x

Iklan

IIP RIFAI

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Toleransi di Ujung Tanduk

Toleransi adalah modal awal untuk merawat kemajemukan, kini keberadaannya sangat mengkhawatirkan. Simak !

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak mulut Basuki Tjahaya Purnama tergelincir Tafsir QS. Al-Maidah : 51, riuh rendah mempersoalkan dan memperkarakannya datang dari berbagai kalangan dan profesi. Mulai dari rival politiknya, ahli hukum, praktisis hukum, pengamat politik, aktivis agama, ahli bahasa, para jurnalis, hingga tukang bubur dan tukang becak sekalipun. Mereka semua memperbincangkan kasus sensitif tersebut sesuai dengan kapasitas masing-masing. Dari perbincangan mereka lahirlah analisis, amatan, argumentasi, tuduhan, sangkaan serta sejumlah istilah serupa terhadap si pelaku, Ahok.

Aksi pembelaan terhadap QS. Al-Maidah : 51 pun mencapai titik kulminasi pada tanggal 4 November 2016. Ribuan orang berpakaian putih terus berdatangan menjejali ibu kota Jakarta. Banyak pula dari mereka berjubah putih sebagai identitas dari kelompok tertentu. Mereka datang dari berbagai daerah, dari pelosok negeri ini. Setelah shalat jumat selesai, massa merangsek ke satu titik, yaitu Istana Negara.

Aksi yang dijamin akan damai, akhirnya berbuntut ricuh (chaos).Garansi damai yang dijanjikan dibayar dengan tindakan kekerasan di akhir aksi. Terlepas siapa yang berulah kala itu dan dari kelompok mana mereka itu. Jaminan dan garansi tersebut tinggallah sebuah janji yang diingkari, bahkan menyisakan sumpah serapah di sana sini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Massa yang bergabung dalam aksi tersebut termasuk kategori jumlah yang fantastis, sehingga mereka bisa berbangga diri di hadapan Ahok, dimana ia dianggap sebagai pelaku penista agama, dan di hadapan Joko Widodo, sebagai kepala negara, yang harus bertanggungjawab atas kepastian hukumnya.

Di lain pihak, keresahan, ketakutan dan kekhawatiran menghinggapi kaum minoritas di negeri ini, yang sama sekali tak terkait langsung dengan kasus Ahok tersebut. Selain teriakan mulia sebagai penyemangat aksi mereka, yaitu takbir, allahu akbar, teriakan lainpun terdengar sangat kencang sembari melabeli seseorang atau kelompok di luar dirinya dengan kata-kata intimidatif, provokatif, dan lainnya, yang bahkan justru dilarang oleh ajaran agamanya sendiri.

Aksi besar-besaran dan teriakan-teriakan yang memekakkan telinga kaum minoritas, yang dideskripsikan di atas, menjadi sorotan banyak kalangan. Ada sekelompok orang berkomentar: “Bukankah agama mengajarkan kebaikan dan kedamaian itu tidak dengan sembari mendiskreditkan atau menista orang atau golongan lain?” Komentar ini pun dibalas oleh kelompok lain: “Agama juga tidak mengajarkan kaumnya untuk menista kitab suci agama lain, ini adalah reaksi atas peristiwa itu”. Dan sejumlah komentar serupa lainnya yang saling mempertahankan opini dengan argumentasi masing-masing. Dalam kondisi tersebut, emosi sangat mendominasi hingga nalarpun menjadi terkunci.

 

Toleransi yang Terabaikan

Memotret beberapa kejadian di atas menggoreskan luka baru bagi bangsa ini. Indonesia yang majemuk, sebagai sebuah keniscayaan, kini telah porak poranda hanya karena ulah beberapa golongan tertentu yang ingin memaksakan kehendaknya. Sebuah rumah mewah, hasil warisan orang tua, yang tak boleh dijual, sejatinya terus dijaga, dipelihara dan dirawat agar tetap menjadi “rumah idaman” bagi para penghuninya.  

Indonesia adalah negara yang dibangun oleh bersama. Ia adalah milik orang banyak, bukan milik mayoritas, bukan pula diwariskan untuk minoritas.  Ia dilahirkan dari rahim pemikiran yang sama. Pancasila dipilih dan dijadikan sebagai pondasi atau dasar negara ini oleh Panitia Sembilan, mereka adalah representasi dari tokoh nasionalis, juga agamawan.  Pancasila kemudian menjadi pandangan hidup (weltanschauung) sehari-hari bagi bangsa Indonesia agar senantiasa masyarakatnya hidup rukun, damai, aman sentosa, adil pula sejahtera.

Bhinneka Tunggal Ika yang sering diterjemahkan “berbeda-beda tapi tetap satu” dijadikan semboyan negeri kita tercinta, Indonesia. Ia bukan sekedar motto semata, ia adalah ruh bagi bangsa ini. Semboyan tersebut mengandung nilai-nilai historis dan filosofis bagi negeri ini. Ia diambil dari kutipan Kakawin Jawa Kuna, yaitu Kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular, pada masa Kerajaan Majapahit abad ke-14. Dalam sejarahnya, kakawin ini sangat istimewa karena berisi tentang pentingnya sikap toleransi. Dalam konteks itu adalah toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha.

Ada sebuah tulisan menarik dan inspiratif prihal toleransi ini. Mohammad Natsir, yang dikenal sebagai tokoh Masyumi, menulis sebuah judul di Majalah Hikmah Keragaman Hidup Antar Agama (1954), yang kemudian diterbitkan kembali dalam Buku Capita Selecta II (1957), dan kemudian disunting Herbert Feith dan Lance Castles (1988) dalam dimuat ulang dalam Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Beliau menjelaskan bahwa: “Toleransi yang diajarkan oleh Islam dalam kehidupan antaragama bukanlah toleronsi yang pasif, ia aktif. Aktif menghargai dan menghormati keyakinan orang lain”. Di samping itu beliaupun berpesan agar umat Islam bisa menahan hati dan tidak mudah dipengaruhi hawa nafsu dari mana pun datangnya, dalam rangka mewujudkan kejernihan hidup antar umat beragama.  

Jika kita terjemahkan secara bebas apa yang dimaksud Natsir dengan “toleransi aktif” di atas, ia merupakan sebuah sikap menghormati, menghargaisekaligusmengakui bahwa selain agama yang diyakini seseorang, ada agama lain yang sama, ia mengajarkan kebenaran dan keselamatan bagi pemeluk-pemeluknya (truth and salvation). Bukan berarti ia sedang menjadi pemeluk agama lain pada waktu itu, ia sedang mengatakan bahwa kebenaran universal itu ada pada semua agama. Nilai-nilai kebaikan itu melampaui (beyond) segala-galanya, tak bisa dibatasi oleh apapun.

Seandainya semua pemeluk agama di negeri ini mengerti, memahami, menghargai serta mengakui ada kebenaran di luar agamanya sendiri, maka sungguh Indonesia pasti menjadi negeri yang damai, tanpa ada kegaduhan-kegaduhan baru yang mengatasnamakan agama.

Kemajemukan Indonesia harus terus dan tetap dijaga hingga akhir dunia. Keragaman suku, bahasa, budaya, agama dan sejumlah perbedaan lainnya adalah aset berharga negeri ini. Sesekali, bahkan berkali-kali ada sekelompok orang atau golongan yang ingin mengganggu keutuhan bangsa ini, baik datang dari dalam maupun luar; baik terang-terangan maupun tersembunyi.

Mereka pada hakikatnya, sedang tidak memahami kondisi Indonesia yang sesunguhnya. Sekali lagi, kesadaran akan pluralitas menjadi modal awal untuk membangun serta memelihara “rumah impian” Indonesia. Rumah tempat berlindung, bagi siapapun tanpa terkecuali, dari panas dan hujan disintegrasi bangsa. Toleransi, dimana kau kini?

               

Oleh Iip Rifai

Alumnus Pascasarjana IAIN SMH Banten, Peneliti di Omar Institute

                

Ikuti tulisan menarik IIP RIFAI lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu