x

Salah satu karya dalam pameran Boeng Ajo Boeng yang merupakan hasil kerjasama antara Kreavi dan Tempo, di Palmerah, Jakarta, 10 November 2016. Tempo/Jati Mahatmaji

Iklan

akhlis purnomo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Langkanya Berita yang Bercerita di Indonesia

Menulis berita dengan gaya bercerita bukan keahlian yang sembarang orang miliki. Buktinya, hanya segelintir yang mumpuni.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

TAHUN 1971, Tempo didirikan oleh Goenawan Mohamad dkk. Mereka ini tidak pernah bercita-cita membuat Tempo sampai sedemikian besar dan bertahan lama. Mereka menggalang para penulis dan sastrawan pada era itu dengan beberapa profesional (baca: sarjana). Sebelumnya mayoritas orang di dalam Tempo hanya jebolan sekolah-sekolah dan kampus. Cuma satu yang lulus dari perguruan tinggi.
 
Para penulis dan pegiat sastra ini sengaja dipilih para pendiri Tempo dengan alasan tidak ada sekolah menulis di Indonesia. Sedangkan Tempo ingin membuat majalah berita yang memiliki keunikan tersendiri, berbeda dari koran harian yang mementingkan hard news. Majalah ini didirikan untuk menceritakan kisah di balik berita (stories behind the news). Jadi sangat berbeda dari apa yang disuguhkan oleh majalah dan koran pada umumnya di Indonesia saat itu. Pun hingga masa sekarang. Di samping itu, ada juga keinginan untuk membuat Tempo menjadi sebuah media yang mencerminkan semangat literary journalism yang diperkenalkan Tom Wolfe.
 
Di sini, di Tempo ini, kita dapat saksikan pentingnya kemampuan menulis tiga babak. Para pendiri Tempo seolah menjadikan kemampuan menulis tiga babak ini sebagai standar bagi calon wartawan agar bisa bergabung. Tempo menyuguhkan berita-berita yang sama dengan media lain tetapi kelebihannya ialah cara menyajikannya yang bercerita.
 
Kenapa orang Indonesia kesulitan saat harus menulis dengan gaya bercerita? Diduga keras karena sekolah-sekolah kita tidak memiliki mata pelajaran khusus yang mengajarkan kemampuan menulis kreatif (creative writing). Cuma tata bahasa. Sedikit sekali sastra, itupun hanya menghapal nama-nama sastrawan tempo dulu. Sehingga saat anak-anak Indonesia sudah lu;lus perguruan tinggi, hanya sebagian kecil yang bisa menulis atau berbicara dengan gaya bertutur tiga babak.
 
Sementara itu, Indonesia masih terus ketinggalan dalam hal pengajaran menulis kreatif. Tidak perlu menengok jauh-jauh ke benua lain, karena di kawasan Asean saja sudah ada negara-negara tetangga yang lebih memperhatikan kemampuan menulis kreatif bagi anak-anak usia sekolah.
 
Tempo terus berjuang untuk menumbuhkan semangat menulis ini dalam jiwa anak-anak muda Indonesia. Caranya berbagai macam. Yang paling rutin ialah dengan menggelar banyak acara menulis kreatif di mana-mana yang membidik berbagai kalangan. Ini semua agar tidak cuma satu kelompok eksklusif yang bisa menulis bak pujangga tetapi juga sebanyak mungkin orang di luar sana.
 
Munculnya internet berdampak positif. Bagaikan pupuk, internet menyuburkan minat orang Indonesia menulis dengan lebih bebas, tanpa mesti melalui kanal-kanal resmi yang sulit ditembus seperti media cetak yang redakturnya sangat selektif memilih karya yang akan dipublikasikan. Dengan internet, ternyata semua orang mampu menulis. Tak peduli mutunya, yang lebih penting ialah bagaimana menggalakkan semangat menulis dulu. Barulah jika sudah tumbuh semangat itu, dipelihara dan disempurnakan kembali seiring berjalannya waktu.
 
Anak-anak generasi milenial sudah memulai menulis berkat demam internet dan media sosial. Tetapi satu yang patut diperhatikan ialah bagaimana memilih referensi atau rujukan yang kredibel. Menyandarkan kredibilitas tulisan terhadap sumber-sumber media sosial dan laman daring mungkin sudah dianggap lazim sekarang tetapi masih sangat diimbau untuk menggunakan buku-buku yang lebih ‘serius’ sebagai rujukan yang lebih meyakinkan. Jadi riset itu artinya adalah membaca dan memilah bagian tulisan dalam buku yang mendukung argumentasi kita dalam menulis kreatif nanti. Riset TIDAK bisa dengan ceroboh disederhanakan sebagai “mencari sumber dengan Google”. Dalam kondisi tertentu, diperbolehkan tetapi jika ada buku yang menunjang dan relevan dengan topik yang akan dibahas, akan lebih baik menggunakan buku.
 
Tidak hanya dalam menulis berita, dalam menulis apapun kita butuh lead atau pembuka atau perkenalan. Lead merupakan satu cara untuk merebut perhatian pembaca. Selain sinopsis, bagian pembuka menjadi penentu apakah sebuah buku atau tulisan panjang pantas untuk dibawa pulang atau dikembalikan ke rak buku kembali. (*)

Ikuti tulisan menarik akhlis purnomo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler