x

Sejumlah kendaraan terjebak banjir di kawasan Pasteur, Bandung, Jawa Barat, 24 Oktober 2016. Curah hujan yang tinggi dan buruknya drainase menyebabkan kawasan tersebut terendam banjir. ANTARA FOTO

Iklan

Budi Brahmantyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Banjir Bandang Bandung Akan Berulang ~ Budi Brahmantyo

Analisis morfologi menunjukkan wilayah-wilayah yang rawan terjadi banjir bandang adalah wilayah tempat perubahan gradien sungai dari tinggi ke rendah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Secara mengejutkan dan seolah-olah luput dari antisipasi warga Bandung, pada akhir Oktober dan awal November 2016 terjadi peristiwa yang dikenang sebagai banjir bandang Bandung. Banjir dengan aliran cepat dan berarus deras yang sebenarnya merupakan luapan Sungai Citepus itu secara alamiah memang merupakan peristiwa alam yang berhubungan dengan hujan besar di daerah aliran sungai (DAS) hulu Citepus. Dengan karakteristik seperti itu, banjir Citepus dapat dikategorikan sebagai banjir bandang.

Banjir bandang (flash flood) didefinisikan banyak institusi, kamus, ataupun ensiklopedia sebagai peristiwa alam naiknya secara tiba-tiba debit sungai dengan kecepatan tinggi yang disebabkan curah hujan besar. Banjir bandang berbeda dengan banjir (flood). Banjir adalah peristiwa meluapnya air sungai yang menggenangi wilayah bantaran sungai. Datangnya tidak secara tiba-tiba, relatif bertahap, dan dapat terpantau. Sementara banjir umumnya menggenang cukup lama, banjir bandang hanyalah aliran besar sesaat, tapi sangat besar dengan arus kuat.

Dari peristiwa banjir bandang Citepus, banyak yang heran mengapa peristiwanya baru sekarang terjadi? Banyak yang menduga bahwa, selain memang pola curah hujan yang menjadi besar di utara Bandung, dicurigai terjadi perubahan tata guna lahan di DAS hulu Citepus. Kecurigaan ini bisa benar karena fakta lapangan menunjukkan bahwa di DAS hulu Citepus di atas Jalan Dr Junjunan (Terusan Pasteur) terjadi pembangunan permukiman yang rapat dan bahkan hingga hulunya di wilayah Lembang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Melalui penelusuran dari peta Street Atlas Bandung (Periplus, 2004-2005), Citepus, yang bermuara ke Citarum di sekitar Cangkuang, mempunyai aliran ke arah hulu, ke utara, melalui Terminal Leuwipanjang, Nyengseret, Pekuburan Astanaanyar (dan di sini bergabung Ci Kakak), memotong terusan Jalan Pasirkoja, Jalan Pagarsih, Jalan Jenderal Sudirman di sekitar Andir, Ciroyom, Jalan Bima, hingga Pekuburan Sirnaraga. Di sekitar Lapangan Terbang Husein Sastranegara, Citepus bercabang dua, satu ke arah barat laut sebagai sungai utama dan bernama Cibeureum, satu lagi berupa cabang pendek Cipedes.

Cabang utama Cibeureum adalah aliran sungai cukup besar yang mengalir melalui permukiman padat di daerah Setra Duta, mengalir di sebelah barat UPI, dan wilayah Cihideung tempat aliran Cihideung juga bergabung. Ke arah hulu, aliran terus hingga sebelah barat Lembang, dan ujung sungai-sungai ini berada di lereng selatan Gunung Tangkubanparahu.

Dari kondisi morfologi ini dapat digambarkan bahwa gradien sungai (kemiringan aliran) relatif landai dari muaranya di selatan hingga di sekitar Husein Sastranegara. Di atas itu, gradien sungai meninggi selari dengan memasuki kawasan perbukitan yang semakin tinggi di Setra Duta, Cihideung, dan semakin tinggi setelah Lembang. Dalam proses terjadinya banjir bandang, kondisi morfologi seperti ini sangat tipikal. Hal itu tidak hanya terjadi pada Citepus, tapi juga sungai-sungai yang berhulu di perbukitan Kawasan Bandung Utara (KBU).

Analisis morfologi menunjukkan wilayah-wilayah yang rawan terjadi banjir bandang adalah wilayah tempat perubahan gradien sungai dari tinggi ke rendah. Bayangkan arus deras yang menggelontor di daerah perbukitan dengan lembah sungai curam mendadak memasuki lereng landai dengan lembah mendangkal. Luapan dengan dorongan arus keras akan terjadi di tempat-tempat, seperti ini. Maka tidak mengherankan jika wilayah-wilayah rawan itu terjadi kebetulan sejalan dengan poros Terusan Pasteur, Surapati, Cicaheum, Ujungberung, hingga Cileunyi.

Sebuah penelitian kecil pernah dilakukan Sagara, Riono, Adityo, dan Brahmantyo pada 2010 untuk dua DAS, yaitu Cidurian dan Cisaranten. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa bentuk DAS Cidurian yang cenderung lurus dan sempit lebih rawan mengalami banjir bandang dibanding DAS Cisaranten, yang berbentuk membundar dan lebar. Hal ini selaras juga dengan penelitian yang dilakukan Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) yang menunjukkan bahwa dalam curah hujan yang sama, DAS yang menyempit akan dengan cepat meningkatkan debit secara tiba-tiba dibanding DAS yang melebar.

Secara geologi, batuan utama di wilayah perbukitan KBU merupakan hasil endapan letusan Gunung Sunda Purba berupa breksi dengan sisipan lava yang kompak dan keras. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa uji infiltrasi air sangat kecil di wilayah perbukitan dengan lereng-lereng terjal ini. Dapat disimpulkan bahwa perbukitan KBU mempunyai daya resap air hujan rendah sehingga, saat hujan besar, akan lebih banyak limpasan permukaan. Kondisi ini diperparah hilangnya hutan di KBU dan digantikan permukiman atau ladang-ladang terbuka. Perubahan tata guna lahan ini semakin meningkatkan limpasan air permukaan. Padahal, hasil penelitian Leopold yang dikutip dalam Morisawa (1985) menjelaskan bahwa kenaikan debit sungai secara cepat dalam waktu jeda yang singkat akan terjadi pada DAS dengan permukaan yang impermeabel atau relatif kedap air.

Dari beberapa kajian geologi dan morfologi wilayah utara Bandung, terang bagi kita bahwa banjir bandang akan terus mengancam Bandung. Sungai-sungai yang berhulu di utara Bandung, yang mempunyai batuan dasar breksi-lava yang kompak dan keras, apalagi ditambah berubahnya hutan menjadi permukiman atau ladang, serta DAS yang relatif lurus, akan sangat rawan tertimpa banjir bandang. Jadi, dengan perubahan tata guna lahan yang luar biasa di perbukitan KBU, kejadian banjir bandang akan lebih sering kita alami di masa depan.

Budi Brahmantyo

Dosen teknik geologi ITB dan koordinator Kelompok Riset Cekungan Bandung

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 21 November 2016

Ikuti tulisan menarik Budi Brahmantyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB