x

Iklan

fauzi sukri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Verenginging Bibliotheek

Usaha Tan Malaka membangun perpustakaan dan semangat berkurikulum buku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Memberikan haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup dengan jalan pergaulan.”—Tan Malaka

 

Tan Malaka membuat laporan yang sekaligus evaluasi dari sekolah yang didirikannya, “S.I Semarang dan Onderwijs” yang dimuat di Soeara-Ra’jat, Organ Perserikatan Kommunist India pada Desember 1921. Keahlian Tan Malaka yang dipelajarinya di Sekolah Guru di Haarlem, Belanda, adalah mengajar, menjadi guru. Setelah lulus mendapat ijazah guru, dia mendapat jabatan sebagai guru di Senembah Maatschappij, satu  perusahaan tembakau yang besar di Deli. Di sana dia terhentak oleh kondisi buruh yang menjadi budak perkebunan dan sering diperlakukan dengan hina. Tan Malaka juga harus menghadapi masyarakat Deli yang sangat rasis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tan Malaka hendak mengubah “rooster (daftar pengajaran)” atau kurikulum yang harus diajarkan untuk anak-anak kaum buruh. Dia ingin anak-anak buruh diajari keterampilan kerja praktis dan kemampuan manual, agar kelak bisa mandiri dan merdeka. Maka dia terlibat masalah dengan guru Belandanya yang tak mau berdiskusi dan mengubah kurikulum. Tanpa perubahan kurikulum, pengajaran-pndidikan hanya akan menguntungkan tuan perkebunan. Tan Malaka tidak berdaya. Akhirnya, pada Februari 1921 dia pindah ke Jawa.

Tan Malaka kemudian bergabung dengan Partai Komunis Indonesia yang berpusat di Semarang. Di sini dia mendapatkan tugas mendirikan sekolah yang sesuai dengan kaum kromo, S.I. School, yang menjadi pesaing Hollandsch-Inlandsch School (HIS), sekolah terbuka dan terbatas untuk pribumi. Di tangan Tan Malaka, S.I. School berkembang pesat bahkan banyak permintaan dari berbagai daerah. Pada Desember tahun pertama, Tan Malaka menulis “S.I Semarang dan Onderwijs” tersebut.

Yang menarik, terkait dengan kondisi kurikulum pendidikan kita saat ini adalah, bagaimana murid-murid S.I. School mengembangkan vereningin bibliotheek sendiri. Tan Malaka memang dengan sengaja tidak “rooster (daftar pengajaran)” yang ketat. Tapi, dengan kecintaannya pada buku-buku Tan Malaka mengajarkan pentingnya membaca dan kesadaran pustaka. Barangkali Tan Malaka sadar bahwa secanggih dan sebagus apapun kurikulum, tanpa kecintaan dan kegirangan pada pustaka, buku kurikulum tidak akan berhasil bahkan hanya akan menjadi beban mental bagi siswa. Yang pertama dan utama adalah, seperti dasar pedagogik Tan Malaka, “Memberikan haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup dengan jalan pergaulan.”

Dengan ini, seperti yang dibuktikan Tan Malaka, “Anak-anak kita akan terus bikin propaganda untuk Bibliotheek-nya tadi. Selama ini disambut dengan girang hati, begitu juga murid-murid S.I. ada berpengharapan yang kasnya akan lekas terisi derma dan lemarinya akan terisi buku-buku yang dikehendaki.” Murid-murid S.I. School dengan kesadaran sendiri membentuk Verenginging Bibliotheek (perkumpulan pecinta-pembaca buku) dalam pergaulan kehidupan mereka.

Tan Malaka memberikan kebebasan pada para muridnya, dalam memilih dan membaca buku-buku yang mereka suka. Hasilnya memang memuaskan. Secara umum, hal ini sama dengan pendapat tokoh pemikir pendidikan kritis Paulo Freire. Dalam salah satu tulisannya, Perilaku Belajar, Freire (2007: 29) mengatakan, “Pembaca harus mengetahui peran dirinya.” Di hadapan buku, termasuk buku kurikulum, seorang pembaca yang benar-benar hendak belajar tidak boleh hanya termotivasi oleh ketertarikan atau terpesona daya pikat kata penulisnya, kekuatan magis, dan terutama bersifat pasif yang hanya menghafalkan atau membiarkan diri diserbu, tanpa hendak mengkritisi atau menolak. Seseorang “harus bersikap” terhadap buku yang dibacanya, termasuk terhadap dunia yang dihadapinya, menjadi subjek pembelajar, bukan objek pengajaran (Freire: 2007: 31).

Permasalahannya, termasuk dengan buku teks kurikulum atau buku pedoman guru, adalah kesadaran kritis sebagaimana yang dilakukan oleh Tan Malaka dan kecintaan mendalam guru pada buku. Inilah tugas moral yang berat bagi para guru.

Ikuti tulisan menarik fauzi sukri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB