x

Donald Trump menyapa pendukungnya usai terpilih sebagai Presiden Amerikat yang ke-45 di Manhattan, New York, 9 November 2016. Donald Trump meraih suara besar dari Pennsylvania sebanyak 20 suara perwakilan. REUTERS

Iklan

akhlis purnomo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Donald Trump, Presiden 'Jagoan' Eva

Hati-hati berbicara soal politisi cemoohan Anda. Salah-salah terperangkap dalam sumpah serapah Anda sendiri. Seperti Eva.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya masih ingat sore itu gerah bukan main dan kami baru saja masuk ke dalam sebuah taksi, menjauhi wilayah bibir pantai di Jakarta dan masuk ke daerah jantung Ibu Kota. Di taksi saya duduk diapit oleh dua orang lainnya. Satu orang di sebelah kiri saya adalah pemuda dari Yogyakarta dan di kanan saya ialah Eva, seorang gadis muda berambut hitam ikal mayang dari Amerika Serikat. Di sebelah sopir seorang teman Eva duduk. Ia kekasih si pemuda di samping kiri saya ini.

Bagi saya, ia tidak tampak Kaukasia. Ia lebih Latin. Maka saya pun tergerak untuk melempar pertanyaan. “Menurutmu bagaimana kalau Donald Trump menang?” saya memberanikan diri bertanya tanpa pembukaan, basa basi dan semacamnya.

Pandangannya yang semula dilempar ke luar jendela taksi, sedetik dua detik beralih ke depan. Tanpa menatap saya, ia menukas cepat,”Saya akan berpesta pora untuk kemenangannya! Saya akan bersukacita. Ia jagoan saya!” Kemudian ia mengedipkan matanya. Bulu matanya lebat dan lentik, sangat kentara jika dipandang dari samping seperti ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya terkejut, sebagaimana dua orang teman lain di dalam taksi ini juga. Tapi sejenak kami mencerna perkataannya. Mencermati nada bicaranya selanjutnya, jelas sudah perkataannya tadi beraroma sarkasme. 

“Saya tidak habis pikir bagaimana orang seperti itu bisa melaju menjadi calon presiden di negeri kami,” cetusnya ketus. Ia berang. Dan itu normal sebab orang tuanya kaum imigran dari salah satu negeri Amerika Latin, Bolivia. Sebagaimana kita ketahui Trump pernah melontarkan perkataan kontroversial yang menghina martabat imigran Latin.

Percakapan kami terus bergulir. Eva menumpahkan kekesalannya seolah Trump benar-benar akan menjadi presiden. Saat itu, tentu saya anggap kecemasannya berlebihan. Pikir saya, Trump tidak berpengalaman. Bagaimana bisa ia menjadi presiden negara paling adidaya di muka planet ini?

Beberapa bulan kemudian sejak percakapan dengan Eva di taksi itu, saya terus mengikuti perkembangan pertarungan Pilpres AS. Seorang guru yoga Amerika yang saya kenal memihak Clinton, mungkin karena ia merasa kedekatan sebagai seorang perempuan. Ia ingin negaranya memiliki seorang presiden wanita pertama seperti Indonesia dengan Megawati. Sementara itu, seorang pria AS lain yang saya kenal juga menjagokan Clinton karena status Facebook-nya yang kerap dibubuhi tagar #NeverTrump. Saya tidak berkomentar, cuma sesekali membaca, tiada minat membahas apalagi mendalami isu politik yang membuat sedunia gaduh.

Eva mungkin sekarang berpesta pora. Bukan karena suka tetapi karena tak ingin lagi menginjak teritori Amerika. Sebuah pesta perpisahan persisnya. Sebab terakhir kali ucapannya yang saya ingat paling jelas ialah "saya ingin hengkang dari sana jika Trump jadi presiden."

Ikuti tulisan menarik akhlis purnomo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

6 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB