x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Einstein, Soliter Sekaligus Sosial

Lebih dari seorang fisikawan penyendiri, Albert Einstein berjalan melampaui batas-batas keilmuannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
"Perbedaan antara kebodohan dan kejeniusan ialah bahwa kejeniusan punya batas-batasnya.'
--Albert Einstein (1879-1955)

 

Dunia sedang dicekam kegentingan menjelang pecahnya Perang Dunia II. Jerman ketika itu berada di bawah kekuasaan absolut Adolf Hitler dengan ambisi yang menakutkan. Bahkan, sejumlah ilmuwan khawatir bahwa Jerman akan mengembangkan bom atom untuk menyerang bangsa-bangsa lain. Kepada Albert Einstein, fisikawan Leo Szilard dan Enrico Fermi mengatakan bahwa sejumlah ilmuwan Jerman sedang meneliti atom dan uranium.

Kedua fisikawan itu mendesak Albert Einstein agar menulis surat kepada Presiden AS Franklin D. Roosevelt mengenai potensi Jerman untuk membuat bom atom. Tiga pucuk surat dilayangkan kepada Roosevelt hingga ia memerintahkan para ilmuwan militer AS untuk memulai pengembangan bom atom melalui program Proyek Manhattan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apa yang terjadi kemudian? AS berhasil menciptakan bom atom, yang kelak dipakai untuk menghancurkan Nagasaki dan Hiroshima, sedangkan Jerman gagal. Melihat kehancuran yang ditimbulkan bom atom Amerika di Jepang, Einstein menyatakan penyesalannya. “Andaikan saya tahu Jerman akan gagal membuat bom atom, saya tidak akan melakukan apa-apa.”

Apapun yang terjadi kemudian, surat kepada Roosevelt itu merefleksikan kepedulian Einstein—juga pengaruhnya yang besar—kepada masa depan kemanusiaan yang terancam oleh kekuatan nuklir. Einstein, ketika itu, telah mencapai salah satu puncak keilmuan dalam fisika dan tengah berperan dalam wilayah-wilayah yang melampaui bidang keahliannya.

Karya Alice Calaprice, The Ultimate Quotable Einstein, memperlihatkan jangkauan minat dan perenungan Einstein: perdamaian, Tuhan, pendidikan, teman-teman, anak-anak, serta musik. Einstein kerap bermain piano atau biola di tengah kesibukannya memelajari dan mengembangkan fisika. Barangkali, musik sangat membantunya menemukan gagasan di tengah tekanan besar untuk meraih pencapaian ilmiah tertentu.

Orang kerap membayangkan apakah Einstein akan sehebat yang dipujikan orang bila ia bukan fisikawan? Katakanlah, menjadi seorang musisi! Sebab, Einstein pernah mengatakan, “Seandainya aku bukan fisikawan, aku mungkin menjadi musisi. Aku sering berpikir di dalam musik. Aku menghidupkan mimpin-mimpiku dalam musik. Aku melihat kehidupanku dalam tuturan musik. Aku sangat mendapatkan kenikmatan dalam hidup dari biola.” (wawancara dengan G.S. Vierack, Saturday Evening Post, 26 Oktober 1929).

“Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan,” kata Einstein, “Pengetahuan terbatas. Imajinasi melingkupi dunia.” Orang kerap mengutip perkataan ini, dan relevansinya masih terasa ketika banjir informasi dan pengetahuan mengepung kita lewat internet. Di tengah kecenderungan untuk serba cepat di zaman sekarang, membaca kutipan kata-kata Einstein yang dihimpun Calaprice dalam The Ultimate terasa berharga.

The Ultimate, yang diterbitkan Princeton University Press, menunjukkan bahwa Einstein terbuka terhadap gagasan baru. Meski begitu, nilai-nilai kemanusiaannya yang paling dasar tidak pernah berubah: “Manusia dapat menemukan makna kehidupan hanya dengan mengabdikan dirinya kepada masyarakat.”

Sebagai orang yang berdarah Yahudi, ucapan-ucapan Einstein menunjukkan pergulatannya dalam berbagai isu ke-Yahudi-an. Satu saat ia mengatakan, “Seandainya kita tidak harus hidup di antara orang-orang yang tidak toleran, berpikiran sempit, dan keras, aku akan jadi orang pertama yang menafikan semua nasionalisme dan lebih memilih kemanusiaan universal.” Sindiran yang keras terhadap ide zionisme.

Einstein juga mengaku sebagai seorang determinis, sebagaimana ia sangat dikenal dengan ucapannya “Tuhan tidak bermain dadu” dalam konteks salah satu isu fisika yang krusial, mekanika kuantum. Ia mengungkapkan posisi yang sama ketika berbicara tentang Yahudi. “Aku tidak memercayai kehendak bebas. Yahudi percaya kehendak bebas. Mereka percaya bahwa manusia membentuk kehidupannya sendiri. Aku menampik doktrin itu secara filosofis. Dalam pengertian itu, aku bukan seorang Yahudi.”

Sebagai pencari kebenaran, Einstein tak kenal letih hingga akhir hayatnya. Kendati mengaku bahwa dirinya adalah tipikal penyendiri dalam kehidupan sehari-hari, tapi, kata Einstein, “Kesadaranku bersama komunitas tak terlihat, yang terdiri dari mereka yang mencari kebenaran, keindahan, dan keadilan, telah mencegahku dari perasaan terisolasi.”

Itulah dua sisi pribadi Einstein: soliter sekaligus sosial. (Foto: Einstein dan Leo Szilard sedang mempersiapkan surat untuk Roosevelt; NNSA) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler