKS juga bersikap sama dengan Gerindra.

Setelah itu Jokowi mengundang para ulama MUI, NU dan Muhammadiyah ke istana. Itu juga langkah yang tepat agar para pimpinan organisasi Islam terbesar di Indonesia itu merasa di-orangtua-kan.

Tetapi yang kemudian yang menjadi janggal adalah mengapa Jokowi tidak hadir di hadapan demonstran tanggal 4 Nopember 2016? Meskipun istana sudah menjelaskan terkait kendala teknis kehadiran Jokowi yang akan kesulitan menembus kerumunan para demonstran, tapi itu tak dapat cukup dipercaya, sebab tentu saja helikopter bisa menghadirkan Jokowi di istana.

Saya memperkirakan bahwa ketidakhadirannya di hadapan para demonstran itu bukan kehendak orisinil Jokowi, sebab di masa lalu Jokowi pernah pidato di hadapan para pendukungnya bahwa ia bisa menghadapi demo rakyat dan rindu untuk didemo kalau tidak didemo. Menurutnya, “Demo itu harus!” Untuk mengontrol pemerintah.

Barangkali Jokowi mendapatkan informasi pembisiknya  terkait soal keselamatannya. Katakanlah diinformasikan bahwa ada kelompok yang menyusup dalam aksi massa itu yang punya target untuk membunuh Jokowi. Masih ingat kan saat Jokowi malam hari tanggal 4 Nopember itu bicara di hadapan para wartawan menggunakan jaket? Mengapa kok pakai jaket? Bisa jadi di dalam jaketnya ada rompi antipelurunya. Ini cuma pakai ilmu kira-kiralogi loh ya. Mungkin juga karena jaketnya baru.

Kan Jokowi bisa menemui wakil para demonstran di dalam istana? Mungkin juga dikhawatirkan jika terjadi kerusuhan istana bisa ditembus para demonstran dan katakanlah dalam tubuh militer dan Polri terdapat faksi-faksi yang tidak jelas. Namanya juga seumpamalogi, jadi ini belum tentu benar.

Tetapi yang jelas, karena aksi massa yang ingin bertemu dengan Presiden Jokowi, maka mereka menunggu hingga malam hari, hingga pecahlah provokasi kerusuhan itu yang untungnya tidak memancing emosi para demonstran terbesarnya. Andaikan Jokowi datang orasi di hadapan massa demonstran sekitar jam 15.00 WIB dan memberikan penjelasan, maka kemungkinan besar massa aksi sudah membubarkan diri sekitar jam 16.00 WIB.

Penyelesaian Kasus Lapindo dan Kasus Ahok

Sebelum saya bicara tentang penyelesaian kasus Ahok yang dituduh melakukan penistaan terhadap agama Islam, maka saya akan mencoba memberikan contoh taktik yang diterapkan Lapindo dalam menghadapi aksi-aksi para korban Lapindo dan cara menghadapi “serangan-serangan” berita media massa.

Ketika kasus lumpur Lapindo meledak tahun 2006, para korban Lapindo sebagian besar terhimpun dalam forum bernama Gerakan Korban Lumpur Lapindo (GKLL). Forum GKLL ini diadvokasi oleh budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun). GKLL dipimpin oleh orang bernama Joko Suprastowo dan Khoirul Huda.

Untuk membuat para korban Lapindo tidak radikal dalam tuntutan mereka maka pimpinan GKLL didekati sedemikian rupa. Khoirul Huda bahkan sempat dicalonkan menjadi bakal calon wakil bupati Sidoarjo tahun 2010 dari Partai Golkar, berpasangan dengan Bambang Prasetyo Widodo sebagai bakal calon bupati. Bambang adalah Direktur Operasional PT Minarak Lapindo Jaya waktu itu.

GKLL ini tak hanya ditundukkan dengan cara lobi terhadap pimpinannya, tetapi juga diberikan tawaran penyelesaian yang membuat GKLL terbelah menjadi dua, yakni GKLL dan Geppres (Gerakan Pendukung Perpres 14 Tahun 2007). Kedua kubu korban ini bermusuhan secara tuntutan. GKLL menerima cara relokasi, tapi Geppres tetap menuntut sisa pembayaran tunai yang tersisa 80 persen.

Keadaan itu semakin berlarut-larut hingga akhirnya pemerintahan Jokowi yang menyelesaikan sisa pembayaran kepada korban Lapindo tersebut dengan dana talangan APBN. Jadi, rezim Jokowi terpaksa membantu Lapindo untuk membayar sisa utang Lapindo kepada korban Lapindo. Ini adalah taktik hebat Lapindo yang bisa menyendera derita warga korban sehingga memaksa negara untuk menalanginya. SBY dan Jokowi kalah dengan taktik Lapindo itu.

Tidak hanya itu. Masalah Lapindo sebenarnya banyak, termasuk soal kesehatan warga korban dan masalah-masalah sosial serta psikologi yang tak pernah menjadi perhatian media massa. Bahkan saat ini Lapindo juga mulai melakukan pengeboran di Kalidawir yang menurut informasinya belum dilakukan pembaharuan data seismik. Penolakan warga hanya menjadi berita sekilas dan kini tak ada jejak kelanjutannya lagi. Bahkan ada media massa besar yang menuduh salah satu aktivis korban Lapindo bernama Harwati sebagai calo tanah sehingga membuat perjuangan Harwati dilemahkan dengan fitnah media massa itu. Akhirnya media itu meminta maaf setelah Jaringan Advokasi Tambang membela Harwati. Tapi tentu saja minta maafnya hanya dengan jawaban empat baris.

Mengapa kasus Lapindo yang belum selesai (dan malah terjadi babak baru pengeboran tersebut) sepi dari berita media dan bahkan ada berita serangan kepada korban Lapindo yang memperjuangkan sesama korban? Kawan saya Anton Novenanto seorang akademisi dan peneliti yang aktif meneliti masalah Lapindo tersebut menemukan bahwa Lapindo memang mengadakan acara “halal bihalal” dengan para pemimpinan media massa di Jawa Timur. Maka lancarlah secara jaya aksi Lapindo, tanpa kontrol yang berat-berat dari masyarakat.

Nah, seharusnya Presiden Jokowi tak kalah siasat dengan Lapindo dalam menghadapi kasus Ahok tersebut. Jokowi seharusnya tidak menjadi korban kecurigaan para pembisiknya secara berlebihan.

Jokowi sebaiknya mengundang perwakilan para ulama seluruh kabupaten/kota di Indonesia, yang kemudian mempertemukannya dengan Ahok dalam rangka mengobati luka hati kaum muslim yang tersinggung dengan ucapan Ahok yang memang sering tidak pantas diucapkan sebagai pejabat publik. Bahkan komunikasi itu seharusnya dilakukan saat-saat pertama masalah itu mulai terjadi. Sekarang meskipun situasi masih panas, tak ada salahnya langkah itu ditempuh.

Ada seorang kawan saya aktivis NU yang setengah mati membela Ahok. Tapi juga ada kawan saya muslimah NU yang gelisah melihat gejala kekebalan hukumnya. Bagaimana tidak? Kasus korupsi pengadaan tanah RS Sumber Waras, dia lolos. Skandal Reklamasi yang ada unsur pidananya juga hanya dijatuhi sanksi administrasi. Sama seperti dalam kasus lumpur Lapindo, hasil pemeriksaan BPK dikesampingkan begitu saja. Dalam kasus Sumber Waras itu KPK beralasan “tidak ada biat jahat.”  Lha mana bisa orang menerawang niat seseorang?

Itulah mungkin yang makin membuat orang menjadi “tidak suka” dengan keistimewaan yang diberikan negara kepada seseorang dan perusahaan yang mempunyai relasi kuat dengan kekuasaan. Karena itu pasti tidak adil.

Tulisan itu jangan ditafsirkan sebagai tulisan yang ditunggangi politisi loh ya… Sepertinya media massa juga mesti bertanya kepada Anies Baswedan dan Agus Yudhoyono, bagaimana pendapat mereka tentang reklamasi yang merusak ekologi itu? Jika seumpama jawabannya berstandar ganda, ya sama sajalah dengan Ahok.

Saat ini Presiden Jokowi diuji untuk membuat jurus siasat, bagaimana agar kasus Ahok itu tidak  kian memanas dan berubah menjadi huru-hara. Jika Jokowi berhasil mendinginkan kasus itu, kita harus memujinya. 

Ikuti tulisan menarik Subagyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler