x

Iklan

Arimbi Bimoseno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Laut Ombak dan Badai [Sebuah Novel-4]

"Jangan bilang kau memahami laut, jika masih mengeluh karena badainya." - Dananjaya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kisah sebelumnya: Laut Ombak dan Badai-3

Sebenarnya seminggu sebelum gempa dan tsunami itu terjadi, keluarga Anggia sudah pindah rumah ke Dusun Sikaute di Desa Taikako di dataran tinggi yang lokasinya cukup jauh dan relatif aman dari ancaman laut. Buktinya ketika gempa dan tsunami terjadi, warga Dusun Sikaute baik-baik saja. Memang ada kerusakan rumah dan sawah akibat gempa, tapi tak ada korban jiwa.

Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ketika gempa dan tsunami datang, Anggia dan keluarganya sedang berkunjung dan menginap di rumah lamanya di Desa Muntai untuk mengemasi barang-barang yang belum selesai dipindahkan. Sementara ada tetangga mereka, satu keluarga, sedang pergi dan menginap di rumah saudaranya di kota, sehingga tidak mengalami rasanya diguncang gempa dan diterjang tsunami. Kematian memang adalah satu-satunya yang pasti dalam hidup. Kematian juga merupakan misteri terbesar bagi manusia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Empat hari pindah ke Dusun Sikaute, waktu itu hari Sabtu, Anggia kedatangan teman mainnya yaitu David Sebastian.

Di samping rumah Anggia ada pohon durian yang tinggi menjulang. Itu pohon durian milik nenek Anggia. Saat Anggia dan Sebastian ngobrol di depan rumah, mereka melihat durian jatuh dari pohon. Dua anak itu pun mendekatinya.

“Bentar, aku ambil pisau,” Anggia lari ke dalam rumah dan kembali dengan sebilah pisau.

Dengan pisau itu, Sebastian membelah durian dan mereka makan bersama-sama.

“Kamu di sini, kita nggak bisa cari ikan lagi dong ya,” kata Sebastian sambil makan durian.

“Besok lusa aku mau ke Muntai. Banyak barang yang harus diambil. Bukuku sebagian masih ketinggalan.”

“Nanti cari ikan ya.”

“Iya. Ajak Novita dan lain-lain ya.”

“Pastinya. Oh ya, gimana di sekolah baru, suka?”

“Ya gitu deh. Suka gak suka. Habisnya orangtuaku pindah ke sini sih.”

“Cuma sebentar, cuma setahun. Nanti di SMP kita ketemu lagi.”

“Memang SMP nanti kamu mau sekolah di mana?”

“Ya di Pagau Utara Selatan lah. Memang ada pilihan lain?”

“Oh. Siapa tahu kamu mau sekolah di kota.”

“Enggak. Di sini aja.”

Dari arah jalan, dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan berseregam baju olahraga warna orange berlari terengah-engah. Rambut panjang tiga anak perempuan dikepang dua. Mereka memakai topi lancip ke atas terbuat dari kertas karton dan menenteng tas anyaman daun kelapa. Terik matahari menyengat kulit hingga keringat mereka bercucuran di dahi. Anak-anak itu baru masuk SMP dan hari ini sedang menjalani masa orientasi sekolah.

“Nanti sore main lagi ya, Gia,” teriak Ana, salah satu dari lima anak itu tanpa berhenti berlari.

“Iya,” jawab Gia tak kalah kerasnya.

“Siapa dia?” Sebastian masih makan durian.

“Teman baruku. Tuh rumahnya,” Anggia menunjuk rumah panggung di seberang jalan.

Dari arah persawahan, Nani ibunda Anggia berjalan pulang menuju rumah. Nani membawa keranjang besar yang diikatkan di punggung dan memakai topi khas terbuat dari daun.

Senyum Nani merekah melihat Sebastian. Cepat-cepat ia turunkan keranjang dan mengambil pisang di dalamnya. Setandan pisang berwarna kuning ranum matang di pohon.

“Ibu kok pulang cepat? Biasanya sore?” Anggia mengambil sebuah pisang dan memberikannya pada Sebastian.

“Mau ada Posyandu,” jawab Nani.

“Di mana?”

“Di rumah mama Ana. Bulan depan di rumah kita.”

Sejak pindah ke rumah barunya ini, selain membantu mengurus sawah milik ibunya, Nani juga menjadi kader Posyandu.

*bersambung

Ikuti tulisan menarik Arimbi Bimoseno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler