x

Ketua Perkumpulan Pecinta Seni Rupa Indonesia (PPSI), Budi Setiadharma dalam diskusi Ancaman Lukisan Palsu di Ciputra Artpreneuer, Jakarta, 17 September 2015. TEMPO/Frannoto

Iklan

AGUS DERMAWAN T

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

POLEMIK Lukisan Palsu: AADC? (Ada Apa dengan ‘Curator’?)

Yang bikin dahi mengernyit, peran yang sebenarnya milik banyak bagian itu "dimakan" sekaligus, dan diringkus menjadi pekerjaan tunggal oleh seorang kurator

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Istilah kurator sudah sangat lama dikenal di Indonesia. Kebanyakan orang mendengar sebutan itu berkait dengan jasa perdagangan. Misalnya dalam acara lelang barang bekas, properti, dan mobil dan. Ketika menempuh sekolah menengah atas di Surabaya, saya pernah ditawari untuk menjadi pendamping asisten kurator di perpustakaan. Dari situ saya jadi tahu, bahwa kurator juga sebutan untuk salah satu bagian pengelola perpustakaan.

Di Desa Rogojampi, Jawa Timur, istilah ini bahkan saya kenal sejak 1960-an, dari seorang teman yang ayahnya bekerja di kantor pegadaian. Kurator adalah salah satu jabatan kecil di pegadaian. Ayah saya, yang bergerak di bidang pendidikan dan pembukuan (boekhouding), mengatakan kurator itu sama dengan jabatan caretaker sebuah kantor. Penerapan istilah ini ternyata cocok saja dengan etimologinya, sebagaimana ditulis dalam Webster New 20th Century Dictionary. Syahdan, kurator berasal dari kata curate, cura, curatum (Latin), artinya: menjaga, merawat, memelihara, mengatur, membenahi segala sesuatu yang kemudian disajikan untuk umum. Orang yang melakukan tugas itu disebut curator, atau kurator.

Itu sebabnya, jauh kemudian hari Dalimin, seorang pegawai di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sah menyatakan diri sebagai kurator. Pasalnya, dalam 25 tahun bekerja di TIM ia telah menangani ratusan pameran seni rupa karya seniman ternama. Pertama, tugasnya cuma menggantung lukisan atas instruksi atau perintah. Kemudian ia ikut menata ruang, sampai kemudian ikut menyeleksi. Atas pameran Nashar dan Mochtar Lubis, misalnya, ia bahkan diminta ikut menyortir, mana yang tidak perlu diikutkan. Dari situ lalu bertuturlah Ati Taufiq Ismail, "Jangan-jangan Mas Dalimin itu kurator pertama di Indonesia." Istri penyair itu kenal benar Dalimin, lantaran beberapa kali menyelenggarakan pameran di TIM.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya menengarai, istilah kurator mendadak menjadi milik seni rupa Indonesia pada 1990-an. Saat itu terjadi booming seni lukis, sehingga banyak muncul galeri. Puluhan galeri ini acap membuat pameran dengan mengacu kepada paradigma transaksional. Oleh sejumlah akademikus, pameran ini dianggap terlalu jual-beli, cuma bisnis, sehingga perlu dilawan dengan galeri alternatif. Atau galeri yang ingin menjauhkan seni dari "nista ekonomi", seraya berupaya mengembalikan seni kepada habitatnya yang lebih "terhormat": sebagai representasi sosial, moral, budaya, politik, bahkan "seni sebagai seni" (l'art pour l'art) ala Theophile Gautier. Bagaimana galeri alternatif ini bisa berbeda dengan galeri komersial? Harus pakai kurator. Lalu, muncullah profesi kurator.

Kurator umumnya dilakoni oleh akademikus seni. Adapun galeri biasanya didirikan oleh para usahawan. Dari peta ini terlihat: kurator merasa lebih berilmu seni daripada pemilik galeri. Apalagi jika kurator itu bermodal tumpukan buku. Dari sini galeri serta-merta minder dan manut kepada kurator. Sebagian kurator pun beraksi. Walaupun demikian, di belakang layar, banyak pemilik galeri yang ngomel: kerja kurator malah bikin rugi. Sebab, program galeri sering menjadi "panggung kurator". Bahkan, para perupa yang sudah lama "dipegang" galeri menjadi alat gagasan kurator alias kuda tunggang kurator.

Dalam praktek sering terjadi, betapa gagasan-gagasan kurator yang terlampau "idealistis" segera menciptakan jarak antara materi pameran dan publik seni. Apalagi publik seni ala pengusaha, yang sering dituduh awam alias penikmat "seni biasa". Lalu, pelan-pelan galeri (bahkan institusi bisnis yang membiayai perhelatan besar seperti bienal) tutup buku. Sebab, biar bagaimanapun mereka tetap bertumpu pada prinsip de commodo et in commodo: perhitungan untung-rugi.

Lalu kurator pun lebih populer daripada para perupanya. Diintip dari aspek ekonomi, kurator nyata-nyata "mendahului" dalam urusan finansial, dibanding subyek utamanya, atau senimannya, yang telah bekerja amat lama di studio. Ini lantaran kurator sudah menawarkan anggaran sejak pikirannya berbentuk proposal. Padahal, sebagaimana banyak termaknai dalam berbagai kitab mutakhir, tugas kurator seni rupa sesungguhnya sederhana, seperti halnya tugas-tugas kemasyarakatan umumnya.

Kurator bisa menjadi fasilitator dan penata acara, mirip wedding organizer. Ia bisa menunaikan fungsi sebagai penerjemah gagasan seniman ke masyarakat, dan menjadi jembatan atau pengarah penikmatan, seperti tugas para pengamat seni dan kritikus. Ia bisa jadi pendidik, pelindung seniman(custodian), dan penentu selera (tastemaker) masyarakat, sebagaimana para pengelola galeri sering melakukan. Ia juga boleh merancang anggaran dari pra-pameran sampai pasca-pameran, sebagaimana para promotor mengerjakan.

Yang bikin dahi mengernyit, peran yang sebenarnya milik banyak bagian itu "dimakan" sekaligus, dan diringkus menjadi sebuah pekerjaan tunggal oleh (seorang) kurator. Lalu pekerjaan pun menjadi begitu kompleks. Dan untuk menyongsong itu, diperlukan apa yang disebut pengetahuan kuratorial (curatorial knowledge).

Ilmu ini dari waktu ke waktu terus dikembangkan, demi perluasan wilayah pekerjaan dan ekspansi kekuasaan kurator. Yang ujungnya tentu mengangkat kerja kurator sebagai "agung" sekaligus rumit. Dan untuk mencitrakan pekerjaan itu menjadi penting, sejumlah kurator berusaha menderet pikiran Foucault, Arnheim, Bourdieu, DiMaggio, Adorno, dan puluhan nama asing lain. Ada yang relevan, namun banyak yang asal comot. Akibatnya, untuk membicarakan gambar becak Sudjana Kerton saja harus mengutip teori Zygmunt Bauman sampai Arthur Danto. Gegar intelektual ini lantas mengguncang lapangan seni rupa. Mereka yang lengah dan gumunan (gampang kaget), terkagum-kagum adanya.

Sebutan kurator pun segera menjadi terhormat. Dari sini, para kritikus yang semula terlibat di medan kritik seni segera ikut masuk ke dunia kuratorial. Dan, seperti aturan lalu lintas, "sesama bus kota dilarang saling mendahului", sesama kurator juga "dilarang" saling mengkritik. Kritikus ngumpet, kritik seni rupa pun mati. (Untung ada sejumlah jurnalis seni yang dengan apik menawarkan aroma kritisisme dalam tulisan-tulisannya). Dokumen perhelatan mencatat, dari sekitar 1.000 resensi yang dimuat media massa sejak1995, tak lebih 6 persen yang mengkritik. Karena para kritikus sedang sibuk antre menjadi kurator.

Padahal sederet kurator sejati, yang tentu saja tetap (dan harus) ada di Indonesia, senantiasa menanti kritik atas kerjanya. Pekerjaan mereka yang jujur, jernih, lurus, fokus, tetap membutuhkan masukan untuk pengembangan dan kesempurnaan. Sebab, kerja kuratorial sesungguhnya sama belaka dengan kerja-kerja seni lain.

Matinya kritik seni inilah yang menjadikan sejumlah kurator merasa berkuasa sepenuh-penuhnya, dan merasa menjadi agen kebenaran seni nomor satu. Bahkan terhadap lukisan palsu. Akibatnya, ada kurator yang berani bercongkak ria di media massa : "Mustahil kurator terjebak lukisan palsu." (Tempo, 13 Maret 2016). Mentalitas kurator salah kuasa seperti inilah yang akhirnya dengan cepat digunakan oleh para penyamun seni rupa. Dan dunia seni rupa (Indonesia) pun rusaklah.

Ya, ini fenomena AADC, kelakar masyarakat seni Indonesia, yang sedang menyambut film AADC (Ada Apa dengan Cinta) Jilid 2. Ada apa dengan curator?

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi Rabu, 11 Mei 2016

 

Artikel terkait:

- POLEMIK Lukisan Palsu: Dua Drama 'Arakan Penganten'

- POLEMIK Lukisan Palsu: Sebuah Pertanyaan untuk Jim Supangkat

- POLEMIK Lukisan Palsu: Drama Asli-Palsu Jim Supangkat

 

Ikuti tulisan menarik AGUS DERMAWAN T lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler