x

Ilustrasi masjid. REUTERS/Amr Abdallah Dalsh

Iklan

Qaris Tajudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Islam, kok Begitu, Ya?

Pertanyaan dari anak kecil tiba-tiba membuat saya terhenyak. Kenapa orang memakai agama untuk mendasari tindakan brutalnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat melipat mukena setelah sembahyang maghrib, Senja bertanya. Senja atau lengkapnya Inez Sang Pelangi Senja adalah anak pertama saya. Umurnya Delapan tahun.

Pertanyaannya sungguh mengejutkan:

 “Daddy, Islam itu memang gitu ya?”
 
“Gitu, bagaimana?” tanya saya karena belum mendapatkan konteks pembicaraannya.
 
“Iya, kan bilangnya Islam dan mereka ngebom anak-anak di gereja. Aku aja nih, liat anak-anak yang tangannya kejepit pintu aja sudah gak tega. Kok mereka tega?” kata Senja.
 
Seketika saya terdiam. Ini pertanyaan yang sulit. Ya, anak-anak memang hobi memberi kita pertanyaan susah, bukan?
 
Saya harus menjawabnya dengan sangat hati-hati. Saya tidak ingin membohonginya (misalnya dengan berkata, ‘Ah itu bukan orang Islam. Itu konspirasi.’). Saya tidak ingin mendidik Senja dan adiknya (Elang Rimba) menjadi anak-anak yang doyan mencari kambing hitam. Saya tidak ingin mereka kelak menjadi orang yang suka kabur dari masalah dan mencari orang yang bisa disalahkan.
 
Tapi saya juga tak ingin pesan yang salah tentang agama itu ada di kepalanya. Saya tak ingin kelompok radikal berhasil memonopoli tafsir agama, hingga anak-anakpun bertanya, kok Islam begitu?
 
Dengan hati-hati saya katakan bahwa teroris itu memahami agama secara keliru. Tapi tampaknya konsep adanya kesalahan besar dalam memahami agama itu belum masuk ke pemahaman anak seusianya.
 
Mukanya menunjukkan bahwa dia belum mengerti. Senyumnya ditahan dan mencoba mencari tema lain untuk dibicarakan.
 
Setelah meletakkan mukena ungunya, Senja mengambil agenda bekas milik tantenya. Agenda atau organizer itu umurnya sudah 19 tahun. Karena masih kosong, Senja memakainya untuk menulis atau menggambar apapun. Corat-coret apa saja. Dia memang sedang hobi menulis dan menggambar. Dia punya satu buku yang berisi kumpulan cerita tentang naga hijau.
 
Dia lalu menghampiri saya dan berkata, “Daddy, tolong dong tuliskan Bismillah. Aku belum bisa.”
 
Meski sudah menghapal Juz Amma sampai surat Abasa, Senja belum lancar menulis bahasa Arab. Dia baru menebak-nebak berdasarkan hapalan bentuk dari surat yang pernah ia baca.
 
Saya pun mengambil agenda itu dan menuliskan Basmalah sesuai dengan keinginannya. Saat menuliskan itulah saya mendapat ide untuk melanjutkan diskusi yang tadi terpotong.
 
Kelar menuliskan Basmalah secara lengkap, saya bertanya. “Kamu bisa membaca ini?”
 
Senja mengangguk. “Bismillahir Rahmanir Rahiim,” kata dia.
 
“Kamu tahu artinya?” tanya saya.
 
Senja kembali mengangguk. “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.”
 
“Nah, mungkin gak, orang yang abis baca bismillah lalu marah-marah?”
 
Senja tertawa, tampaknya dia mengerti yang saya maksud. “Ya gak mungkin lah,” kata dia.
 
“Mungkin gak kalau orang abis baca Bismillah lalu ngebom dan menyakiti orang lain?” tanya saya lagi.
 
“Gak mungkin. Kan dia harus menyayangi,” kata Senja.
 
“Nah, kalau kamu memulai semua perbuatan kamu dengan Bismillah, kamu gak akan jadi kayak orang yang ngebom anak-anak itu,” kata saya.
 
Lalu saya teringat beberapa jam sebelumnya, dia saya tegur keras karena memaksa adiknya, Elang Rimba, untuk shalat. Senja menarik tangan Rimba yang baru berusia 3 tahun dan menyuruhnya sembahyang dengan suara keras.
 
“Kasih sayang dan lemah lembut ini juga harus dilakukan waktu kita nyuruh orang berbuat baik. Tadi kan kamu maksa Rimba shalat. Apakah orang mau shalat kalau kamu paksa kayak gitu?”
 
Senja tersenyum. “Gak mau ya?”
 
Obrolan selepas maghrib itu berhenti sampai di sana.
 
Malamnya, saat mereka tertidur, saya dan istri berbincang singkat. Terus terang saya resah dengan masa depan mereka. Bukan soal finansial, karena untuk hal ini saya pasrah kepada Tuhan. Yang saya khawatirkan, mereka akan hidup di Indonesia yang tak lagi ramah, Indonesia yang dipenuhi oleh orang yang marah-marah atas nama apapun, Indonesia yang penuh kecurigaan. Saya tak ingin mereka memberi andil pada ketidakramahan itu.
 
“Kita akan didik anak-anak jadi apa ya?” tanya saya ke istri. Tentu saja, ini bukan pertama kalinya kami membahas topik tersebut. Topik ini sudah muncul sejak mereka belum lahir. Tapi kali ini saya ingin mendapat penegasan agar kami yakin arah yang kami tuju.
 
“Jadi orang baik,” kata istri saya yang sedang memeluk Rimba yang tertidur.
 
“Jadi orang baik itu terlalu umum,” kata saya. Baik atau sholeh dalam Bahasa Arab, bisa diartikan macam-macam, tergantung siapa yang bicara. Misalnya, baik atau sholeh menurut Usamah bin Laden tentu berbeda dengan baik menurut Habib Luthfi dari Pekalongan.
 
“Yang penting mereka tidak merepotkan siapa saja,” kata istri saya.
 
Ini lebih spesifik. Tidak merepotkan, tidak menyakiti, tidak membuat susah orang lain. Ya, cita-cita kami sangat sederhana. Kami hanya tidak ingin mereka menjadi penyebab keresahan, kesulitan, penderitaan orang lain. Apapun agama orang lain, apapun ras dan suku mereka, apapun keyakinan mereka, apapun pilihan hidup mereka.
 
----
 
(Semua kejadian yang saya ceritakan di atas benar-benar terjadi pada Sabtu 19 November 2016. Tidak ada dramatisasi, tidak ada kejadian fiktif).
 
 

Ikuti tulisan menarik Qaris Tajudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB