x

Pengunjung melihat foto Bung Hatta yang terpampang di dalam rumah dan museum Bung Hatta di Jalan Soekarno-Hatta, Bukitinggi, Sumatera Barat, 3 Desember 2014. Bung Hatta tinggal di rumah ini pada 1902 hingga 1913. TEMPO/Aris Andrianto

Iklan

budiawan santoso

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Maskawin Bung Hatta

Menjadi kebiasaan bagi Hatta, di mana pun dia berada selalu memberi pelajaran kepada para pemuda. Di Banda Neira pun dia melakukan hal serupa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada 16 November 1934, keluar keputusan pengadilan untuk mengasingkan Hatta bersama enam orang pengurus PNI baru lainnya, ke Boven Digul. Ia diberangkatkan melalui pelabuhan Tanjung Priok bersama-sama dengan Sjahrir, Bondan, Maskun, Murwoto, Burhanudin, dan Suka. Dan, pada 28 Januari 1935, mereka sampai di Tanah merah (Digul)—daerah terkenal banyak nyamuk, banyak penghuninya terkena penyakit malaria, bahkan Hatta sendiri mengaku dua kali kena penyakit malaria tertiana, masih ditambah terkena penyakit rusak pendengaran dan penyakit lekas marah—efek samping memakan pil kina untuk menyembuhkan penyakit malaria (Anwar Abbas, 2010: 59-60).

Di sana, di sebuah rumah berlantai tanah, memiliki dua kamar, Hatta tinggal bersama Burhanuddin selama 7 bulan. Dalam ruang dan waktu itu, pekerjaan sehari-hari yang mereka kerjakan, memasak nasi, mencuci piring, menyapu halaman dan lain-lain (Anwar Abbas, 2010: 60). Untuk Hatta sendiri, membaca dan menulis tak terlewatkan. Sampai-sampai, salah satu tulisan yang dikirimnya, yaitu surat dikirim kepada kakaknya, Rafiah, dan tanpa sepengetahuannya surat tersebut dimuat dalam surat kabar Indonesia dan Belanda, membuat berang bagi Hindia maupun di negeri Belanda sendiri. Sebuah surat menceritakan bahwa Hatta berkeinginan untuk membangun sendiri sebuah rumah yang lebih baik dan bisa bertahan sekitar sepuluh tahun (Anwar Abbas, 2010: 62).

Pada Februari 1937, Hatta, termasuk Sjahrir di pindahkan ke Banda Naira. Keadaan di sana lebih baik dari Digul. Ia menyewa sebuah rumah cukup besar, memiliki beberapa buah kamar dan sebuah ruangan besar dipergunakan Hatta untuk tempat buku-bukunya dan tempat bekerja. Di sana, ia bebas bergaul dengan masyarakat, meski diawasi pemerintah Belanda. Ia sering mengunjungi keramaian dan turut bersembahyang bersama penduduk (Anwar Abbas, 2010: 63-64).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Anwar Abbas mengemukakan lagi, “menjadi kebiasaan bagi Hatta, di mana pun dia berada selalu memberi pelajaran kepada para pemuda. Di Banda Neira pun dia melakukan hal serupa, dia mengajari anak-anak dr. Cipto Mangoenkoesoemo pelajaran ekonomi dan akuntansi. Seorang kenalan Hatta dari Sumatera Barat yang bernama Anwar Sutan Saidi dari Bukit Tinggi mengirimkan dua orang muridnya yang baru saja lulus dari MULO untuk belajar dengan Hatta. Beberapa orang pemuda Banda pun juga ikut belajar dengannya.” Itu, kebiasaan Hatta, sebelum ia di pindahkan ke Sukabumi Jawa Barat, pada Februari 1942.

Seperti kita ketahui, hampir selama 6 tahun (1936-1942), Bung Hatta hidup dalam pengasingan di Boven Digul dan Banda Neira. Namun, pengasingan dilakukan bukan karena ia sendiri, tapi oleh pihak kolonialis Belanda yang berang terhadap ulah Hatta, kerap mendorong, menyemaikan benih literasi dan perjuangan bagi rakyatnya agar merdeka dan “membangun Indonesia jang adil dan makmur, dengan perasaan berbakti kepada Tanah Air.”

Perjuangan mencolok, ditempuh dengan jalan literasi. Bahkan, saat ia dalam pengasingan, ia tak merasa terpenjara. Malahan, ia menganggap hal itu bagian dari ‘studi’ yang membuahkan pikiran, laku, dan peristiwa, buktinya: naskah atau buku-buku, seperti Pengantar Ke Djalan Ilmu dan Pengetahuan, Alam Pikiran Yunani, dicetak dengan ukuran kecil, dan Kumpulan Karangan. Untuk Alam Pikiran Yunani sendiri diterbitkan dengan cara berjilid, yakni jilid ke-I sampai jilid ke-III.

Adapun untuk buku Alam Pikiran Yunani, Miriam Budiardjo—tokoh terkemuka dalam ilmu politik, dan anak dari seorang cedekiawan Jawa, yakni Moh. Saleh Mangundiningrat, memaparkan bahwa buku itu telah beberapa tahun dipakai sebagai bahan bacaan dalam mata kuliah Pemikiran Politik Barat yang ia asuh di Departemen Ilmu Politik di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Indonesia. Lanjutnya, melalui buku itu, kita (pembaca) dapat melihat bahwa masalah-masalah yang kita hadapi pada akhir abad ke-20 (dan, menurut saya, termasuk abad ke-21 ini), telah menjadi obyek pemikiran manusia beberapa abad yang lalu di Yunani. Sedangkan di beberapa tempat lain seperti Cina, Mesir, dan India hal itu juga terjadi.

Bagi Hatta sendiri, buku itu “hasil pelajaran di alam sunyi. Lahirnya bermula di tempat pembuangan di Boven Digul. Tatkala kami di sana memimpin pelajaran beberapa orang kawan ke dalam ekonomi, terasa oleh kami, bahwa baik juga kepada pelajar yang sudah mempunyai paham dan sudah mengalami perjuangan hidup disertakan pelajaran filosofi.”

Mengapa Hatta bersama kawan-kawannya mengajarkan ekonomi sekaligus filosofi, sehingga membuahkan karangan, salah satunya buku itu, sebab, menurutnya: “Filosofi meluaskan pandangan serta mempertajam pikiran. Kedua-duanya berguna sebagai perkakas untuk menukik lebih dalam ke dalam batang ilmu ekonomi. Kemudian filosofi berguna untuk penerangkan pikiran dan penetapan hati. Ia membawa kita ke dalam alam pikiran, alam nurani semata-mata. Dan oleh karena itu melepaskan kita daripada pengaruh tempat dan waktu. Dalam pergaulan hidup, yang begitu menindas akan rohani, sebagai di tanah pembuangan Digul, keamanan perasaan itu perlu ada. Siapa yang hidup dalam dunia pikiran, dapat melepaskan dirinya daripada gangguan sehari-hari.”

Dan, buku Alam Pikiran Yunani itulah, maskawin yang diberikan saat menikah. Dimana, sebelumnya, Bung Hatta pernah berjanji tidak akan menikah selama Indonesia belum merdeka.

 

Budiawan Dwi Santoso, penulis.

Ikuti tulisan menarik budiawan santoso lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler