x

Relawan KPU gunakan sepeda motor untuk distribusikan kotak suara ke TPS di Jakarta, 8 Juli 2014. (AP/Tatan Syuflana)

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

4 Reputasi Internasional Pemilu Kita ~ Ramlan Surbakti

Sistem pemilu Indonesia justru memiliki empat reputasi internasional dalam ketidaksederhanaannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemilu yang Tidak Sederhana

Ramlan Surbakti

Guru Besar FISIP Universitas Airlangga

Kesederhanaan merupakan kriteria universal sistem pemilihan umum (pemilu) yang baik agar sistem itu mudah dipahami oleh pemilih dan kader partai serta dapat dilaksanakan secara efisien oleh penyelenggara pemilihan. Namun sistem pemilu Indonesia yang berlaku selama ini justru memiliki empat reputasi internasional dalam ketidaksederhanaannya. Keempat reputasi itu akan dijelaskan dan dibandingkan dengan sistem pemilu dalam Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu, yang kini sedang dibahas di DPR.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Reputasi internasional pertama adalah sistem pemilu proporsional terbuka, yang selama ini dilaksanakan dan merupakan sistem pemilu paling kompleks di dunia sehingga sukar dipahami, bukan hanya oleh pemilih awam, tapi juga kader partai. Kompleksitas itu setidak-tidaknya tampak dalam tiga aspek: jumlah alternatif pilihan sangat banyak (memilih dari sekurang-kurangnya 36 dan sebanyak-banyaknya 144 nama calon), alternatif memberikan suara dengan mencoblos satu nama calon dan/atau satu tanda gambar (yang diatur dalam UU Pemilu justru jauh lebih rumit), serta metode kuota bilangan pembagi pemilih (BPP) yang bertingkat-tingkat dan pengertian sisa suara yang diperluas (jumlah suara yang tidak mencapai BPP juga dikategorikan sebagai sisa suara).

Sistem pemilu yang diajukan pemerintah dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu diberi nama sistem pemilu proporsional terbuka terbatas. Sistem ini dalam prakteknya sangat sederhana, tapi penyebutannya kompleks. Desain surat suara memuat nomor urut dan tanda gambar partai politik serta nomor urut dan nama calon, tapi pemilih diminta mencoblos satu tanda gambar partai. Penetapan calon pemangku kursi partai dilakukan berdasarkan nomor urut calon dalam daftar partai. Keterbukaan itu seharusnya diwujudkan melalui keterlibatan para anggota partai dalam memilih calon dari daftar yang diajukan oleh pengurus partai.

Pemilu paling besar di dunia yang diselenggarakan dalam satu hari merupakan reputasi internasional kedua. Pemilu paling besar di dunia tentu bukan di Indonesia, melainkan India. Namun India menyelenggarakan pemilu anggota parlemen di semua negara bagian secara tidak serentak, melainkan dalam beberapa minggu. Indonesia menyelenggarakan pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sekaligus. Bayangkan bila pemilu presiden dan wakil presiden juga diselenggarakan bersamaan dengan pemilu legislatif tersebut pada 2019. Pemilu borongan seperti ini tidak hanya akan memberatkan penyelenggara pemilu, tapi juga sangat memusingkan para pemilih.

Dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu belum ditegaskan apakah pemungutan dan penghitungan suara untuk kelima lembaga itu akan diselenggarakan pada hari dan tanggal yang sama atau tidak. Sistem yang semestinya diadopsi adalah pemilu nasional (pemilihan presiden serta anggota DPR dan DPD), yang diselenggarakan 30 bulan lebih awal daripada waktu penyelenggaraan pemilu lokal (pemilihan kepala daerah dan parlemen daerah).

Proses rekapitulasi paling panjang di dunia merupakan reputasi internasional ketiga. Rekapitulasi hasil pemilihan presiden dan anggota DPR berlangsung pada lima tingkat, dari panitia pemungutan suara sampai KPU pusat. Rekapitulasi hasil pemilihan anggota DPRD provinsi berlangsung empat tingkat, sedangkan rekapitulasi hasil pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota berlangsung dalam tiga tingkat. Proses rekapitulasi hasil pemilu jenis apa pun di negara demokrasi lain hanya satu tingkat, bahkan tidak ada penghitungan suara pada tingkat tempat pemungutan suara, kecuali Myanmar dan Tunisia. Proses rekapitulasi yang panjang ini tidak hanya memperlambat waktu penetapan dan pengumuman hasil pemilu, tapi juga membuka kemungkinan manipulasi hasil penghitungan suara di setiap tingkatan.

Proses rekapitulasi hasil penghitungan suara yang diadopsi dalam RUU Pemilu tersebut masih sama dengan apa yang dilakukan selama ini. Reputasi itu ternyata masih dipertahankan. Proses rekapitulasi yang paling sederhana/cepat tapi aman adalah menggunakan perangkat elektronik dengan masukan data pada tingkat desa/kelurahan (e-recapitulation). Setelah selesai pemungutan dan penghitungan suara di TPS, data hasil pemilu berdasarkan sertifikat hasil penghitungan suara segera dimasukkan dalam perangkat elektronik. Penggunaan perangkat ini dapat dilaksanakan oleh KPU sebagai prosedur resmi hanya bila prosedur tersebut diperintahkan dalam UU Penyelenggaraan Pemilu.

Reputasi internasional yang keempat adalah KPU Indonesia yang tiada duanya di dunia karena tidak hanya berperan sebagai pembuat peraturan dan kebijakan, tapi juga terlibat secara teknis dalam pelaksanaan setiap tahapan pemilu. Padahal, anggota KPU di negara demokrasi lainnya hanya berperan dalam pembuatan peraturan dan kebijakan. Hal ini tidak lain karena tugas Sekretariat Jenderal KPU dalam RUU Pemilu hanya "membantu KPU menyelenggarakan pemilu". Tidak aneh bila anggota KPU harus bekerja "48 jam dalam satu hari".

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo pada 16 November 2016

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

2 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB