x

Iklan

Arimbi Bimoseno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mendadak Ingin Pulang ke Rumah Mbah

Di antara siang dan malam ada warna jingga yang membias kala senja, warna perpaduan merah dan kuning menjadi oranye.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Novel Vivian Zen

Kisah sebelumnya: Aku Tak Tahu Harus Percaya pada Siapa

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bu Fauziah membuat roti cokelat dan meminta Zakia mengaduk adonan telur dan tepung. Aku meminta izin untuk merebahkan diri di dalam kamar.

Kutatap langit-langit kamar, dan air mataku menetes begitu saja. Aku masih tidak mengerti dengan peristiwa yang harus kualami ini. Tiba-tiba aku ingin bertanya, apa yang sedang direncanakan Tuhan untukku dengan peristiwa yang mengguncang batinku ini.

Aku merasa tidak benar-benar mengenal mama. Dan tiba-tiba aku ingin pulang ke kampung Mbah Kung untuk lebih mengenal mama. Tapi, Zakia bagaimana?

Akan kuajak Zakia. Seminggu di kampung kupikir cukup. Kubuat surat izin untuk wali kelas Zakia. Mereka akan mengerti dengan apa yang menimpa Zakia.

Bu Fauziah mengernyitkan dahi waktu kubilang mau pulang ke rumah Mbah.

“Kamu segera menikah saja, Vian. Itu mungkin akan membuat hatimu tenang. Kamu tuh kelihatan sedang sangat gelisah. Tidak ada alasan untuk menunda-nunda pernikahan.”

“Nggak bisa, Bu. Saya masih punya utang dengan Pak Jimmy.”

“Kamu kan bisa membayar utangmu itu walaupun sudah menikah.”

“Sudah terikat janji, Bu. Saya tanda tangan kontrak.”

“Kan bisa dinegosiasikan lagi. Perjanjian itu kan bukan harga mati. Dengan apa yang kamu alami, Pak Jimmy pasti bisa mengerti. Coba aja dulu temui Pak Jimmy.”

“Ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan pernikahan.”

“Untungnya Fedy mau menunggu ya. Ada lho laki-laki yang tidak mau menunggu.”

“Kami saling cinta.”

“Jangan terlalu yakin. Orang bisa berubah.”

“Semoga cinta kami abadi.”

“Hm, kapan kamu pergi ke rumah Mbah?”

“Besok. Kami akan mampir ke sekolah Zakia terus ke bandara.”

“Kamu baru datang tadi pagi, dan besok mau pergi?”

“Aku bingung, Bu.”

“Jangan pergi besok. Temui Kapten Swasono dulu.”

“Kapten Swasono nggak menangani kasus mama lagi, Bu.”

“Kenapa?”

“Nggak tahu.

“Aneh. Kamu nggak ingin cari tahu?”

“Aku sering tiba-tiba blank tiap kali memikirkan kasus mama. Rasanya ingin diam dulu.”

“Sejak kapan Kapten Swasono tidak menangani kasus mamamu?”

“Tadi dengar di radio pas jalan sama Fedy.”

“Ini benar-benar aneh. Aku rasa ini bukan kasus pembunuhan biasa.”

“Apa maksud ibu?”

***

Aku tidak mendengarkan Bu Fauziah. Kuikuti naluriku yang ingin pulang ke rumah Mbah.

Zakia memasukkan beberapa komik ke dalam tasnya. Kami berangkat dengan menggunakan taksi.

“Sekarang kakak tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang mama,” kata Zakia di dalam pesawat.

“Ya. Sakit banget rasanya. Terutama jika ingat cara meninggalnya mama. Za, apa Om Fadil sering ke rumah waktu kakak tidak di rumah?”

“Sering. Za pernah lihat Om Fadil membentak mama.”

“Membentak? Dalam keadaan mama sakit?”

“Sebelum mama sakit.”

“Apa lagi yang kamu tahu?”

“Za pernah lihat seorang perempuan marah-marah di depan rumah Om Fadil. Terus perempuan itu dengan telunjuknya menuding-nuding ke rumah kita.”

“Siapa perempuan itu? Muda? Tua?”

“Seusia mama kayaknya.”

“Siapa namanya?”

“Aku nggak tahu, Kak.”

“Mama tahu perempuan itu?”

“Sepertinya mama kenal. Mama langsung menarik tangan Zakia ke dalam rumah waktu itu.”

“Gimana ciri-ciri perempuan itu?”

“Mirip mama deh, Kak. Bentuk tubuh dan model rambutnya mirip mama, tapi kulitnya lebih putih sedikit.”

“Terus?”

“Mama pernah marah-marah sama Om Fadil dan memintanya untuk tidak datang lagi ke rumah.”

“Kapan?”

“Udah lama. Mungkin gara-gara perempuan itu. Oh ya perempuan itu pernah pergi dengan Om Gathan dan Om Andika. Mereka kelihatan akrab sekali.”

***

Mbah Putri berurai air mata saat memelukku, sementara aku sudah tidak bisa menangis lagi. Hatiku rasanya sudah membatu, atau sudah mati rasa. Bukan dalam situasi seperti sekarang, dalam situasi normal saja kalau baru ketemu Mbah Putri pasti menangis.

Zakia kelihatan senang. Sudah beberapa kali mama mengajak Zakia ke sini, jadi Zakia sudah kenal keluarga di sini.

“Ikan mujairnya masih ada, Mbah?” Zakia membuntuti Mbah Kung yang mau pergi ke kebun.

“Akeh (banyak),” jawab Mbah Kung.

Banyak orang di dapur sedang mempersiapkan masakan untuk tahlilan, mengirim doa untuk mama. Sejak awal Mbah Putri sudah meminta tahlilan dilakukan di kampung saja. Aku tidak mempermasalahkannya, karena bagiku mengirim doa bisa dari mana saja, bahkan tidak harus tahlilan.

Mbah Putri sempat meminta mama dikuburkan di sini, tapi aku ingin makam mama berada di samping makam papa di Jakarta. Entahlah, supaya aku lebih dekat jika ingin menziarahinya. Pertimbangan praktis saja, karena aku akan tinggal selamanya di Jakarta, tidak ingin kemana-mana.

Dan sekarang hari ke tiga meninggalnya mama. Dapur Mbah penuh dengan orang-orang, tetangga yang rewang, memasak untuk hidangan tahlilan.

“Vivian, reneo Nduk (sini, Nak),” Mbah Putri dari arah ruang tamu, tangannya melambai memintaku mendekatinya. = Di kursi rotan di ruang tamu, duduk seorang pria seusia papa mengenakan pakaian polisi.

“Iki lho koncone mamamu pas es-em-pe (Ini lho teman mamamu waktu sekolah menengah pertama),” Mbah Putri memperkenalkan siapa pria itu.

“Vivian,” kataku sembari menjabat tangannya. Tapi, dia diam saja, tidak menyebutkan namanya. “Nama Bapak siapa?”

“Anggoro,” dia menyebutkan namanya dengan logat Jawa yang kental. “Kamu mirip sekali dengan Mayang. Koyok fotocopyannya (seperti fotocopynya).”

Aku tidak tahu mau bicara apa. Sambil mengangguk kaku, kutinggalkan Anggoro dan Mbah Putri.

Mama pernah cerita, waktu kecil ia suka main di bawah pohon mangga di depan rumah. Jadi aku berjalan saja ke arah pohon mangga yang sudah tua itu. Tapi sekarang bukan musim mangga. Hanya ada daun yang sangat banyak di pohon itu. Daun-daun yang membuat adem saat aku berdiri di bawahnya. Terhindar dari matahari yang teriknya sedang menyengat.

“Vivian, kapan datang?” Fauzi sembari memanggul tumpukan tikar, tahu-tahu sudah berdiri tak jauh di belakangku.

Fauzi yang membantuku waktu aku disergap rasa ingin tahu ketika terjadi kasus pembunuhan berantai di kota ini. Rasa ingin tahu yang sekarang rasanya lenyap pada diriku. Sebab rasa ingin tahu siapa yang membunuh mama, kenapa mama dibunuh, itu semua hanya membuat diriku semakin terluka.

“Tadi. Belum lama.”

“Aku ikut sedih dengan apa yang menimpa mamamu.”

“Iya. Makasih. Itu tikar buat tahlilan ya?”

“Iya, baru dicuci tadi. Aku beresi ini dulu ya.”

“Makasih ya udah bantu-bantu untuk tahlilan mamaku.”

“Iya. Kamu akan lama kan di sini?”

“Nggak tahu. Ngikutin kata hati aja.”

“Di sini aja sampai tujuh hari, atau sampai empat puluh hari.”

“Ya lihat nanti.”

Anggoro berjalan ke arah sini, Fauzi pamit untuk beres-beres.

“Tadi aku belum selesai ngomong. Kamu punya mata yang sangat indah, seperti mata mamamu,” Anggoro membuatku ingin tahu siapa dia.

“Sepertinya Pak Anggoro tahu banyak tentang mama saya?”

Anggoro tersenyum lebar, gigi putihnya terlihat berderet. Tapi itu sekejap saja. Setelah itu dia tampak sedih.

"Mamamu perempuan terbaik yang saya pernah kenal.”

“Oh ya?”

“Ya. Sayang sekali kami bertemu di usia yang masih begitu muda.”

“Kalian satu sekolah?”

“Satu kelas dari kelas dua sampai kelas tiga.”

“Kalian pacaran?”

“Apa itu pacaran. Lebih tepat disebut cinta monyet. Tapi, aku pernah berkhayal kami akan menikah suatu hari, tapi ternyata kami tidak berjodoh.”

“Mama tidak pernah cerita punya teman bernama Anggoro.”

“Aku bukan teman yang menyenangkan untuk dikenang.”

“Belum tentu alasannya seperti itu.”

“Tentu saja mamamu harus menjaga perasaan orang-orang yang mencintainya.”

“Ya mungkin.”

“Aku harus kembali ke kantor. Nanti malam ke sini lagi untuk tahlilan.”

“Makasih, Pak Anggoro.”

“Jangan terlalu bersedih ya. Kamu pasti lebih cantik dari Mayang kalau tersenyum. Dan satu lagi, sebaiknya hindari warna hitam waktu berkabung. Warna hitam membuat duka semakin mendalam.”

Aku tetap tidak bisa tersenyum.

Anggoro berlalu dengan motor bebeknya.

Tadi pagi Mbah Putri cerita, banyak teman masa kecil mama yang datang ke sini untuk mengucapkan bela sungkawa.

Siapa ya sahabat masa kecil mama di sini. Mungkin berbincang-bincang dengan sahabat mama, bisa membasuh luka hatiku.

Aku tidak ingin begini terus. Berkabung. Tak punya gairah melakukan apa pun. Namun dalam keadaan ini, di hatiku terdalam aku tetap bersyukur karena ada Fedy yang tulus mencintaiku. Semoga Fedy memang tulus. Semoga cintanya padaku tidak berubah.

Harusnya aku bercermin pada Zakia. Dia yang sekecil itu harus menghadapi kenyataan ayah ibu dan kakaknya meninggal bersamaan karena terjangan tsunami.

Semua orang punya sejarahnya masing-masing. Aku dalam keadaan begini, tapi aku yakin ada saatnya nanti aku bangkit dan semangat lagi mengerjakan hal-hal yang berguna. Bukan untuk diriku saja, tapi juga untuk kemanusiaan, untuk kehidupan.

Tuhan, tolong aku. Genggam hati dan pikiranku. Jangan biarkan aku jatuh dalam kesedihan.

Bu Fauziah bilang, sesudah kesulitan akan ada kemudahan. Seperti sesudah malam akan datang pagi.

Apa yang bisa membebaskanku dari kesedihan ini. Ikhlas, rela, ridho, itu kata-kata ternyata hanya mudah diucapkan, namun untuk menjalaninya ternyata sangat sulit.

Terngiang-ngiang ucapan Bu Fauziah semalam. “Mamamu tidak akan senang melihatmu murung seperti ini. Kematian itu rahasia Tuhan. Terlepas bagaimana cara mamamu meninggal, tapi kupikir pada hari jam menit detik saat itu memang waktunya untuk pulang. Doa kamu, keikhlasan kamu akan sangat membantu perjalanannya di sana.”

“Kak, lihat!” Zakia berseru dengan menenteng seember ikan mujair.

Senang melihat Zakia tampak normal. Semoga bukan hanya tampaknya. Semoga kesedihan dan kemurungan cukup menjadi milikku kali ini. Zakia tak perlu merasakannya. Sudah terlalu banyak kesedihan dalam hidupnya.

“Ini semua aku yang menangkapnya, Kak.”

“Kamu bisa?”

“Bisa. Mbah Kung yang mengajariku. Ikannya banyak, mudah menangkapnya. Kalau Kakak mau, aku akan mengajari Kakak menangkap ikan mujair di sungai.”

“Yuk kita bersihkan,” aku berjalan ke dalam rumah.

“Nanti aku yang menggorengnya ya, Kak.”

“Memang kamu bisa?”

“Bisa. Aku sering menggoreng telur di rumah. Kakak sih pergi terus, jadinya nggak tahu apa-apa.”

“Kamu sudah bisa menggoreng telur?”

“Ya, itu mah keciiilll… mama yang mengajariku. Aku juga sudah bisa membuat mi goreng sendiri. Nanti kalau kita udah pulang ke Jakarta, aku akan buatkan untuk kakak.”

***

Aku merasa agak terhibur berada di tengah keluarga Mbah. Kakak-kakak dan adik mama kumpul semua di sini. Aku tidak terlalu akrab dengan mereka, tapi aku nyaman saja. Mereka umumnya kasihan denganku, karena aku harus kehilangan kedua orangtua sebelum aku menikah. Mereka semua menyuruhku bersabar. Iya aku tahu aku harus sabar, tapi apakah aku bisa sabar. Sabar tidak sabar, mama tetap saja sudah tiada.

Banyak orang di rumah Mbah, tapi aku merasa sepi. Apa yang mereka bicarakan tidak menarik perhatianku. Zakia main pasar-pasaran dengan uang berupa daun-daunan dengan keponakan-keponakan sebayanya di sini. Aku memilih ke kebun, berjalan di antara pohon jeruk. Fedy pernah ke sini, dan mamanya sudah merasakan jeruk yang ditanam Mbah Kung.

Ponsel yang menggantung di dadaku bergetar. Nama Fedy muncul di layar. Aku menerima panggilannya dengan perasaan senang.

“Kamu baik?” suara Fedy membuatku tersenyum.

“Baik.”

“Kamu nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa.”

“Apa aku perlu menyusulmu ke sana?”

“Kamu ada pekerjaan. Aku tak bisa menuntutmu.”

“Tapi, seharusnya aku ada di sisimu dalam situasi seperti ini.”

“Kamu sudah banyak membantu.”

“Aku juga ingin ketemu Mbah. Mm gini aja, sehari sebelum kamu pulang, aku ke sana.”

“Benar?”

“Iya.”

“Aku senang sekali mendengarnya.”

“Ya udah, salam buat Mbah ya.”

“Oke.”

Huuufffftttt… kutarik napas panjang-panjang. Fedy perhatian banget. Dia tidak egois. Walaupun jadwal manggungnya cukup padat, dia masih mau meluangkan waktunya untukku, untuk mama.

Aku merasa lebih bersemangat. Kukayuh sepeda Mbah Kung, dan berhenti di tepi sawah. Kuhirup udara pagi yang masih segar. Mataku rasanya sejuk menatap hamparan sawah yang hijau dan sangat luas, panjang membentang. Indah sekali pemandangan di sini.

Kata mbah, mama waktu kecil sering diajak ke sawah. Tapi menginjak masa remaja, mama lebih suka menghabiskan waktu di sekolah dengan segudang kegiatan ekstra kurikuler: mendaki gunung, pramuka, mengkaji Al Quran di masjid sekolah, dan entah apa lagi, aku lupa. Hampir tiap hari mama pulang sore, sampai rumah sudah capek. Mbah juga cerita, mama waktu sekolah menengah atas sempat dua tahun tinggal di pesantren untuk memperdalam Islam.

Sayang, semua cerita itu aku dapatkan dari mbah, bukan dari mama langsung. Entahlah, kenapa bisa begitu. Kadang aku ingat apa yang diceritakan mama, kadang lupa. Mungkin terlalu banyak informasi masuk ke telingaku, lalu lalang di kepalaku, sehingga daya ingatku tidak mampu menampung semuanya. Dan seiring perjalanan usia, ingatan-ingatan yang tidak menarik perhatianku seperti otomatis terhapus. Kalau dipancing-pancing, kadang ada yang teringat.

Setelah lulus sekolah menengah atas, mama pergi ke Jakarta untuk bekerja dan kuliah manajemen. Entah mengapa mama memilih Jakarta sebagai tujuan tempat tinggalnya. Mungkin mama merasa Jakarta menjanjikan sebuah harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Lulus kuliah, mama kerja di bank tapi tidak pernah mencapai posisi puncak. Waktu bekerja itulah mama bertemu papa. Mereka menikah dan lahirlah aku.

Itu saja yang kutahu tentang mama?

Mama dan papa tidak biasa menunjukkan kemesraan di depan banyak orang. Tapi, bukan berarti mereka memiliki hubungan yang buruk. Bukan berarti juga hubungan mereka selalu baik. Yang pasti, mama tidak neko-neko. Berusaha menjaga baik hubungan dengan semua orang. Maka aku tidak habis pikir, mama bisa menjadi sasaran kejahatan. Di rumahnya sendiri, dan dalam keadaan sakit.

Hari-hari terakhirku dengan mama, tidak ada yang aneh. Semua berjalan normal. Mama tidak mengatakan sesuatu yang khusus, pesan atau sesuatu yang menyiratkan dirinya akan pergi selama-lamanya.

***

Foto ilustrasi: http://www.tsu.co/dailypicts

Bersambung

Ikuti tulisan menarik Arimbi Bimoseno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

12 jam lalu

Terpopuler