x

Mahasiswa dari Gema Pembebasan melakukan aksi unjuk rasa di Gedung Sate, Bandung, 5 November 2016. Mereka menuntut pemerintah untuk segera memproses Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terkait isu penistaan agama. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

Soe Tjen Marching

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ahok dan Fanatisme ~ Soe Tjen Marching

. Buya Syafii Maarif sudah menjelaskan panjang lebar bahwa perkataan Ahok tidaklah menghina Al-Quran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Soe Tjen Marching, dosen senior di departemen Southeast Asia SOAS, University of London

Kalau saja saya mempunyai hak pilih di Britania, saya akan memilih Sadiq Khan, seorang Muslim dengan keluarga dari Pakistan, sebagai wali kota. Bukan karena etnis atau agamanya, tapi karena saya yakin akan kemampuannya menjalankan tugas sebagai wali kota dibandingkan calon-calon lainnya. Namun, saya memegang passpor Indonesia dan tak punya hak pilih di Britania, tempat saya kini tinggal.

Terpilihnya wali kota Muslim ini tentu saja bukan tanpa kontroversi. Saingan terkuat Khan, Zac Goldsmith, sempat mengaitkan Sadiq Khan dengan kelompok Muslim ekstremis di Britania dalam kampanyenya. Walaupun tidak menyerang agama dan etnis Khan secara langsung, Goldsmith sudah menyiratkan bahwa identitas Sadiq Khan sebagai seorang Muslim bisa menjadi masalah. Namun, kampanye yang mengusung identitas pribadi seseorang seperti ini ternyata tidak begitu laku: ada lebih banyak orang yang mengecam pernyataan Goldsmith daripada mendukungnya, termasuk kakak Zac sendiri, Jemima Goldsmith (yang sempat menikah dengan pemain Kriket asal Pakistan, Imran Khan).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi, di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya. Tanpa malu atau ragu, beberapa kelompok fundamentalis menyerang Ahok melalui isu etnis dan agama di ruang publik, bahkan sempat ada yel-yel "Ganyang Cina" ketika demo anti-Ahok.

Dalam demo besar-besaran mengritik Ahok pada 4 November yang lalu, perkataan Ahok yang menyangkut surat Al-Maidah 51 menjadi salah satu fokusnya dan menjadi berita besar. Kabar yang beredar adalah Ahok akan diadili dengan isu penistaan agama. Buya Syafii Maarif sudah menjelaskan panjang lebar bahwa perkataan Ahok tidaklah menghina Al-Quran. Menurut Buya, Ahok hanya mengkritik manusianya yang menggunakan ayat Al-Maidah dengan berkata: "Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, karena dibohongin pakai surat al-Maidah 51". Ahok sendiri sudah minta maaf bila dianggap menista Al-Quran. Bukankah urusan sudah selesai?

Ternyata belum. Debat berlanjut karena ada perbedaan interpretasi dari ucapan ini. Namun, mengapa hal ini masih diperpanjang hingga berlanjut pada demo dan pelaporan polisi yang berkepanjangan? Berapa uang Negara yang akan dituangkan dalam kasus ini?

Sedangkan beberapa kelompok radikal menyerang dan memakai kekerasan atas nama Islam, namun dibiarkan. Manakah sebenarnya yang lebih menista agama? Manakah yang lebih merugikan rakyat?

Bersamaan dengan itu, pembahasan tentang kebijakan dan kemampuan Ahok dalam melaksanakan tugasnya sebagai gubernur tak begitu banyak disinggung. Ahok juga lolos dari tuntutan berbagai aktivis HAM yang menganggap bahwa kebijakan reklamasinya tidak mengindahkan warga miskin.

Tentu saja tidak semua kebijakan Ahok dikecam. Di sisi lain, Ahok adalah tokoh yang populer dan dipuja. Saya sendiri tidak tinggal di Jakarta, tapi telah mendengar dan membaca berbagai laporan tentang kemajuan Jakarta pada masa Ahok dibandingkan pada masa Foke. Ahok tentu tidak sempurna, dan tak ada gunanya meggambarkan dia seolah sebagai manusia sempurna seperti yang didengungkan oleh para pendukung fanatiknya. Yang kita perlukan adalah memandangnya dengan obyektif sebagai petugas yang mendapat amanat rakyat Jakarta.

Pilkada sudah dekat dan sebentar lagi rakyat harus menentukan siapa yang paling pantas menjadi Gubernur Jakarta. Tak dinyana dalam sistem demokrasi, seringkali kita dihadapkan pada "the lesser evil". Tapi, paling tidak, dengan pilihan yang serba terbatas, kita masih harus berusaha cerdas.

Sayangnya, sejauh ini kebanyakan argumen tentang pemilihan gubernur ini berkisar pada emosi dan penyerangan pribadi, seolah yang bersaing itu etnis dan agamanya bukan lagi kemampuan para calon-calon ini untuk memimpin Jakarta. Sudah menjadi hal yang umum di dunia bahwa pemimpin yang baik harus mempunyai kejujuran, integritas, kemampuan melaksanakan tugas dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat. Kapan hal-hal ini mulai digali? Inilah yang masih saya tunggu.

Ikuti tulisan menarik Soe Tjen Marching lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler