x

Iklan

ridho bilhaq

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Terik Tawa Pelataran Fatahilah

Sejumlah wisatawan menggunakan sepanduk untuk berlindung dari terik matahari di pelataran Museum Fatahilah, Jakarta, 6 nov 2016. ridhobil/tempoinstitute

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejumlah wisatawan menggunakan sepanduk untuk berlindung dari terik matahari di pelataran Museum Fatahilah, Jakarta, 6 november 2016. hal ini disebabkan oleh pohon-pohon yang rimbun untuk tempat berteduh telah banyak yang ditebang.  Ridho bilhaq/tempoinstitute

5 wanita dengan hijab berlari lari kecil serentak berjalan ke tengah pelataran Museum Fatahilah. Mereka berjalan beriringan sambil menutup kepala dengan spanduk bekas untuk menghindari terik matahari. Aduh panas, kata salah seorang dari mereka

Matahari di Kota tua pada ahad pekan lalu terasa sangat terik tanpa hadirnya awan. Matahari bersinar cerah  ditemani langit biru yang membuat suasana menjadi semakin panas di atas kota Jakarta.

Kota tua menjadi salah satu dari beberapa destinasi utama Jakarta yang sering dipadati wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Mereka menikmati wilayah bersejarah itu ditemani dengan berbagai macam hiburan lokal dan juga jajanan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pelataran kota tua kini tak seperti dulu lagi. Kota lama itu sudah jauh dari kata rindang. Wilayah ini memiliki sejumlah pohon besar yang rimbun sehingga suasana menjadi lebih nyaman untuk berjalan  walau di siang hari di masa lalu.

Di hadapan museum fatahilah  terdapat tiga buah pohon besar dengan jenis beringin. Pohon ini menaungi wilayah di bawahnya sebelum akhirnya kini ditebang. Pohon palem kecil setinggi kurang lebih empat meter melengkapi wilayah bersejarah tersebut. Wisatawan biasa berteduh untuk menghilangkan rasa lelah setelah berkeliling seharian menikmati indahnya tempoe doloe. Setidak nya itu yang pernah dirasakan wisatawan sebelum tahun 2013.

Seorang petugas kebersihan menceritakan sejarah hilangnya pohon di kawasan Kota Tua.  “pohon-pohon yang berada di kawasan museum ini udah pada dipangkas buat mencegah  ada nya korban gara gara tumbang. Kondisi itu pohon udah cukup tua. Udah nggak mampu lagi nahan angin kenceng. soalnya bagian dalam itu pohon udah kosong dan rapuh”.

Kini tanpa hadirnya penyangga iklim mikro itu, pelataran Museum Fatahilah tersebut menjadi jauh dari kesan nyaman di siang hari. Terik matahari menyinari para pelancong yang datang untuk menikmati pusat perdagang asia di kala penjajahan dulu. Tidak ada penjelajah kota yang kini bisa megabadikan momen di bawah pohon rindang yang telah menjadi saksi bisu keindahan kota BATAVIA

Panas, gerah, dan tidak adalagi tempat untuk berteduh, membuat sejumlah wisatawan terpaksa menggunakan apapun yang bisa mereka temukan untuk menjadi tempat bernaung. Pinggiran gedung gedung, tenda informasi bahkan spanduk pun menjadi penangkal lugasnya mentari siang itu. “mau diapakan lagi, tempat berteduh udah penuh sesak oleh wisatawan lain. Kami menggunakan spanduk ini supaya bisa bebas berteduh tanpa berdesakan dengan pengunjung lain” ujar salah satu wisatawan.

Keberadaan tumbuhan penyangga iklim mikro sangat dibutuhkan bagi lingkungan sekitarnya. Berdasarkan ilmu Fisiologi Tumbuhan, setidaknya 1 pohon beringin dapat menaungi lebih dari 152 m2 luas permukaan saat berumur di atas 60 tahun. Sehelai daun menyuplai oksigen bagi manusia sekitar 35ml dalam waktu satu hari. Satu pohon beringin terdapat ribuan helai daun. Dengan asumsi 1 pohon beringin memiliki 2000 daun, maka paling tidak 1 pohon beringin dapat memberikan oksigen bagi 280 orang yang ada di sekitarnya untuk seharian penuh. Manfaat lainnya adalah sebagai peredam panas yang membuat iklim mikro sekitar menjadi lebih sejuk.

Pelataran fatahilah saat ini dipenuhi dengan blok blok yang terbuat dari semen berwarna abu abu. Wilayah wisata ini menjadi terlihat lebih bersih dan nikmat dipandang, namun pantulan dari pijakan pejalan kaki tersebut sangat mudah memantulkan panas dari matahari.

Modifikasi satu sistem memang membuat pengaruh pada sistem lainnya. Pemotongan pohon akan berdampak pada wilayah yang lebih bersih dari serasah. Sebaliknya, jika terdapat banyak pohon maka kumpulan serasah akan memenuhi permukaan pelataran dan membuat kawasan itu terlihat kumuh. Namun alangkah indahnya jika vegetasi hijau besar itu tetap ada dan menaungi. Tentunya dibarengi dengan sistematika pengawasan kebersihan yang terorganisir dengan baik, dan juga perawatan terhadap vegetasi sekitar yang memungkinkan tumbuhan tersebut dapat bertahan hidup lebih lama.

Kota tua sudah berbenah dan hasil yang didapat sangat baik. Setidaknya lima tahun lalu kota tua masih dipenuhi dengan sampah yang bertebaran di berbagai tempat. Kita perlu acungkan jempol untuk hal tersebut. Nantinya, pelataran fatahilah akan dikunjungi lebih banyak pelancong, itu berarti tempat untuk bernaung akan semakin terbatas. Jika pohon rindang tak mungkin bisa hadir kembali mungkin saatnya memikirkan hal baru untuk pusat perdagangan asia kala itu. Hal ini agar pengunjung nyaman dan menikmati indahnya saksi sejarah negeri INDONESIA.

Ikuti tulisan menarik ridho bilhaq lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB