x

Lingkaran Survei Indonesia (Denny JA) merilis hasil survei terbaru efek elektoral pasca Ahok menjadi tersangka di kantor LSI, Jakarta Timur, Jumat, 18 November 2016. TEMPO/DENIS RIANTIZA

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ahok Bersinar-sinar Nalar

Ahok dibikin menjadi tersangka dan malah makin bersinar terang benderang. Menerangi bukan hanya Jakarta tetapi bikin terang benderang perkara Nalar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ahok Bersinar-sinar Nalar

 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ahok dibikin menjadi tersangka dan malah makin bersinar terang benderang.  Menerangi bukan hanya Jakarta tetapi bikin terang benderang perkara Nalar.

 

Masalahnya, Nalar itu segala-gala. Dengan Nalar pendasar kebenaran, apa saja bisa dibuktikan ternyata apa saja yang lain, siapa saja bisa dibuktikan ternyata siapa saja yang lain. Sejarah peradaban telah mencatat selama berabad-abad Nalar telah berjuang tiada kenal lelah untuk menunjukkan beda Kebenaran dari Kepalsuan.

 

Berkat Nalar, benar disebut benar dan salah disebut salah, tidak bisa lain. Nalar itu sederhana, jujur, apa adanya, anti mulur mungkret, tidak ruwet, spontan, polos, letaknya di otak manusia: pusat, sumber dan dasar segala-gala.

 

Masalahnya lagi, segala sesuatu berangkat dari otak manusia. Hanya dari otak manusia, segala sesuatu ada, tercipta, eksis. Tanpa otak manusia, tak ada apa-apa, tak ada siapa-siapa, tak ada mengapa, tak ada di mana, tak ada mengapa, dan tak ada kapan. Otak itu sumber pancaindra. Berkat otak, aku mengenal dan menghayati aku, serta mengenal dan menghayati segala yang bukan aku.

 

Bukan aku itu bisa Ahok, engkau, dia, mereka, langit, angin, kutu, kursi, bawang, kecoak, lentera, partai, DPR, rupiah, presiden, MPR, KPK, FPI, NU, malaikat, setan, segala dongeng, semua tahyul, Al Quran, Talmud, Injil, Kawruh Jiwa, jutaan buku profan dan ratusan ribu kitab yang disebut suci.

  

 

OOOOO

 

Ahok?

 

Asal usul Ahok itu Banhok, panggilan khusus dari ayahnya. Ban itu puluhan ribu dan Hok itu belajar. Ban dan Hok bersatu menjadi Banhok  yang artinya belajar sebanyak mungkin, puluhan ribu kalau bisa, semua bidang. Itulah harapan sang ayah agar hidup sang putra berhasil, dengan cara  belajar sebanyak mungkin. Banhok itu lama-lama menjadi Ahok. Yang belajar dan belajar. Dengan Nalar.

 

Justru gara-gara menggunakan Nalar itulah Ahok dikacaubalau dengan huru-hara perebutan kuasa berbasis kemaruk uang, diarsiteki bahaya laten orbaisme bersama kawanan bandit yang saling tunggang tak jelas siapa tunggang siapa mirip laku promuskuitas barbar, lalu memanfaatkan sekaligus dimanfaatkan kaum fanatik pemuja budaya pemburu kaum kafir yang tiada henti berkhayal mau menegakkan Negara Teokrasi zaman barbar abad  VII.  No way! NKRI harga mati.

 

Itulah intisari terfundamental dalam hiruk pikuk kasus Ahok sampai tercipta 411 dengan akhir Ahok menjadi tersangka.Tapi, usai ditetapkan menjadi tersangka, dukungan untuk Ahok malah mengalir deras, menganginkan produk LSI yang menyebut elektabilitas Ahok jeblok.  Salah satu dukungan bermunculan lewat  twitter.  Tanda pagar #KamiAhok menjadi trending topik di jejaring sosial media. Cuitan-cuitan  para netizen mayoritasnya memberi dukungan kepada Ahok.

 

OOOOO

 

Yang jelas, sekarang Ahok menjadi tersangka!  Ya tidak ada apa-apa, asal NKRI tetap jaya dengan hatinurani berdasar Nalar  yang tetap terletak di tempat tertinggi.

 

Apalagi, tersangka itu bukan tervonis. Untuk menjadi tervonis prosesnya masih panjang. Bahkan jika sampai divonispun, Ahok sudah  siap dipenjara. Apakah dengan itu, manakala hukum masih acapkali dijadikan barang dagangan yang bisa diperjual-belikan, Ahok yang masuk bui itu adalah orang yang pasti bersalah? Yah, pikir saja sendiri dengan Nalar.

 

Tidak menjadi Gubernur? Ahok oke oke saja. Katimbang menjadi penguasa atau pejabat, ia lebih senang menjadi pegawai dan pekerja keras untuk produktivitas bernilai mulia yang terukur dan lugas. Meski nothing to loose bagi Ahok apapun yang bakal terjadi, bukan berarti ia lalu sudi menyerah kalah. Mahkota tahta pengabdi rakyat itu masih ia perjuangkan terus bersama semua pendukungnya.

 

Akan berhasilkah?

 

Oh Mahasegala, mohon apa yang sepantasnya terjadi, terjadilah! Lalu memang terjadi. Kita bisa apa? Apalagi doa permohonan kepada Mahasegala itu sekedar memohon, tidak memaksa, dan sekedar merupakan nilai tambah bagi kelancaran mekanisme kerja Nalar di mana sebab-akibat, obyektivitas, dan logika mendapat tempat luas.  Absurditas-dongeng-khayal dibuang ke tempat sampah.

 

Untuk itu, perlu dipertimbangkan empat dari banyak pendapat senada berikut:

 

SATU

Frasa "dibohongi pakai Al Maidah 51" yang diucapkan Ahok, tidak menjurus pada pihak mana pun, termasuk para ulama. Itu abstrak, tidak jelas orangnya, maka tidak bisa dijadikan dasar hukum. Abstrak itu tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk menetapkan sesuatu. Dalam bahasan Arab, kalimat ini disebut nakirah. Tidak jelas," (Hamka Haq,  anggota DPR RI Fraksi PDIP dan anggota dewan pertimbangan MUI)

 

DUA

Ahok melalui videonya dari Pulau Seribu sudah memberi pesan: Keberadaan Indonesia justru terpelihara oleh perbedaan budaya, peradaban leluhur kita yang menghargai kebhinnekaan. Sehingga sangat keliru bila masih ada orang-orang primitifdengan perspektif abad ke 7 hendak memaksakan pola pikirnya kepada masyarakat Indonesia di abad 21. (Omri L Toruan, Kompasiana.Com)

 

TIGA

Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Thajaya Purnama atau Ahok ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama. Namun dibalik penetapan tersangka tersebut terdapat banyak kekeliruan dari aspek hukum pidana. Terdapat 12 alasan hukum bahwa ahok tidak bersalah. (Ricky Vinando, Kompasiana.Com)

 

EMPAT

Seharusnya nalar agama tidak kontradiktif dengan nilai-nilai universal seperti keadilan, kesetaraan, kemanusiaan, demokrasi, dan keberagaman. Agama seharusnya tidak lagi dipertentangkan dengan konstitusionalisme Pancasila dan UUD 1945 dan kerangka nasionalisme Bhinneka Tunggal Ika. Agama jangan menjadi kuda Troya yang dipacu oleh demagog untuk kepentingan sempit dan permusuhan. Demikian pula pilkada seharusnya menjadi momentum ekseminasi demokrasi lokal yang bersifat profan, produktif, dan menggembirakan. (Teuku Kemal Fasya , dosen FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe)

 

Alhasil?

 

Ya kagak tahulah gue. (Saya penduduk DKI Jaya antara 1974-1983)

 

Semoga becik ketitik ala ketara faham Jawa terbukti nyata dalam kasus ini.

 

 

Gunung Merbabu, Nopember 2016

 

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler