x

Iklan

Carmelita Cassandra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Batu Nisan Museum Wayang yang Terlupakan

Ini adalah tulisan feature mengenai prasasti makam Gubernur Jenderal di Museum Wayang kawasan Kota Tua, Jakarta Barat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Empat remaja pengunjung Museum Wayang, Kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, tampak seru melakukan swafoto di depan batu bertuliskan bahasa Belanda. Mereka bergantian juga mengambilkan foto untuk temannya dengan berbagai macam gaya.

Para remaja yang berasal dari Bogor ini mengaku suka dengan batu tersebut karena unik tapi tidak mengetahui apa sebenarnya yang menjadi latar belakang foto mereka. “Memang ini batu apa?” tanya Vergita kepada Tempo Institute. Begitu mereka mengetahui bahwa batu-batu tersebut adalah nisan, dua anggota dari kelompok itu langsung bangkit berdiri dan menyatakan kekagetannya. “Hah….batu nisan!” sedikit berteriak lalu beranjak menjauh.

Sumardi, staf teknis keahlian Museum Wayang, membenarkan bahwa delapan prasasti ini adalah batu nisan.  “Pada abad ke-16 ketika bangunan ini masih dipakai sebagai Gereja, beberapa tokoh Belanda meninggal dan dimakamkan di sini, salah satunya Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Kami tetap pasang di situ prasastinya karena ini adalah lokasi awal dikuburkannya Gubernur Jenderal Coen.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari hasil penelusuran di situs Asosiasi Museum Indonesia, memang Museum Wayang di masa lalunya pernah sebanyak dua kali menjadi lokasi gereja, yaitu Oude Hollandsche Kerk (1640-1732) dan Nieuwe Hollandcshe Kerk (1736-1808).  Lorong masuk menuju Museum Wayang kini menjadi lokasi delapan batu nisan yang bertuliskan bahasa belanda. Sedangkan, makam awal Jan Pieterszoon Coen sekarang telah beralih fungsi menjadi taman hijau yang asri. Tulisan berbahasa Belanda yang ada di bagian belakang taman menyisakan sedikit petunjuk yang menandakan di sinilah lokasi makam gubernur jenderal tersebut.

Taman tersebut berdiri bukan tanpa sebab. Saat berbincang dengan Sumardi, pria yang juga pendalang ini mengungkapkan, “Pengelola museum mencoba menampilkan citra yang berbeda dari bangunan tua yang kumuh. Kalo dibilang kuburan atau makam, kan terkesan angker, ketika tempat ini disulap menjadi taman, bisa memberikan persepsi yang berbeda bagi pengunjung.”

Di sekitarnya tampak banyak pengunjung berlalu lalang melewati area prasasti menuju ruang tampilan Museum Wayang. Beberapa orang tampak sekadar duduk-duduk di depan prasasti batu tersebut sembari beristirahat sejenak sebelum memulai eksplorasi di dalam museum.

Para pengunjung yang memasuki Museum Wayang pasti harus melewati deretan batu nisan ini. Namun sedikit yang tertarik mengamati batu makam ini, umumnya banyak yang berlalu begitu saja seakan prasasti ini hanyalah hiasan dinding semata. Bahkan ada yang dengan santai, dua pemuda menyantap makanan dan minuman sambil bersender di batu nisan. Jelas sekali tidak banyak yang memahami nilai sejarah di balik batu-batu ini dan bagaimana harus bersikap di dekat prasasti ini.

Wajar bila tak banyak pengunjung yang mengetahui kisah di balik prasasti nisan ini. Tak ada keterangan apapun yang menjelaskan mengenai batu nisan tersebut atau setidaknya terjemahan dari inskripsi tersebut dalam bahasa Indonesia. Ditambah pula tulisan yang tertera telah aus karena termakan usia. Larangan untuk menyantap makanan dan minuman pun hanya tertempel begitu saja di salah satu pilar museum dengan ukuran yang kecil dan tidak begitu mencolok.  

Padahal jika disediakan terjemahan dari inskripsi yang tertulis, pengunjung bisa mendapatkan gambaran mengenai batu nisan dan sekelumit informasi mengenai museum Wayang. Prasasti tersebut memiliki inskripsi yang saat dicari padanan kata dalam bahasa Indonesia melalui aplikasi penerjemah, berisikan keterangan bahwa tempat sekelilingnya adalah tempat peristirahatan terakhir bagi beberapa Gubernur Jenderal Hindia Belanda beserta keluarganya. Beberapa nisan menunjukkan nama Gubernur Jenderal Willem van Oudhoorn (1704), Gubernur Jenderal Abraham Patras (1737) dan Gubernur Jenderal Gustaff Willem Baron van Imhoff yang berkuasa pada 1750.

Sementara itu, tulisan yang berada di dekat lokasi makam Gubernur Jenderal Coen, menceritakan bahwa Coen adalah pendiri kota Batavia. Meski hanya sekilas, informasi ini tentunya memiliki unsur historis bila digarap dengan lebih serius.  

Tempo Institute kembali menanyakan tentang minimnya keterangan di sekitar prasasti dan tidak tersedianya terjemahan tulisan kepada Sumardi. Lulusan Sekolah Menengah Karawitan Surakarta jurusan perdalangan ini mengatakan, “Ini masukan yang baik sekali, saya akan komunikasikan dengan pimpinan untuk di masa mendatang.”

Semoga saja dalam waktu yang tidak begitu lama, prasasti-prasasti ini bisa mendapatkan perhatian lebih dari pengelola sehingga ada identitas yang bisa disematkan di batu-batu makam tersebut dan para pengunjung bisa mendapatkan ‘pelajaran’ sejarah singkat dengan mengunjungi Museum Wayang dan bisa menghargai prasasti tersebut bukan hanya sebagai batu tua hiasan dinding yang teronggok di lorong masuk Museum Wayang.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Carmelita Cassandra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu