x

Tempat ini menyajikan wisata sejarah dan teknologi dengan suasana layaknya di dalam film fiksi futuristik seperti Tron Legacy atau Star Wars. dailymail.co.uk

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bacalah Fiksi agar Engkau Bisa Berempati

Fiksi menyingkapkan kebenaran yang dikaburkan oleh realitas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Bila politik itu kotor, puisi membersihkannya.”

--John F. Kennedy

 

Setelah tak lagi jadi orang nomor 1 di Amerika Serikat dan pindah dari Gedung Putih, Barack Obama mungkin punya cukup-banyak waktu untuk membaca puisi-puisi Ralph Waldo Emerson atau karya novelis Toni Morrison yang salah satunya, Song of Solomon, jadi favorit Obama. Sepanjang delapan tahun duduk di kekuasaan yang sangat besar dan berurusan dengan isu-isu politik, keamanan, ekonomi, militer, maupun hukum, boleh jadi tanah-tanah kotor tepercik ke dirinya.Tapi, Twain, Solzhenitsyn, ataupun Martel membantu Obama untuk mencegah tanah kotor menebal dan jadi kerak di hatinya.

Oh ya, Life of Pi, karya Yann Martel, memikat Obama. Di sela kesibukannya, Obama masih sempat menulis tangan kepada Martel dan mengakui ‘Life of Pi adalah bukti elegan keberadaan Tuhan dan kekuatan bercerita.’ Sayangnya, tidak semua presiden, raja, ataupun politisi yang menyempatkan diri untuk membaca sastra seperti Obama.

Dalam bukunya, 101 Letters to a Prime Minister, Martel menceritakan ikhtiarnya yang tak kenal putus asa untuk mengajak (saat itu) Perdana Menteri Kanada Stephen Harper agar bersedia membaca karya sastra. Martel berusaha mengenalkan karya sastra kepada orang-orang yang sehari-hari lekat dengan kehidupan politik. Secara teratur Martel mengirimi Harper novel, kumpulan cerita pendek, maupun antologi puisi; sayangnya, tak berbalas bahkan hingga Harper turun dari jabatannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Martel mengaku, sebenarnya ia tak mau tahu apa yang dibaca orang lain. Masalahnya menjadi lain ketika orang lain tersebut terjun ke politik dan berkuasa. “Begitu seseorang berkuasa atas diri saya, seperti Stephen Harper,” kata Martel, “saya berkepentingan untuk mengetahui watak dan kualitas imajinasinya, sebab mimpi-mimpinya bisa menjadi mimpi buruk bagi saya.”

Begitu perlukah politisi membaca novel, cerpen, atau puisi dan sejenisnya? Fiksi mungkin terpisah dari kenyataan, setidaknya untuk sebagian. Namun para penulis fiksi punya peran sendiri yang tidak dijalankan oleh para sejarawan. Imajinasi, empati, dan keyakinan penulisnya telah menjadikan fiksi mampu menghidupkan kenyataan yang diam. Seperti kata Ralp Waldo Emerson: “Fiksi menyingkapkan kebenaran yang dikaburkan oleh realitas.”

Ketika sejarah kerap menemui kesukaran dalam menghadirkan akurasi atas nama obyektivitas—dan ini muskil dicapai, maka fiksi memiliki kebebasannya sendiri untuk menawarkan sudut pandanganya terhadap diskriminasi ras. Tatkala pesan kemanusiaan telah sampai kepada pembacanya, akurasi bukanlah hal yang terlampau penting. Melalui fiksi kita belajar memahami watak manusia, pilihan-pilihan sikap manusia, dan memahami mengapa seseorang melakukan satu tindakan dan bukan yang lain.

Fiksi tentang diskriminasi ras mampu melampaui sekat-sekat yang ditegakkan untuk menutupi kenyataan pahit itu—bukan atas nama politik yang seringkali membutakan penganutnya, melainkan atas nama kemanusiaan. Bukan berarti fiksi berhenti sebagai dongengan belaka. Bahkan bukan sekedar cermin yang memantulkan kenyataan, tapi bahkan sanggup menggerakkan kaki manusia, seperti Uncle Tom’s Cabin.

Novel klasik karya Hareet Beecher Stowe ini terbit pertama kali pada 20 Maret 1852 di saat bangsa Amerika masih terbelah oleh praktik perbudakan. Sambutan publik waktu itu luar biasa, dalam tahun pertama sejak diterbitkan, novel ini laku 300 ribu eksemplar di AS dan 1 juta di Inggris. Pengaruh novel ini begitu besar, bahkan ketika Abraham Lincoln bertemu Stowe di awal Perang Saudara, Lincoln berkomentar: “Jadi ini ya nyonya kecil yang memulai perang besar ini.”

Orang-orang yang terjun ke dalam kekuasaan dan memegang jabatan akan sangat berbahaya bila tak mau memahami orang-orang yang dipimpinnya. Seperti kata Martel, pemimpin yang tidak membaca atau tidak mengetahui—apa lagi memahami—pikiran, keinginan, harapan, keluh kesah, kesukaran orang lain, ia akan punya visi yang membutakan dan menganggap dirinya paling benar.

Pemimpin seperti itu, atau yang menganggap diri pemimpin, merasa melihat tapi sesungguhnya buta terhadap apa yang dirasakan rakyatnya, harapan rakyatnya, penderitaan rakyatnya, ketidakadilan yang dialami rakyatnya. Para pencerita yang jujur mengisahkan kembali semua itu, perihal kebenaran yang mungkin disembunyikan.

“Fiksi menyerupai jaring laba-laba, melekat selamanya; mungkin begitu tipis, tapi masih melekat pada kehidupan di keempat sudutnya,” kata Virginia Woolf. Andaikan para politisi, dan orang-orang yang menempatkan diri sebagai pemimpin, mau memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan rakyat—bukan pikiran sesama politisi yang lebih sering beranjak dari sudut kepentingannya sendiri—melalui fiksi, maka mereka akan lebih mampu berempati dan memahami mengapa rakyat menjerit dan menggeliat. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler