x

Iklan

akhlis purnomo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memprediksi Nasib Indonesia di Era Trump

Bagaimana nasib Indonesia di era kepresidenan Donald Trump? Ikuti prediksinya di sini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

APAKAH yang akan terjadi pada Indonesia setelah Donald Trump menjadi presiden AS? Pertanyaan itu mungkin sudah terlontar dalam benak kita semua jauh-jauh hari sebelum hasil Pilpres AS ditetapkan, sebelum Trump tampil dan membawakan pidato kemenangannya kemarin (9/11/2016).

Dua tahun lalu, kita masih ingat dua orang politisi terkemuka Indonesia — Fadhli Zon dan Setya Novanto — dirundung habis-habisan di dunia maya karena sudah berfoto dan beramah tamah bersama dengan Trump yang kala itu sudah menyatakan pencalonan dirinya secara terbuka pada seluruh dunia. Kedua politisi ini memiliki citra negatif di mata publik Indonesia karena dianggap memiliki rekam jejak yang kurang bersih dan penuh intrik dalam manuver politiknya (politisi mana yang tidak memiliki intrik?). Foto-foto itu kemudian diikuti dengan isu pembangunan proyek Trump di wilayah Indonesia. Lalu bermunculanlah berita mengenai aset-aset Trump di Indonesia. Trump dikabarkan memiliki aset berupa hotel Bali Nirwana Resort dengan berkongsi bersama pengusaha media Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo atau yang kita kenal bersama sebagai Hary Tanoe.

Kepribadian Trump yang blak-blakan dan praksis dibandingkan dengan Clinton yang penuh kerahasiaan dan retorika memang menjadikannya sosok yang mengundang perhatian selama ini. Pernyataan-pernyataannya hampir selalu mengundang kernyit di dahi orang. Dalam berbagai kesempatan, media mengkritik pernyataan-pernyataan Trump yang mengutip data-data secara serampangan dan kurang (jika tidak bisa dikatakan “sama sekali tidak”) akurat. Para fact checker di media-media arus utama sampai-sampai berkeluh kesah sudah lelah bekerja terlalu keras sepanjang Trump berpidato.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejumlah pihak menyatakan langkah Trump ke depan tidak bisa diramalkan. Itu karena sejak awal Trump tidak menunjukkan adanya pola pemikiran yang jelas. Selain itu, ia tidak memiliki pemahaman dan apresiasi terhadap sejarah, diplomasi, kerjasama dan strategi dalam percaturan dunia. Sebagai entrepreneur dan pengusaha properti, mungkin kita harus akui kepiawaian Trump tetapi dalam ranah politik ia memiliki pengalaman yang jauh dari kata memadai.

Menurut catatan media, Trump telah membuat beberapa pernyataan yang tidak populer dan hampir tidak bisa dipahami oleh para politisi. Contohnya pernyataannya yang menyinggung soal penarikan AS dari organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO (North Atlantic Treaty Organization). Mengapa ini wacana keluarnya AS dari NATO membuat dunia bergidik? Karena jika benar wacana itu direalisasikan pemerintahan Trump, ia akan membuka jalan bagi Jepang dan Arab Saudi untuk memiliki dan mengelola senjata nuklir mereka sendiri. Dengan begitu, penggunaan senjata nuklir di Eropa dan Timur Tengah akan meluas. Di titik ini, akan terjadi sebuah dekonstruksi dalam tatanan dunia yang sudah mapan sejak berakhirnya Perang Dunia II.

Trump mengeluarkan pernyataan-pernyataan tersebut seolah tanpa perhitungan dan pertimbangan masak-masak mengenai konsekuensinya ke depan bagi AS sendiri dan kestabilan dunia. Dan gilanya lagi, Trump melemparkan wacana-wacana tadi dan memicu keributan dan polemik di masyarakat kemudian saat dikonfrontir setelah itu, ia mengatakan menarik kembali pernyataan tersebut atau yang lebih memalukan lagi, menyangkal pernah mengeluarkan pernyataan yang dimaksudkan. Begitu sulitnya meramalkan strategi dan langkah Trump berikutnya, hingga di satu titik kita tidak bisa lagi mengikuti jalan pemikirannya. Tidak ada satu tempat di dunia ini yang siapapun bisa katakan aman dari pengaruh Trump yang akan memegang kendali dalam kebijakan luar negeri, diplomasi, militer Negeri Paman Sam. Setiap pihak yang selama ini berupaya keras untuk menjaga perdamaian dunia agar perang nuklir tidak terjadi seolah tengah menahan napas dan berjaga dari skenario terburuk dalam benak mereka.

Karena Trump seorang pebisnis pragmatis yang cerdik dan bereputasi tinggi dalam hal kehumasan yang taktis (sebagai langkah untuk menutupi semua rekam jejaknya yang tidak begitu mengesankan publik). Dengan asumsi ini, hubungan Indonesia dan AS nantinya semasa Trump berkuasa akan didominasi oleh transaksi perdagangan, kebijakan komersial, dan sejenisnya daripada hubungan di bidang-bidang lain. Asumsi ini juga diperkuat dengan masih lemahnya pertumbuhan ekonomi dalam negeri AS. Diharapkan dengan kerjasama ekonomi yang lebih baik dengan Indonesia, AS akan mendapatkan lebih banyak keuntungan demi menata kembali ekonomi yang masih morat-marit sehabis terpukul badai krisis keuangan akhir 2000-an. Ramalan ini diperkuat dengan adanya berita bahwa Trump pernah berencana membangun Disneyland di Bogor bersama pengusaha nasional sekaligus politisi pendiri Perindo, Hary Tanoe.

Masih dalam bidang perekonomian, Indonesia bisa jadi akan menikmati kenaikan mata uang upiahnya. Penguatan nilai tukar rupiah kita akan terjadi seiring dengan melemahnya dollar AS karena pasar kurang begitu menyukainya. Namun, ternyata tidak begitu juga kenyataannya. Sehari setelah Trump menyatakan kemenangan, nilai tukar rupiah kita hanya turun tipis. Para analis mengatakan penguatan akan terjadi begitu keterkejutan pasar sirna nantinya. Pelemahan dollar AS yang siginfikan malah membuat rupiah tidak begitu terperosok. Untuk hal ini kita masih harus menunggu. Tetapi yang pasti, jika memang rupiah akan menguat dan dollar AS turun, kita akan bisa menikmati lebih banyak barang impor dengan harga lebih rendah.

Dalam bidang geopolitik, Trump mungkin akan menghindari konflik dengan Tiongkok terutama terkait dengan isu Laut Tiongkok Selatan sehingga nantinya akan muncul tantangan bagi para diplomat Indonesia untuk bertugas dalam memenangkan diplomasi di teritori laut yang bermasalah itu.

Tiongkok akan memiliki kekuasaan lebih kuat di kawasan Asia Tenggara. Secara de facto, Asia Tenggara sudah menjadi wilayah sekutu Tiongkok secara politik dan ekonomi. Bila AS sembrono lagi, Tiongkok akan menjadi raksasa yang lebih menyenangkan bagi dunia dalam percaturan politik. Namun, dalam konteks perpolitikan Asia Tenggara mungkin ia akan menjelma sebagai sebuah kekuatan ‘jahat’ bagi bangsa-bangsa Asia Tenggara termasuk Indonesia. Dan karena bangsa-bangsa Asia Tenggara memiliki ketergantungan tinggi pada ekonomi Tiongkok, nantinya diprediksi akan ada kenaikan ketegangan geopolitik.

Tentang sikap politik Trump yang anti Muslim, Indonesia tampaknya akan makin dibanjiri dengan wacana-wacana radikal karena sebagaimana kita ketahui bersama, para politisi sayap kanan Islam seperti PKS, FPI dan kelompok pengikut Islam garis keras di nusantara akhir-akhir ini makin giat dalam aktivitasnya. Diperkirakan dalam masa pemerintahan Trump, mereka akan terus menyerukan sentimen anti Barat (baca: anti Amerika Serikat) apalagi setelah pernyataan anti Muslim dari Trump yang seolah-olah sudah ‘menjelma sebagai Dajjal’ di mata mereka. Gerindra dan politisinya seperti Fadhli Zon diprediksi akan menunggangi rasa permusuhan yang sengit dalam kelompok Muslim taat di Indonesia dan berupaya mengalihkan perhatian publik dan membuat mereka lupa bahwa ia pernah berfoto akrab bersama Trump.

Trump mungkin akan menerapkan kebijakan visa yang lebih ketat dari sebelumnya sebagaimana yang dilakukan Inggris pasca Brexit. Namun yang patut digarisbawahi sekali lagi ialah bukan imigran legal tetapi imigran gelap-lah yang dibenci di AS.

Kaum Muslim yang sudah mengantongi izin tinggal dan kerja bahkan sudah memiliki green card untuk tinggal permanen di sana tidak akan mengalami perbedaan dalam banyak hal di kehidupan mereka setelah Trump bertahta. Sebagian orang berseloroh orang Islam akan dicekal jika ingin memasuki teritori AS. Hemat saya itu terlalu berlebihan dan paranoid. Imigran gelap, Muslim atau tidak, tentu harus dideportasi. Dan yang tidak berubah tentu adalah fakta bahwa komunitas Muslim AS masih akan menjadi objek pengawasan dan penyadapan oleh FBI dan layanan intelijen lainnya sejak Tragedi 9 September 2001.

Yang berubah mungkin ialah sikap yang diambil pemerintahan Trump terhadap calon imigran yang beragama Islam. Di sini, sangat mungkin terjadi pengetatan dalam proses penyaringan dan segala prosedur yang harus dijalani. Kata Trump sendiri, “pemeriksaan ekstrem” akan diberlakukan bagi setiap Muslim termasuk Muslim dari negeri kita yang hendak berkunjung ke AS.

Sebagai sebuah bangsa secara keseluruhan, tampaknya Indonesia tidak akan banyak melakukan perubahan terkait dengan peralihan pemegang tampuk kekuasaan di AS sepanjang pemerintahan baru yang dinahkodai Trump tidak mengancam kedaulatan atau kestabilan dalam negeri Indonesia.

Pengaruh kemenangan Trump pada Indonesia bisa jadi tidak sebesar yang kita bayangkan karena beberapa sebab. Pertama ialah karena volume perdagangan kita dengan AS relatif kecil, yaitu hanya mencapai sekitar 2,5 miliar dollar AS. Kedua, Indonesia tidak memiliki kerjasama militer atau politik apapun dengan AS sejauh ini karena kita masih memegang teguh prinsip “bebas aktif” dalam berhubungan dengan negara-negara lain. Kerjasama dalam bidang sains dan teknologi kita dengan AS pun tidak begitu signifikan. Dalam sektor pariwisata, AS juga bukan negara penyumbang kunjungan terbesar wisatawan mancanegara di nusantara. Indonesia tidak pernah menjalin kerjasama yang sangat erat dengan AS karena adanya komitmen Indonesia terhadap Gerakan Non Blok semasa Presiden Sukarno dan ini tetap terpelihara sampai sekarang. Dengan kata lain, hubungan bilateral kita dan AS tidak dapat dikatakan dekat dan erat tetapi juga bukan musuh bebuyutan satu sama lain bagaikan mereka dengan Korut dan Iran atau bahkan Kuba (yang mulai mencair akhir-akhir ini berkat negosiasi pemerintahan Obama). Berdasarkan asumsi ini, dapat diramalkan kebijakan Trump terkait Indonesia tidak akan banyak berubah dibandingkan dengan kebijakan pemerintahan Obama.

Argumen ini akan makin kokoh jika kita pertimbangkan juga kecenderungan kerjasama ekonomi kita akhir-akhir ini yang lebih banyak melibatkan Tiongkok daripada AS. Hal ini berbeda dari masa Orba dan pemerintahan SBY yang mengutamakan AS. Pemerintahan Joko Widodo kini lebih banyak menggandeng Tiongkok sebagai mitra dalam pelaksanaan sejumlah proyek gabungan untuk menggarap pembangunan infrastruktur demi menggenjot pertumbuhan ekonomi di tengah masih lesunya perekonomian dunia. Maka, bila pemerintahan Trump menerapkan kebijakan yang memicu kontroversi dan berpotensi memicu kebencian dari kelompok Muslim Indonesia, Tiongkok mungkin bisa sedikit memperoleh keuntungan dari hal tersebut karena kebencian terhadap mereka akan teralihkan. Sebagaimana kita ketahui bersama, sentimen anti Tiongkok makin menguat terutama setelah munculnya tuduhan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama.

Sekali lagi, yang pasti ialah Trump bukan sosok penakut. Ia sungguh seorang pemberani karena telah berjuang mati-matian bertarung hingga saat ini meskipun harus menghadapi cemoohan dan kritikan banyak pihak. Semua analis dan komentator dan pengamat politik hingga mantan presiden AS sekalipun tidak memihaknya dan bertaruh ia akan terjegal oleh Hillary Rodham Clinton. Namun, kita saksikan bersama-sama Trump sukses membuktikan mereka semua salah dari waktu ke waktu. (*)

Foto: Wikimedia Commons

Ikuti tulisan menarik akhlis purnomo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler