x

Iklan

Ende Pancasila

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kedaulatan Masyarakat Adat dan Masa Depan Demokrasi Kita

Oleh : Abdon Nababan, Sekjen AMAN

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jika kita mengamati perdebatan publik akhi-akhir ini, yang juga sangat tercermin dalam peliputan media massa di Tanah Air, maka yang paling disoroti pada hampir seluruh pembicaraan tentang “demokrasi kita” adalah semakin kuatnya pengaruh kapital (politik uang) dalam perebutan jabatan-jabatan politik di negeri ini, mulai dari pemilihan kepala Desa, Bupati/Walikota, Gubernur sampai Presiden.

Situasi ini tentu dengan gamblang bisa kita hubungkan dengan kecenderungan liberalisasi politik dan semakin menjauhnya demokrasi kita dari falsafah hidup kebangsaan Indonesia, yaitu Pancasila, khususnya sila Keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.

Saya garis bawahi permusyawaratan/perwakilan karena disinilah akar permasalahan demokrasi kita saat ini, perwakilan menggusur permusyawaratan, keduanya tidak lagi suatu kesatuan yang bersinergi saling melengkapi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Situasi ini tentu saja merupakan bagian dari perubahan yang lebih besar dan mendasar, yaitu adanya pergeseran nilai yang hidup di dalam Masyarakat Indonesia, dari yang sebelumnya bersifat kolektif (kebersamaan, kekeluargaan) menjadi semakin materialistik dan individualistik.

Kehidupan bersama ini tentu saja mengakar pada budaya politik lokal bangsa-bangsa (nations) dan komunitas-komunitas (communities) yang sudah hidup dan berkembang sebelum adanya “Satu Bangsa Indonesia” yang diwadahi pengorganisasian kekuasaannya di dalam Negara Republik Indonesia.

Bangsa atau komunitas yang merupakan kumpulan individu yang yang secara turun-temurun hidup bersama dalam satu wilayah terbatas, telah memiliki tatanan kehidupan yang terbukti beratus atau bahkan beribu tahun mampu menjamin keberlanjutan dan kesejahteraannya secara bersama-sama.

Bangsa-bangsa dan komunitas-komunitas yang masih menjalankan sebagian atau seluruhnya dari sistem nilai atau ideologi dari leluhurnya ini, yang ditopang oleh pranata sosial, budaya, ekonomi dan politiknya yang khas, kemudian kita kenal saat ini sebagai Masyarakat Adat.

Sebagai kelompok sosial yang berdaulat, mereka secara tradisional dan turun-temurun tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan ekosistem lokalnya. Sejatinya, hak asal-usul Masyarakat Adat atas wilayah adat sampai pada pengaturan sendiri kehidupan bersama komunitas (community-based self-governance) ini dijamin dalam konstitusi kita, baik sebelum amandemen, yaitu pada Pasal 18 UUD 1945 maupun sesudah amandemen menjadi Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3). 

Mengacu pada pasal-pasal konstitusi ini, Republik Indonesia sebagai negara merdeka yang diakui secara internasional, telah lebih dahulu mengakui dan secara hukum melindungi Masyarakat Adat bersama seluruh hak-hak asal-usul atau hak tradisionalnya.

Sayangnya, realitas perjalanan kita sebagai bangsa merdeka menunjukkan hal yang sebaliknya. Hak Masyarakat Adat untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri berdasarkan hak asal-usul ini secara sistematis dihilangkan oleh Pemerintah sebagai penyelenggara Negara melalui berbagai instrumen yang mengatas-namakan negara.

Pertama, dengan menerapkan (memaksakan) konsep tanah negara dan hutan negara sebagai interpretasi sepihak Hak Menguasai Negara (HMN) yang ada di Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pemerintah mengambil-alih secara paksa sebagian besar wilayah-wilayah adat dan sumberdaya di dalamnya sebagai tanah Negara dan hutan negara.

Kedua, dengan menerapkan konsep Desa yang seragam secara membabi-buta di seluruh Indonesia, pemerintah menghancurkan otonomi pemerintahan adat lokal (community-based self governance).

Ketiga, dengan menerapkan konsep pembinaan teritorial TNI (dulu ABRI) sampai ke tingkat Desa secara berlebihan, pemerintah justru mematikan modal sosial-kultural, terutama sistim politik permusyawaratan (demokrasi deliberatif) dan inisiatif-inisiatif komunitas Masyarakat Adat dalam membangun dirinya sendiri.

Keempat, memaksakan pembentukan Koperasi Unit Desa (KUD) yang permodalan dan penyelenggaraannya dikuasai oleh birokrasi pemerintahan sehingga mematikan system ekonomi berbasis adat yang sudah hidup dan berkembang berabad-abat.

Kelima, perubahan demokrasi Pancasila “permusyawaratan perwakilan” menjadi demokrasi liberal yang dikendalikan oleh partai-partai politik yang bersifat oligarki. Masyarakat Adat yang pada perjalanannya menjadi sangat minoritas dalam tatanan politik perwakilan yang sentralistik dan terpimpin oleh segelintir elit politik di Jakarta sebagai pusat kekuasaan nasional,  kehilangan kesempatan mengutus utusan sebagai representasi politik di dalam Negara RI.

Masyarakat Adat, sebagaimana diekspresikan dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara pada bulan Maret tahun 1999, sangat meyakini bahwa secara keseluruhan sistem politik dan hukum yang kita miliki sejak Orde Lama, ke Orde Baru sampai saat ini sama sekali tidak berpihak, apalagi melindungi hak-hak asal-usul Masyarakat Adat.

Ada yang sangat salah dengan negara ini sehingga harus ditata-ulang, khususnya relasi Negara dengan Masyarakat Adat.  Perubahan radikal ini hanya bisa dilakukan jika kita pertama-tama merubah pandangan tentang Masyarakat Adat yang selama ini dikampanyekan penguasa “ilmu”, media dan penguasa modal global sebagai kumpulan orang terbelakang, terasing dan tuna-budaya. 

Pada dasarnya Masyarakat Adat telah memiliki sistim demokrasi sendiri, lengkap dengan mekanisme pertahanan sendiri dari berbagai ancaman dan perusakan dari luar, dan juga pengaturan penggunaan sumber daya untuk menjaga kepentingan bersama atas sumber daya alam dalam jangka panjang (secara berkelanjutan). Mereka pun pada tingkat yang berbeda-beda telah berinteraksi dan beradaptasi dengan dunia luar.

Hanya saja mekanisme adaptasi dan pertahanan diri itu telah terkacau-balaukan oleh gempuran sangat keras dan terus menerus yang disertai dengan pengurasan kekuatan Masyarakat Adat. Celakanya, tindakan-tindakan ini difasilitasi, didorong dan bahkan dilakukan sendiri oleh birokrasi pemerintah dan institusi pemerintah lainnya. 

Gempuran yang sangat keras dialami oleh Masyarakat Adat adalah penghancuran sistim politik lokal yang dikenal dengan demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy), yaitu suatu proses pengambilan keputusan bersama yang dilakukan melalui musyawarah-mufakat.

Bagi Masyarakat Adat pada umumnya, keputusan yang paling mulia adalah keputusan yang diambil secara musyawarah dimana keputusan diambil berdasarkan akal yang paling sehat yang ditemukan melalui pergulatan pemikiran di seluruh kalangan warga adat, sedang keputusan yang paling rendah nilainya adalah keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak dimana keputusan diambil atas kepentingan pragmatis warga yang paling banyak. Karena itulah di kalangan Masyarakat adat posisi kaum cendikia atau intelektual sangat dimuliakan, mendapatkan tempat yang special dalam proses musyawarah-mufakat.

Sebaliknya, dalam politik perwakilan yang dilakukan melalui demokrasi liberal seperti saat ini, kaum cendikia atau intelektual hanya menjadi alat bagi para politisi pemburu kekuasaan politik untuk menemukenali kepentingan pragmatisme di tengah warga pemilih. Kepentingan pragmatis warga yang paling banyak inilah yang kemudian menjadi persoalan demokrasi kita hari ini. Kedaulatan rakyat dikerangkeng dalam nilai pragmatisme individual warga Negara.

Saatnya kita belajar dari sejarah politik kita sendiri.

Di masa lalu, pemerintah berusaha keras "mematikan" perangkat-perangkat demokrasi di komunitas Masyarakat Adat, sebaliknya di sisi yang lain pemerintah malah melegitimasi kekuasaan-kekuasaan di luar Masyarakat Adat untuk masuk dan menguasai Masyarakat Adat dengan membuat atau membiarkan hidup, lembaga-lembaga adat buatan pemerintah atau lembaga-lembaga adat yang merepresentasikan kekuasaan-kekuasaan lama yang feodal di tengah-tengah Masyarakat Adat; kekuasaan lama yang pada zaman kejayaannya pernah menindas Masyarakat Adat. 

Negara harus berubah kalau bangsa ini masih ingin selamat sebagai wadah persatuan bangsa-bangsa yang berdaulat. Ini sangat penting saat kita menyongsong liberalisasi perdagangan dan investasi global yang semakin kuat akhir-akhir ini dengan munculnya blok-blok ekonomi antar Negara yang terus meluas. Negara harus memulihkan hak-hak adat dan menegakkan otonomi lembaga-lembaga adat sehingga mereka mampu mempertahankan diri, dan jika dibutuhkan mampu juga melakukan ‘perlawanan’ terhadap berbagai pelanggaran hak politik, sosial, ekonomi dan budaya mereka.

Intervensi negara terhadap sistem politik Masyarakat Adat harus dikurangi seminimal mungkin sehingga kekuatan adat yang masih dimiliki oleh sebagian besar rakyat Indonesia bisa difungsikan untuk menata kembali struktur dasar ‘negara-bangsa’ Indonesia.

Negara harus menjamin kepastian hukum atas hak-hak adat sebagai prasyarat bagi pembangunan bangsa yang mengandalkan pada kekuatan masyarakatnya, termasuk kekuatan untuk menentukan pilihan pembangunan terbaik bagi dirinya sendiri sesuai kemampuan dan cita-cita mereka tentang masa depan yang lebih baik.

Apa agenda kita ke depan? Gerakan Masyarakat Adat menuju otonomi asli (kedaulatan rakyat) sebagai bagian dari gerakan sosial harus memastikan bahwa sistem politik kita menganut demokrasi partisipatif (participatory democracy), perpaduan selaras permusyawaratan dan perwakilan, yang menjamin keterlibatan langsung warga Masyarakat Adat dalam seluruh proses pembuatan kebijakan dan hukum yang mempengaruhi secara langsung dan tidak langsung kehidupannya.

Jalan ke arah ini masih mungkin diupayakan, termasuk dengan memanfaatkan “ruang politik terbatas” yang tertuang dalam UU Partai Politik, UU Pemilu dan UU Pilkada yang baru saja disahkan DPR RI untuk semata-mata jadi pijakan awal melakukan perubahan tatanan politik yang lebih mendasar. 

Sistem politik baru (yang masih berupa cita-cita tentunya) harus mengakomodasi keragaman sistem-sistem politik yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat, termasuk membebaskannya dari intervensi luar yang berlebihan. Kita saatnya kembali ke amanat Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dengan mengakui, menghormati dan melindungi sistim politik lokal di masyarakat adat yang sepenuhnya berdasarkan permusyawaratan (musyawarah) sesuai sistim adat masing-masing.

Ada 2 hal yang harus kita pastikan terjadi di masa depan. Pertama agar politik perwakilan melalui demokrasi liberal tidak masuk ke wilayah-wilayah adat, dan kedua agar politik permusyawaratan ini dikembangkan sebagai cara bagi Masyarakat adat untuk memilih dan menentukan utusan-utusan politiknya ke dalam lembaga-lembaga politik Negara, dari mulai tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi sampai ke nasional atau pusat. 

Untuk itu diperlukan perubahan mendasar terhadap sistem PEMILU agar memungkinkan keikut-sertaan partai politik lokal dan calon independen dari Masyarakat Adat (tanpa partai politik) untuk bersaing memperebutkan kursi anggota di DPR, DPRD (kabupaten dan provinsi).

Untuk tingkat nasional atau pusat, perlu mempertimbangkan kembalinya kehadiran utusan khusus bagi golongan-golongan yang tidak memungkinkan bagi mereka memasuki arena politik demokrasi liberal yang ada saat ini. Juga perlu dipikirkan agar utusan-utusan golongan ini memiliki hak politik kolektif yang kuat dalam menentukan masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang beragam suku dan agama ini.

Dengan keyakinan bahwa perubahan mendasar hanya akan terjadi jikalau dimulai dari “desa/kampung” maka posisi dan peran Masyarakat Adat dan penduduk pedesaan lainnya menjadi sangat penting, yaitu antara lain dengan terus-menerus membangun otonomi asli yang berakar pada budaya politik lokal dan kearifan adat, menerapkan kembali demokrasi deliberatif yang partisipatif dalam pengambilan keputusan bersama di tingkat komunitas, dan menumbuh-suburkan keberanian politik pemimpin-pemimpin lokal untuk “merebut” hak politik komunitas adatnya untuk membangun kesepakatan-kesepakatan bersama di kalangan Masyarakat Adat yang terkait dengan “posisi Masyarakat Adat terhadap negara, modal dan nilai-nilai baru”.

Dari kepemimpinan politik di tingkat komunitas inilah kemudian Masyarakat Adat memperkuat dirinya untuk memimpin perubahan pada tingkat yang lebih luas, khususnya di tingkat kabupaten, dan baru kemudian memasuki kembali arena politik dan advokasi hukum dan kebijakan di tingkat provinsi, nasional dan internasinal. 

Indonesia, sebagai negara-bangsa yang bangunan utamanya adalah komunitas-komunitas Masyarakat Adat, sangat perlu secara pro-aktif mendorong dan mengambil kepemimpinan dalam perumusan instrumen-instrumen hukum internasional yang melindungi hak-hak Masyarakat Adat. Kenapa kita tidak memulai proses pemulihan martabat dan harkat bangsa ini dengan menempatkan adat kita sendiri yang beragam sebagai warisan yang luhur, sebagai sumber ikatan kebersamaan kita sebagai bangsa? dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika!

 



[1] Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) periode 2007-2012 dan 2012-2017

Ikuti tulisan menarik Ende Pancasila lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler